[caption caption="warung-mart, dok. bantenbiz.com"][/caption]Tempat usaha itu tidak seberapa luas, hanya sekitar 2 x 3 meter. Barang yang ditumpuk tak beraturan memaksa pemiliknya sering harus meloncati tumpukan kardus. Di lokasi lain, tempat usaha serupa memiliki ruangan yang lebih lapang, mungkin sekitar 5 x 4 meter. Dengan beberapa kardus dan rak berisi barang-barang yang dibutuhkan pembeli, memudahkan mereka memilih, membawanya ke kasir yang akan menghitung jumlah belanjaan dengan bantuan komputer.
Saya menamainya Warung-mart, karena menurut wiki, warung adalah usaha kecil milik keluarga yang berbentuk kedai, kios, toko kecil, restoran sederhana — istilah "warung" dapat ditemukan di Indonesia dan Malaysia. Warung adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia. Sedangkan warung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: warung/wa•rung/ n tempat menjual makanan, minuman, kelontong, dan sebagainya; kedai; lepau.
Bisa ditarik kesimpulan, warung adalah tempat usaha milik keluarga yang menjual makanan, minuman, kelontong. Jadi kira-kira tepatlah penyematan nama warung-mart sebagai tempat usaha yang dimiliki suatu keluarga, berkonsep mirip ritel modern karena pembeli bisa mengambil sendiri barang yang dibutuhkan. Sedangkan penjual menggunakan komputer kasir untuk kemudahan transaksi dan meminimalisasi kesalahan hitung yang sering terjadi dalam usaha ritel tradisional.
Keberadaan warung-mart semakin marak di kota-kota besar. Dari luar, bisa ditandai dengan adanya tumpukan barang kebutuhan sehari-hari seperti kopi, gula, tepung, beras, sabun. Bahkan di Tangerang (Jakarta coret ^_^ ) saya mendapati warung-mart yang cukup lengkap. Bahan baku membuat kue, hingga pasta dan keju tersedia, mungkin disesuaikan dengan kebutuhan penduduk setempat. Sedangkan di Bandung, walau tidak selengkap itu, kehadiran warung-mart yang satu dengan yang lain begitu dekat. Herannya masing-masing warung-mart dikerubuti pembeli.
Keberadaan warung-mart nampaknya mengisi kekosongan ceruk akibat masifnya ritel modern yang berekspansi hingga ke pelosok kota. Ritel modern memang kinclong, penuh warna-warni yang mengundang untuk datang. Tempatnya bersih, rapi, sejuk, pegawainya ramah. Tapi hmmm….. benarkah pembeli lebih menyukai berbelanja di situ jika tempat lain menawarkan harga lebih murah?
Memangnya apa yang ditawarkan warung-mart? Hanya harga murah. Karena penjualnya tidak mempunyai waktu untuk tersenyum dan berdandan wangi. Lantainya kusam dan kotor bekas tumpahan tepung atau minuman. Bahkan di beberapa lokasi, lantai warung-mart tertutup barang dagangan. Sering penjual harus menimbang barang di trotoar. Waduh, perbedaannya dengan ritel modern, bagai bumi dan langit.
Tapi justru karena mampu menjual dengan harga murah, warung-mart mempunyai 2 segmen pembeli tetap:
- Ibu rumah tangga yang membeli produk harian (sabun, gula, minyak goreng dan lain-lain) dengan alasan harganya lebih murah dari ritel modern.
- Pemilik warung kecil di permukiman padat penduduk. Sebelum ada warung-mart, mereka umumnya harus berbelanja ke pusat grosir yang tentu saja menghabiskan lebiih banyak waktu dan ongkos.
Kedua segmen pembeli tersebut tidak mempedulikan penampilan tempatnya berbelanja, karena yang penting murah. Tak heran banyak warung-mart baru yang dengan pedenya bersanding di sebelah ritel modern. Pede dengan lantainya yang kusam dan kotor akibat tumpahan barang dan lalu lalang pembeli. Pede tanpa sorot lampu gemebyar. Pede tanpa desain interior yang mampu merayu pembeli untuk singgah dan belanja.
Justru ritel modernlah yang belingsatan menghadapi persaingan. Saingannya tidak hanya warung-mart tetapi juga antar ritel modern yang berbeda pemilik. Jarak antar setiap ritel modern begitu dekat, bisa 100 meter, bisa juga berdampingan. Tentunya dengan slogan kuno: “Rezeki mah ngga akan ketuker” … Yaiyalah pasti Tuhan akan melimpahkan rezekinya, tapi jangan pake ilmu nekad dong, karena ceruknya terlalu sempit.
