Pemilik warung kecil jelas enggan berbelanja untuk warungnya di ritel modern. Sama aja bohong, mereka tidak mendapat selisih harga, sehingga memilih warung-mart sebagi pemasok. Penamaan warung karena sama-sama dimiliki keluarga, selebihnya terdapat perbedaan yang signifikan antara warung kecil dan warung-mart. Warung kecil hanya menyediakan 10 item atau lebih (tergantung modalnya) sedangkan warung-mart menjual ratusan item barang.
Pembeli ngga bisa beli ketengan di warung-mart, harus dalam jumlah banyak, yaitu jumlah kiloan/satu dus/satu rentengan bubuk minuman/sabun/sampo yang berjumlah 10 sachet. Warung kecil membeli satu rentengan tersebut kemudian menjualnya secara eceran. Misalnya serbuk minuman dalam satu rentengan yang berisi 10 sachet seharga Rp 9.000, dijual kembali oleh warung kecil seharga @ Rp 1.500/sachet atau Rp 2.500/2 sachet.
[caption caption="rak-rak barang swalayan di warung-mart (dok.pribadi)"]
Jangan heran jika terkadang mendapati lokasi warung kecil tidak berjauhan dengan warung-mart, mungkin sekitar 50–100 meter saja. Penyematan slogan “rejeki ngga mungkin tertukar” benar-benar tepat di sini. Mereka punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Warung-mart hanya melayani pembelian (minimal) satu kilogram tepung/beras/gula/telur, yang oleh warung kecil dibagi-bagi menjadi 1 ons atau ¼ kg sehingga pembeli bisa membeli eceran.
Warung-mart juga punya jam kerja tertentu, termasuk hari libur. Sedangkan warung kecil buka hampir 24 jam sehari, 7 hari seminggu, pemiliknya biasa menunggu warung sambil masak atau menonton televisi. Pemilik warung kecil paham konsekuensi usaha di permukiman padat, yaitu siap diketuk pintunya kapan saja. Termasuk tatkala subuh dalam cuaca dingin menggigit. Karena itulah kelebihan mereka, ceruk rejeki mereka. Mana ada ritel modern buka pukul 5 pagi? Kalaupun ada ritel 24 jam, biasanya lokasinya jauh dan harganya mahal bingits.
Keberadaan warung-mart bak jawaban bagi para ekonom dan kritikus yang mengeluhkan gempuran ritel modern akan mematikan pasar tradisional. Ternyata mereka tidak selemah itu. Keberadaan warung-mart yang mengandalkan frekuensi penjualan menunjukkan bahwa wong cilik sanggup membaca pasar dan mengisinya. Bukan menerapkan apa yang dia mau seperti kebijakan topdown-nya pemerintah.
Ibu rumah tangga butuh barang berharga murah, demikian juga warung kecil. Kehadiran warung kecil yang fleksibel sangat amat dibutuhkan penghuni permukiman padat. Dan pemasok yang tepat bagi warung kecil tentunya bukan ritel modern, tetapi warung-mart. Yang pasti jangan ragukan kemampuan wong cilik bertahan dan berjuang, mereka tidak akan menye-menye mencari bantuan pemerintah, pemerintahlah yang harus tanggap. Atau jangan-jangan mereka ngga butuh uluran tangan pemerintah? ……..#eh ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H