Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Katakan "Wow" pada Mereka

18 Oktober 2012   02:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_217873" align="aligncenter" width="494" caption="Para punggawa BILIC  2012(Aden, Opik, Yuyuen, Siti, penulis, Poppy, Yani , Yati) (dok. Maria Hardayanto)"][/caption] Manis dan beruntung  itulah kesan penulis terhadap Yani ketika pertama kali bertemu di suatu rapat Bandung Independent Living Centre (BILIC)  sekitar tahun 2009 di Taman Ganesha, Bandung. Beruntung karena  Yani “hanya” terserang virus polio yang menyebabkan sebelah kakinya pincang dan harus diseret. Yani juga beruntung mempunyai dua anak yang lucu-lucu walaupun suaminya lumpuh kedua kakinya sehingga harus berjalan dengan bertelekan pada punggung kaki. Ketika berjalan tubuh Asep akan setinggi anaknya, Kiki yang berumur 7 tahun. Tetapi keberuntungan Yani yang terbesar adalah dukungan keluarganya untuk sekolah dan mandiri. Karena sikap banyak pihak di luar lingkungan keluarga sangat memarjinalkan kedudukan penyandang difabel (different ability).  Ada yang  iseng  meniru gerak kakinya yang pincang sambil membuntuti atau berpura-pura terjatuh didepan Yani. Faktor finansial  menyebabkan Yani  hanya lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian dia memutuskan bekerja. “Kerja serabutan yang penting halal”, katanya. Dan tekanan makin menghebat, mulai dianggap peminta sumbangan ketika sedang membawa map. Sedang asyik duduk, ………eh  tiba tiba diberi uang karena dikira pengemis. Atau menanyakan arah jalan malah dikira mau mengemis dan diberi uang. Dan………………”Tidak diangkut ama sopir angkot”, katanya. Maksud Yani, sopir angkutan umum tidak mau berhenti ketika melihat yang akan naik adalah  penyandang difabel. Mungkin enggan menunggu karena langkah kaki mereka umumnya tidak lincah dan cepat sedangkan si sopir harus mengejar setoran. Semua penderita difabel, khususnya di Bandung mendapat pengalaman dan perlakuan sama. Tentu saja selalu ada pengecualian. Tidak semua orang memandang mereka seolah  mahluk dari luar angkasa, dan tidak semua sopir angkot kejam. Tetapi kondisi trotoar perkotaan yang tidak manusiawi bagi pejalan kaki terlebih untuk penyandang difabel memaksa mereka harus menggunakan jasa taksi atau “nebeng” pada tetangga  ketika harus ke suatu tempat. Sungguh riskan berjalan terpincang-pincang  (apalagi menggunakan kursi roda) di trotoar yang tidak rata, turun naik dengan sisa galian bercampur pot besar hasil euforia penghijauan  dan tempat mangkal pedagang kaki lima. Kalaupun landai, siap-siaplah untuk beradu jalan dengan sepeda motor. Merekapun berserikat dalam suatu wadah bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre) yang diketuai Yati Suryadinata. Yati lumpuh kedua kakinya. Selain Yati, ada penyandang difabel lain sebagai pengurus  yaitu Yu Yuen (lumpuh kaki), Aden Al Hadad (tuna daksa kedua kakinya). si cantik Siti yang bertubuh dwarf , Poppy (tuna daksa), Erna yang mengalami lumpuh kedua kaki,  Enung yang mengalami multi difabel  dan masih banyak lainnya. Mereka berkumpul karena menyadari bahwa tidak ada gunanya mengeluh dan menangisi keadaan. Mereka harus kompak untuk memperjuangkan perbaikan, penerapan regulasi yang telah dibuat pemerintah, peningkatan kesejahteraan hidup dan dukungan bagi sesama penyandang difabel. Selama beberapa waktu mereka bekerja sama dengan penulis untuk mengikuti pelatihan agar mahir membuat kerajinan. Tetapi permasalahan kembali menghadang ketika mereka akan berwiraswasta. Karena berwirausaha artinya harus siap mondar mandir membeli bahan baku, bahan pembantu dan memasarkannya. Biayanya menjadi melonjak tajam karena mereka tidak bisa menggunakan angkutan umum biasa. Akhirnya mulai tahun 2010 hingga sekarang, mereka mengambil porsi sebagai pelatih kerajinan.  Salah satu bagian dari circle solusi penyelesaian sampah khususnya  bekas kemasan berlapis alumunium karena barang tersebut tidak bisa didaur ulang. Sudah ribuan orang yang mereka latih. Mulai dari anak-anak sekolah hingga ibu-ibu komunitas dan tahanan serta narapidana lembaga pemasyarakatan (LAPAS) perempuan. Melalui para anggota seniornya, BILIC  memberi support pada penyandang difabel yang tidak pernah keluar rumah dengan berbagai alasan. Ada yang disembunyikan karena orangtuanya malu mempunyai anak penyandang difabel, adapula yang terlantar hingga buang air kecil (b.a.k) dan buang air besar ( b.a.b) ditempat tidur menyebabkan punggungnya mengalami borok yang sulit sembuh karena selalu basah. Beberapa dari mereka mempunyai kemampuan motorik yang bagus sehingga bisa berlatih membuat kerajinan untuk dijual  hasilnya dengan perantaraan saudara/ tetangga atau dititipkan pada pembimbingnya. Hasil kerajinan mereka lebih unggul. Rapi dan motifnya kaya corak. Mungkin keterbatasan membuat mereka mempunyai cukup waktu untuk fokus dan berkreasi. Salah satu dari mereka adalah Meri, penyandang paraplegia yaitu hilangnya kemampuan untuk bergerak di bagian perut dan daerah punggung bawah. Apabila melihat sekilas, tidak ada seorangpun yang akan menyangka bahwa Meri mengalami kesulitan berbicara dan berjalan. [caption id="attachment_217877" align="aligncenter" width="352" caption="Meri di depan stasiun TVRI Jabar (dok. Maria Hardayanto)"]

13501977541104127131
13501977541104127131
[/caption] Hingga diusianya yang ke 22, Meri harus dipapah dalam melakukan mobilitasnya. Beruntung  ibunya sabar. Dia tidak malu mengajak Meri memutari kota Bandung dengan sepeda motor agar Meri bisa refreshing  dan tidak merasa bosan di rumah. Karena sehari-hari Meri hanya bisa berbaring sambil menunggu warung. [caption id="attachment_218490" align="aligncenter" width="371" caption="Meri dipapah dan dibantu duduk (dok. Maria Hardayanto)"]
1350525306698060643
1350525306698060643
[/caption] Dari atas dipannya yang tinggi, Meri melayani pembeli di warung dan membantu ibunya mengerjakan kerajinan seperti ini. [caption id="attachment_217879" align="aligncenter" width="386" caption="hasil kerajianan Meri (dok. BILIC)"]
13501983201640201649
13501983201640201649
[/caption] Harga asesories ini murah tetapi nilainya tinggi karena dikerjakan oleh penyandang disabilitas yang harus mengalahkan banyak rintangan. Hidup mereka berpuluh kali lipat lebih sulit daripada anak-anak sekolah yang tawuran padahal  beruntung bisa bersekolah tetapi menyia-nyiakan kesempatan. Anak-anak tawuran yang pastinya tidak pernah termarjinalkan karena mempunyai  tubuh normal. "Tapi sayang  pikirannya difabel"  kata Angkie Yudistia, penyandang tuna rungu, CEO  Thisable Associated. Tidak semua penyandang difabel bisa seberuntung Angkie yang mampu menyelesaikan S2. Yati Suryadinata misalnya, harus memupus keinginan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Bahasa Asing karena letak kelas di lantai dua sehingga setiap masuk kuliah harus digendong keatas. Suatu keadaan yang tidak menyenangkan, khususnya bagi penyandang difabel yang merasa tidak nyaman harus bergantung pada orang lain. Tidak hanya ruang sekolah, di tempat umumpun mereka kesulitan ketika harus ke toilet. Bangunan toilet umumnya sempit, arsiteknya tidak pernah memperhitungkan bahwa suatu kali penyandang difabel memerlukan toilet. Melihat begitu banyak hambatan yang mereka hadapi :  orangtua, guru, lingkungan hingga ruang publik yang tidak bersahabat. Tetapi mereka tetap berusaha berdikari bahkan mampu memberikan ilmu pada orang lain. Bukankah seharusnya kita mengangkat topi dan mengucapkan : “Wow !” Ah itu terlalu biasa, harusnya kita mengalungkan piagam penghargaan atas keberanian mereka menaklukkan kesulitan hidup. Tidak cengeng. Tidak melarikan diri dan mengonsumsi narkoba. Tidak juga mengeluh : “prihatin, ……… prihatin, …… prihatin”. **Maria Hardayanto** Sumber data : Kompas.com [caption id="attachment_217880" align="aligncenter" width="504" caption="Meri bernyanyi bersama Donny di acara Beranda TVRI . ki-ka : Yati, Yani, Asep, Tita host acara, Meri , ibu Meri, Donny (dok. Maria Hardayanto)"]
1350198440618310597
1350198440618310597
[/caption] [caption id="attachment_217881" align="aligncenter" width="370" caption="Meri dibonceng ibunya (dok. Maria Hardayanto)"]
13501986341782344041
13501986341782344041
[/caption] [caption id="attachment_217882" align="aligncenter" width="470" caption="setiap minggu, rekan-rekan BILIC berlatih kerajinan baru (dok. Maria Hardayanto)"]
13501987831289283429
13501987831289283429
[/caption] [caption id="attachment_217883" align="aligncenter" width="264" caption="toilet khusus untuk penyandang difabel (dok. Maria Hardayanto)"]
1350199840566382453
1350199840566382453
[/caption] [caption id="attachment_217885" align="aligncenter" width="457" caption="sebelum anda mengeluh, katakan Wow untuk perjuangan mereka (dok. BILIC)"]
1350200114852606879
1350200114852606879
[/caption] [caption id="attachment_218684" align="aligncenter" width="403" caption="Gedung Satepun tak ramah pada mereka (dok. Aden Al Hadad)"]
1350582931633295697
1350582931633295697
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun