[caption id="attachment_217873" align="aligncenter" width="494" caption="Para punggawa BILIC 2012(Aden, Opik, Yuyuen, Siti, penulis, Poppy, Yani , Yati) (dok. Maria Hardayanto)"][/caption] Manis dan beruntung itulah kesan penulis terhadap Yani ketika pertama kali bertemu di suatu rapat Bandung Independent Living Centre (BILIC) sekitar tahun 2009 di Taman Ganesha, Bandung. Beruntung karena Yani “hanya” terserang virus polio yang menyebabkan sebelah kakinya pincang dan harus diseret. Yani juga beruntung mempunyai dua anak yang lucu-lucu walaupun suaminya lumpuh kedua kakinya sehingga harus berjalan dengan bertelekan pada punggung kaki. Ketika berjalan tubuh Asep akan setinggi anaknya, Kiki yang berumur 7 tahun. Tetapi keberuntungan Yani yang terbesar adalah dukungan keluarganya untuk sekolah dan mandiri. Karena sikap banyak pihak di luar lingkungan keluarga sangat memarjinalkan kedudukan penyandang difabel (different ability). Ada yang iseng meniru gerak kakinya yang pincang sambil membuntuti atau berpura-pura terjatuh didepan Yani. Faktor finansial menyebabkan Yani hanya lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian dia memutuskan bekerja. “Kerja serabutan yang penting halal”, katanya. Dan tekanan makin menghebat, mulai dianggap peminta sumbangan ketika sedang membawa map. Sedang asyik duduk, ………eh tiba tiba diberi uang karena dikira pengemis. Atau menanyakan arah jalan malah dikira mau mengemis dan diberi uang. Dan………………”Tidak diangkut ama sopir angkot”, katanya. Maksud Yani, sopir angkutan umum tidak mau berhenti ketika melihat yang akan naik adalah penyandang difabel. Mungkin enggan menunggu karena langkah kaki mereka umumnya tidak lincah dan cepat sedangkan si sopir harus mengejar setoran. Semua penderita difabel, khususnya di Bandung mendapat pengalaman dan perlakuan sama. Tentu saja selalu ada pengecualian. Tidak semua orang memandang mereka seolah mahluk dari luar angkasa, dan tidak semua sopir angkot kejam. Tetapi kondisi trotoar perkotaan yang tidak manusiawi bagi pejalan kaki terlebih untuk penyandang difabel memaksa mereka harus menggunakan jasa taksi atau “nebeng” pada tetangga ketika harus ke suatu tempat. Sungguh riskan berjalan terpincang-pincang (apalagi menggunakan kursi roda) di trotoar yang tidak rata, turun naik dengan sisa galian bercampur pot besar hasil euforia penghijauan dan tempat mangkal pedagang kaki lima. Kalaupun landai, siap-siaplah untuk beradu jalan dengan sepeda motor. Merekapun berserikat dalam suatu wadah bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre) yang diketuai Yati Suryadinata. Yati lumpuh kedua kakinya. Selain Yati, ada penyandang difabel lain sebagai pengurus yaitu Yu Yuen (lumpuh kaki), Aden Al Hadad (tuna daksa kedua kakinya). si cantik Siti yang bertubuh dwarf , Poppy (tuna daksa), Erna yang mengalami lumpuh kedua kaki, Enung yang mengalami multi difabel dan masih banyak lainnya. Mereka berkumpul karena menyadari bahwa tidak ada gunanya mengeluh dan menangisi keadaan. Mereka harus kompak untuk memperjuangkan perbaikan, penerapan regulasi yang telah dibuat pemerintah, peningkatan kesejahteraan hidup dan dukungan bagi sesama penyandang difabel. Selama beberapa waktu mereka bekerja sama dengan penulis untuk mengikuti pelatihan agar mahir membuat kerajinan. Tetapi permasalahan kembali menghadang ketika mereka akan berwiraswasta. Karena berwirausaha artinya harus siap mondar mandir membeli bahan baku, bahan pembantu dan memasarkannya. Biayanya menjadi melonjak tajam karena mereka tidak bisa menggunakan angkutan umum biasa. Akhirnya mulai tahun 2010 hingga sekarang, mereka mengambil porsi sebagai pelatih kerajinan. Salah satu bagian dari circle solusi penyelesaian sampah khususnya bekas kemasan berlapis alumunium karena barang tersebut tidak bisa didaur ulang. Sudah ribuan orang yang mereka latih. Mulai dari anak-anak sekolah hingga ibu-ibu komunitas dan tahanan serta narapidana lembaga pemasyarakatan (LAPAS) perempuan. Melalui para anggota seniornya, BILIC memberi support pada penyandang difabel yang tidak pernah keluar rumah dengan berbagai alasan. Ada yang disembunyikan karena orangtuanya malu mempunyai anak penyandang difabel, adapula yang terlantar hingga buang air kecil (b.a.k) dan buang air besar ( b.a.b) ditempat tidur menyebabkan punggungnya mengalami borok yang sulit sembuh karena selalu basah. Beberapa dari mereka mempunyai kemampuan motorik yang bagus sehingga bisa berlatih membuat kerajinan untuk dijual hasilnya dengan perantaraan saudara/ tetangga atau dititipkan pada pembimbingnya. Hasil kerajinan mereka lebih unggul. Rapi dan motifnya kaya corak. Mungkin keterbatasan membuat mereka mempunyai cukup waktu untuk fokus dan berkreasi. Salah satu dari mereka adalah Meri, penyandang paraplegia yaitu hilangnya kemampuan untuk bergerak di bagian perut dan daerah punggung bawah. Apabila melihat sekilas, tidak ada seorangpun yang akan menyangka bahwa Meri mengalami kesulitan berbicara dan berjalan. [caption id="attachment_217877" align="aligncenter" width="352" caption="Meri di depan stasiun TVRI Jabar (dok. Maria Hardayanto)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H