Beragam strategi pemasaran dilakukan ritel modern, mulai membanting harga beberapa item produk dengan syarat pembeli harus berbelanja sejumlah tertentu. Atau pemberian stamp (perangko) untuk ditukarkan merchandise yang menarik. Gara-gara tertarik merchandise, konsumen sering tanpa sadar merogoh kocek lumayan dalam bahkan sering membeli produk yang tidak dibutuhkan hanya demi memperoleh seperangkat piring, mangkok atau pisau. Hmmm…… kok familier ya? ^_^
Warung-mart jelas tak mampu berstrategi demikian. Mereka tak memiliki modal miliaran rupiah, sumber daya manusianya pun terbatas. Tapi mereka tidak perlu melakukan hal tersebut. Nyatanya warung-mart justru ramai didatangi pembeli, jauh lebih banyak dibanding ritel modern yang harus memutar otak dengan keras agar dagangannya laris manis tanjung kimpul.
Pemilik warung kecil jelas enggan berbelanja untuk warungnya di ritel modern. Sama aja bohong, mereka tidak mendapat selisih harga, sehingga memilih warung-mart sebagi pemasok. Penamaan warung karena sama-sama dimiliki keluarga, selebihnya terdapat perbedaan yang signifikan antara warung kecil dan warung-mart. Warung kecil hanya menyediakan 10 item atau lebih (tergantung modalnya) sedangkan warung-mart menjual ratusan item barang.
Pembeli ngga bisa beli ketengan di warung-mart, harus dalam jumlah banyak, yaitu jumlah kiloan/satu dus/satu rentengan bubuk minuman/sabun/sampo yang berjumlah 10 sachet. Warung kecil membeli satu rentengan tersebut kemudian menjualnya secara eceran. Misalnya serbuk minuman dalam satu rentengan yang berisi 10 sachet seharga Rp 9.000, dijual kembali oleh warung kecil seharga @ Rp 1.500/sachet atau Rp 2.500/2 sachet.
[caption caption="rak-rak barang swalayan di warung-mart (dok.pribadi)"]
Jangan heran jika terkadang mendapati lokasi warung kecil tidak berjauhan dengan warung-mart, mungkin sekitar 50–100 meter saja. Penyematan slogan “rejeki ngga mungkin tertukar” benar-benar tepat di sini. Mereka punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Warung-mart hanya melayani pembelian (minimal) satu kilogram tepung/beras/gula/telur, yang oleh warung kecil dibagi-bagi menjadi 1 ons atau ¼ kg sehingga pembeli bisa membeli eceran.
Warung-mart juga punya jam kerja tertentu, termasuk hari libur. Sedangkan warung kecil buka hampir 24 jam sehari, 7 hari seminggu, pemiliknya biasa menunggu warung sambil masak atau menonton televisi. Pemilik warung kecil paham konsekuensi usaha di permukiman padat, yaitu siap diketuk pintunya kapan saja. Termasuk tatkala subuh dalam cuaca dingin menggigit. Karena itulah kelebihan mereka, ceruk rejeki mereka. Mana ada ritel modern buka pukul 5 pagi? Kalaupun ada ritel 24 jam, biasanya lokasinya jauh dan harganya mahal bingits.
Keberadaan warung-mart bak jawaban bagi para ekonom dan kritikus yang mengeluhkan gempuran ritel modern akan mematikan pasar tradisional. Ternyata mereka tidak selemah itu. Keberadaan warung-mart yang mengandalkan frekuensi penjualan menunjukkan bahwa wong cilik sanggup membaca pasar dan mengisinya. Bukan menerapkan apa yang dia mau seperti kebijakan topdown-nya pemerintah.
Ibu rumah tangga butuh barang berharga murah, demikian juga warung kecil. Kehadiran warung kecil yang fleksibel sangat amat dibutuhkan penghuni permukiman padat. Dan pemasok yang tepat bagi warung kecil tentunya bukan ritel modern, tetapi warung-mart. Yang pasti jangan ragukan kemampuan wong cilik bertahan dan berjuang, mereka tidak akan menye-menye mencari bantuan pemerintah, pemerintahlah yang harus tanggap. Atau jangan-jangan mereka ngga butuh uluran tangan pemerintah? ……..#eh ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H