Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Indonesia Tersenyum Bersama Indonesia Sentris

1 Juli 2016   23:43 Diperbarui: 2 Juli 2016   01:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: riananarki81.blogspot.com ; adrivit.wordpress.com

Tidak hanya proyek jalan tol Sumo, pembebasan lahan waduk Jatigede di Jawa Barat pun berjalan a lot. Selain menyangkut ganti rugi, warga tidak rela tanah leluhurnya hilang terendam dalam pusaran air bendungan.

Presiden Suharto, presiden kedua Republik Indonesia yang mendapat julukan Bapak Pembangunan Indonesia tak luput dari gejolak warga ketika membangun waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Contoh tiga kasus: proyek jalan tol Sumo, waduk Jatigede dan waduk Kedung Ombo, mengindikasikan bahwa ada pendekatan pada warga yang harus dibenahi. Seorang pemilik lahan tidak cukup hanya diberi pengarahan bahwa tanahnya akan dibeli pemerintah dengan harga sekian. Karena pertanyaan yang timbul kemudian adalah mengapa harus tanah saya? Bagaimana jika saya tidak mau menjual hak milik saya? Pembangunan untuk rakyat banyak seolah ditabrakkan pada hak seorang pemilik lahan, yang jika dipaksakan akan timbul perasaan dizalimi.

Suatu kasus terjadi di pinggiran sungai Cidurian pada tahun 2012. Melalui Dinas Bina Marga dan Pengairan, pemerintah Kota Bandung membangun septiktank komunal di RW 10 kelurahan Cigadung. Tujuannya membuat proyek percontohan sebelum membangun proyek serupa di sungai lainnya di Kota Bandung. Tapi apa yang terjadi? Jangankan menjadi proyek percontohan, warga beramai-ramai memotong pipa penghubung dari rumahnya yang sempat disambung pekerja proyek ke septiktank komunal untuk dikembalikan ke posisi awal yaitu ke sungai. Akhirnya bisa diduga, hingga kini proyek tersebut mangkrak.

Bagaimana mungkin proyek bagus seperti septiktank komunal bisa gagal? Bukankah jika berhasil maka 10 sungai di Kota Bandung akan terbebas dari kotoran manusia? Jawabnya sederhana, warga tidak dilibatkan sejak dini. Dinas terkait hanya memanggil perwakilan penduduk setempat. Dan perwakilan bisa siapa saja, bisa adik Ketua RW yang mendapat proyek, bisa Ketua RW sendiri. Sehingga ketika tanpa ba-bi-bu paralon limbah warga dipotong dan dialihkan ke septiktank komunal, wargapun marah, …. Lho, ini kan paralon milikku, aku yang beli, punya hak apa Ketua RW memotong pipa milikku?

Argumen sederhana yang mencerminkan rasa keadilan yang terkoyak. Jika warga marah disebabkan paralon miliknya diusik, bagaimana dengan tanah dan rumah tempat dia lahir, tumbuh dan berkembang? Tempat leluhurnya dimakamkan?

Dan jawabannya juga sederhana, jika pembangunan ditujukan untuk rakyat, mengapa rakya tidak dilibatkan sejak awal? Mengapa tidak disosialisasikan dengan membentuk team khusus yang berembuk dengan warga? Sehingga tidak muncul calo-calo tanah. Warga yang tergusur bisa mengetahui proyek yang ditujukan untuk kemaslahatan lebih banyak, bisa merasa bangga bahwa dia telah ikut berkontribusi dalam pembangunan.

Presiden Jokowi pernah menunjukkan kepiawaiannya bernegosiasi ketika masih menjabat sebagai Walikota Solo. Melobi 989 pedagang kaki lima (PKL) yang bergabung dalam 11 paguyuban. Sebelumnya mereka sempat mengancam akan membakar kantor walikota Solo jika digusur. Hasil akhir 54 kali pertemuan membuahkan persetujuan dengan suka rela, tanpa kemarahan bahkan saat relokasi PKL digelar arak-arakan dengan iringan musik kleningan yang dibiayai sendiri oleh para PKL.

Kini cara serupa tentunya tidak bisa diharapkan dari Presiden Jokowi. Dia telah memberi contoh, bagaimana seharusnya seorang pemimpin “memanusiakan” warganya. Sehingga tepat ucapan Presiden Jokowi “Gubernur jangan hanya membayangkan pembangunan dari balik meja kantornya”. Dia harus bergerak keluar, melihat langsung pembangunan yang ditujukan untuk rakyat , karena untuk itulah dia dipilih.

Gaung Indonesia sentris, pembangunan yang merata, tak akan berarti tanpa melibatkan warga sebagai pemiliknya. Sebagai subjek bukan objek. Jika Indonesia Sentris terwujud,Indonesia menjadi macan Asia bukan sekedar impian, sejajar dengan Tiongkok. Tapi tentunya dengan wajah rakyat yang tersenyum. Tidak hampa dan kaku, apalagi menangis.

Sumber:

Kompas keberlanjutan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun