Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Indonesia Tersenyum Bersama Indonesia Sentris

1 Juli 2016   23:43 Diperbarui: 2 Juli 2016   01:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: riananarki81.blogspot.com ; adrivit.wordpress.com

Jalan……jalan….jalan……jalan…..

Mengutamakan pembangunan jalan merupakan salah satu strategi Tiongkok dalam meningkatkan perekonomiannya. Tak heran, setelah memulai tahun 1980-an , Tiongkok berhasil membangun 65.065 km. jalan tol Bandingkan dengan Indonesia yang telah membangun sejak 38 tahun lalu baru memiliki 820,2 km.

Berbekal infrastruktur yang mumpuni, reformasi ekonomi Tiongkok mengalami kemajuan pesat. Mampu menjadi negara perdagangan terbesar kedua dunia pada tahun 2008 dan berhasil menyalip Jepang pada tahun 2010 berdasarkan ukuran Gross Domestic Product (GDP).

Tentu saja tidak bijak membandingkan Indonesia dengan Tiongkok. Banyak perbedaaan mendasar, mulai sistem pemerintahan, kondisi geografis hingga sosial budaya. Perbedaan yang justru bisa menjadi kunci sukses pembangunan di Indonesia jika yang dimaksud pembangunan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Demi pembangunan, Indonesia tidak mungkin menerapkan peraturan pembatasan satu anak dengan ancaman denda, sterilisasi paksa dan aborsi seperti yang diterapkan Tiongkok, karena memiliki undang undang dasar 45 sebagai amanah rakyat dan dasar Negara Pancasila.

Sayangnya amanah rakyat nampaknya terabaikan paska kemerdekaan. Pembangunan Indonesia lebih difokuskan ke pulau Jawa sehingga muncul istilah Jawa Sentris. Pembangunan berat sebelah yang telah menyebabkan kerugian besar. Salah satunya adalah perpindahan penduduk dari luar pulau Jawa yang mencari peruntungan ke pulau Jawa, meninggalkan potensi sumber daya alam didaerahnya.

Daya dukung setiap wilayah terbatas, demikian juga Pulau Jawa. Tak heran banyak lelucon yang mengatakan bahwa Pulau Jawa akan tenggelam. Seleksi alam terlihat dari stress yang dialami penduduk Pulau Jawa akibat kekurangan air bersih; pencemaran air, udara dan tanah; penyebaran penyakit ; malnutrisi; lingkungan hidup yang tidak sehat; tingginya tingkat kriminalitas; meningkatnya potensi konflik dan peperangan; rendahnya tingkat kebebasan personal. Menumpuknya fasilitas kesehatan, pendidikan dan energi di suatu wilayah ternyata tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan warganya.

Kerugian besar lainnya adalah terabaikannya potensi daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Putra daerah terbaik dikirim ke pulau Jaawa untuk berpendidikan setinggi tapi sayangnya mayoritas tidak kembali untuk membangun kampung halamannya, sehingga kekayaan alam dan potensi wisata budaya terabaikan. Akibat lanjutan bisa ditebak, terjadi kesenjangan antar wilayah, antar kota dan desa, antar golongan social dan tentu saja antar sector ekonomi.

Presiden Jokowi, presiden ketujuh Republik Indonesia mengakhiri mimpi buruk itu dengan merealisasikan agenda Nawa Cita yaitu membangun Indonesia Sentris. Daerah pinggiran bukan lagi daerah terluar tetapi memosisikannya sebagai teras depan wilayah Indonesia. Dan seolah berlari pembangunan jalan tol sepanjang 1.000 km pun dicanangkan. Terangkum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, meliputi Trans Sumatra, Trans Jawa, Tol Samarinda – Balikpapan dan Tol Manado – Bitung. Demikian pula pembangunan infrastruktur lainnya.

Sesungguhnya pembangunan luar Pulau Jawa telah banyak dilakukan pra era pemerintahan Presiden Jokowi. Salah satunya Jembatan Merah Putih , lokasi digaungkannya Indonesia Sentris. Membentang di Teluk Dalam Pulau Ambon menghubungkan Desa Rumah Tiga (Poka), Kecamatan Sirimau dan Desa Hative Kecil/ Galala, Jembatan Merah Putih melambangkan persatuan warga Maluku. “Katong semua basudara”.

Pembangunan Jembatan Merah Putih (JPN) sempat mangkrak, peletakan pertama dilakukan tahun 2011. Selain JPN, banyak sekali proyek infrastruktur lain yang mangkrak karena terkendala masalah, yaitu regulasi yang tidak mendukung, kemampuan pendanaan dan alotnya pembebasan lahan.

Alotnya pembebasan lahan terlihat dari proyek jalan tol Surabaya- Mojokerto (Sumo) yang telah dimulai sejak 21 tahun dan terkatung-katung karena warga pemilik lahan yang menjadi lintasan proyek menolak ganti rugi yang diatur pemerintah.

Tidak hanya proyek jalan tol Sumo, pembebasan lahan waduk Jatigede di Jawa Barat pun berjalan a lot. Selain menyangkut ganti rugi, warga tidak rela tanah leluhurnya hilang terendam dalam pusaran air bendungan.

Presiden Suharto, presiden kedua Republik Indonesia yang mendapat julukan Bapak Pembangunan Indonesia tak luput dari gejolak warga ketika membangun waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Contoh tiga kasus: proyek jalan tol Sumo, waduk Jatigede dan waduk Kedung Ombo, mengindikasikan bahwa ada pendekatan pada warga yang harus dibenahi. Seorang pemilik lahan tidak cukup hanya diberi pengarahan bahwa tanahnya akan dibeli pemerintah dengan harga sekian. Karena pertanyaan yang timbul kemudian adalah mengapa harus tanah saya? Bagaimana jika saya tidak mau menjual hak milik saya? Pembangunan untuk rakyat banyak seolah ditabrakkan pada hak seorang pemilik lahan, yang jika dipaksakan akan timbul perasaan dizalimi.

Suatu kasus terjadi di pinggiran sungai Cidurian pada tahun 2012. Melalui Dinas Bina Marga dan Pengairan, pemerintah Kota Bandung membangun septiktank komunal di RW 10 kelurahan Cigadung. Tujuannya membuat proyek percontohan sebelum membangun proyek serupa di sungai lainnya di Kota Bandung. Tapi apa yang terjadi? Jangankan menjadi proyek percontohan, warga beramai-ramai memotong pipa penghubung dari rumahnya yang sempat disambung pekerja proyek ke septiktank komunal untuk dikembalikan ke posisi awal yaitu ke sungai. Akhirnya bisa diduga, hingga kini proyek tersebut mangkrak.

Bagaimana mungkin proyek bagus seperti septiktank komunal bisa gagal? Bukankah jika berhasil maka 10 sungai di Kota Bandung akan terbebas dari kotoran manusia? Jawabnya sederhana, warga tidak dilibatkan sejak dini. Dinas terkait hanya memanggil perwakilan penduduk setempat. Dan perwakilan bisa siapa saja, bisa adik Ketua RW yang mendapat proyek, bisa Ketua RW sendiri. Sehingga ketika tanpa ba-bi-bu paralon limbah warga dipotong dan dialihkan ke septiktank komunal, wargapun marah, …. Lho, ini kan paralon milikku, aku yang beli, punya hak apa Ketua RW memotong pipa milikku?

Argumen sederhana yang mencerminkan rasa keadilan yang terkoyak. Jika warga marah disebabkan paralon miliknya diusik, bagaimana dengan tanah dan rumah tempat dia lahir, tumbuh dan berkembang? Tempat leluhurnya dimakamkan?

Dan jawabannya juga sederhana, jika pembangunan ditujukan untuk rakyat, mengapa rakya tidak dilibatkan sejak awal? Mengapa tidak disosialisasikan dengan membentuk team khusus yang berembuk dengan warga? Sehingga tidak muncul calo-calo tanah. Warga yang tergusur bisa mengetahui proyek yang ditujukan untuk kemaslahatan lebih banyak, bisa merasa bangga bahwa dia telah ikut berkontribusi dalam pembangunan.

Presiden Jokowi pernah menunjukkan kepiawaiannya bernegosiasi ketika masih menjabat sebagai Walikota Solo. Melobi 989 pedagang kaki lima (PKL) yang bergabung dalam 11 paguyuban. Sebelumnya mereka sempat mengancam akan membakar kantor walikota Solo jika digusur. Hasil akhir 54 kali pertemuan membuahkan persetujuan dengan suka rela, tanpa kemarahan bahkan saat relokasi PKL digelar arak-arakan dengan iringan musik kleningan yang dibiayai sendiri oleh para PKL.

Kini cara serupa tentunya tidak bisa diharapkan dari Presiden Jokowi. Dia telah memberi contoh, bagaimana seharusnya seorang pemimpin “memanusiakan” warganya. Sehingga tepat ucapan Presiden Jokowi “Gubernur jangan hanya membayangkan pembangunan dari balik meja kantornya”. Dia harus bergerak keluar, melihat langsung pembangunan yang ditujukan untuk rakyat , karena untuk itulah dia dipilih.

Gaung Indonesia sentris, pembangunan yang merata, tak akan berarti tanpa melibatkan warga sebagai pemiliknya. Sebagai subjek bukan objek. Jika Indonesia Sentris terwujud,Indonesia menjadi macan Asia bukan sekedar impian, sejajar dengan Tiongkok. Tapi tentunya dengan wajah rakyat yang tersenyum. Tidak hampa dan kaku, apalagi menangis.

Sumber:

Kompas keberlanjutan

Tribunnews.com

Concreteshowseasia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun