Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pesta Rakyat Bantaran Sungai Cidurian

25 Desember 2011   11:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:46 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_404271" align="aligncenter" width="461" caption="peresmian pesta bantaran sungai (dok. Maria G. Soemitro)"][/caption]

Pejabat harus masuk ke dalam sungai untuk menggunting pita peresmian jembatan? Mungkin baru kali ini terjadi. Padahal lebar jembatan hanya kurang lebih 2,5 meter. Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) kota Bandung, Ahmad Rekotomolah yang terkena "ulah panitia" karena harus mewakili Walikota Bandung, Dada Rosada.

"Ulah panitia" tersebut berkaitan dengan "Pesta Rakyat Bantaran Sungai Cidurian 2011" yang diadakan pada tanggal 24 Desember 2011 untuk mengawali perjalanan menuju Festival Seni Budaya dan Lingkungan Sungai Cidurian 2012. Sedangkan peresmian jembatan hanyalah simbolisasi dari awal perjalanan tersebut dan secara kebetulan fisik jembatan baru saja direnovasi.

Tidak semua orang pernah mendengar tentang Sungai Cidurian yang melintasi kota Bandung dan kabupaten Bandung. Umumnya orang hanya mengenal Sungai Cikapundung sebagai ikon kota Bandung. Padahal Sungai Cidurianpun mengalir di tengah kota Bandung. Bedanya debit air Sungai Cidurian tidak sederas Sungai Cikapundung sehingga bisa dibendung sementara sekedar untuk area memancing.

Persamaannya kedua sungai tersebut menjadi tempat sampah raksasa. Mungkin karena alternatif membuang sampah ke sungai sangatlah mudah, tinggal "plung", selesai! Tak peduli sampah tersebut akan nyangkut di tepian sungai atau akan terbawa aliran sungai menuju daerah yang lebih rendah dan menyebabkan penduduk daerah lebih rendah tersebut kebanjiran.

Daerah Bandung Selatan merupakan langganan banjir setiap tahunnya, khususnya di musim hujan. Bisa dibayangkan ketika hujan turun sepanjang tahun ini, daerah tersebut tidak pernah sepi dari banjir. Dan pemaknaan banjir bagi masyarakat Bandung Selatan adalah apabila air sudah mencapai ketinggian rumah, kurang lebih 3-4 meter. Sedangkan air sungai yang masuk rumah hanya hingga sebatas kaki, bukanlah banjir kata mereka karena : "Biasalah, daerah kami memang lebih rendah jadi biasa atuh kalau air masuk di waktu hujan". Begitu pasrahnya mereka!

Komunitas Engkang-engkang, suatu komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Cidurian, Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Bandung menjadi pionir memerangi kebiasaan buruk tersebut. Mereka juga menyulap bantaran sungai yang semula gersang dan tempat parkir sampah menjadi area urban farming.

Setiap minggu anggota komunitas berkumpul untuk berkegiatan mengolah sampah seperti membuat media kotak takakura, membuat lubang resapan biopori, membuat kerajinan plastik dan kain. Khusus sebitan kain sisa mereka peroleh dari home industry yang banyak terdapat di kawasan tersebut.

Atas semua usaha melestarikan sungai dan mengelola sampah tersebut, mereka berhasil meraih juara 3 Bandung Green and Clean 2011. Suatu pencapaian yang luar biasa karena intensifitas kegiatan mereka baru dimulai pertengahan tahun ini.

Karena itulah mereka memerlukan target jangka panjang. Dan targetnya adalah menjadikan kawasan tempat tinggal mereka menjadi "Kampung Seni Budaya dan Lingkungan" , tempat siapapun bisa belajar berbagai macam seni tradisional dan berbagai macam metode pelestarian lingkungan. Tempat  memuliakan alam dengan berbagai caranya.

Peresmian Komunitas Engkang-engkang yang dikemas dalam "Pesta Rakyat Bantaran Sungai Cidurian" hanyalah bentuk proklamasi atas kehadiran dan kegiatan mereka. Serta permohonan dukungan dari berbagai pihak. Tak kurang Iwan Abdurachman (abah Iwan) yang tinggal tak jauh dari lokasi diundang untuk hadir. Juga kang Acil Bimbo yang tinggal di kelurahan sama dengan mereka serta Ridwan Kamil, Sang Petani Urban tinggal kurang lebih 1 km dari lokasi tersebut. Sayang tidak ada seorangpun yang dapat hadir, karena bentrok dengan acara lain. Demikian juga Bapak Solihin GP, mantan Gubernur Jabar yang terlalu capek karena berorasi lingkungan tidak dapat hadir.

Bahkan 3 petinggi kota Bandung (Walikota, Wakil Walikota serta Sekda Kota Bandung) tidak dapat datang karena bertepatan waktunya dengan festival Sungai Cikapundung. Nama Sungai Cikapundung tidak saja  lebih "bergema", masalahnyapun lebih kompleks  dibandingkan Sungai Cidurian yang namanya tidak nampak di google maps.

Apa relevansi kedatangan para tokoh seni, lingkungan dan pejabat dalam Pesta Rakyat Bantaran Sungai?  Karena tanpa kedatangan "orang penting", media mainstream enggan memberitakannya. Padahal media sangat berperan  untuk menyosialisasikan gerakan tersebut. Media mainstream juga sangat berperan dalam membantu akselerasi perubahan. Sehingga elemen-elemen masyarakat dari penjuru kota lainnya dapat datang untuk melengkapi.

Apa saja yang menarik pada acara ini selain Bapak Rekotomo yang harus nyemplung tadi? Banyak. Ada kesenian Karinding yang menyiapkan prosesi gunting pita. Grup Karinding Giri Sawargi Putra yang terdiri dari 30 anak-anak SD-SMP ini memainkan seluruh alat musik yang terbuat bambu. Yang menarik, anak-anak perempuan kecil tersebut melingkarkan selendangnya pada leher para tamu dewasa untuk bersama menari bak penari ronggeng. Sehingga acara menjadi cair dan menyenangkan.

Sungguh luar biasa stamina para penari dan pemain musik karinding ini. Mereka bermain musik dari pukul 08.00 hingga pukul 13.00 tanpa mengenal lelah. Walaupun ada beberapa penampil tari dan nyanyi sebagai selingan dari grup lain. Sesudah itu mereka tampil kembali.

[caption id="attachment_404342" align="aligncenter" width="392" caption="pemain Karinding, hanya berbekal bambu mampu meracik musik yang luarbiasa"]

14268609222002235856
14268609222002235856
[/caption]

Pertunjukkan selingan yang menjadi utama adalah penampilan ibu-ibu Komunitas Engkang-engkang dalam rampak sekar. Mereka menyanyikan 3 lagu daerah (Sunda). Mengapa menarik? Karena banyak ibu-ibu yang masih berkutat didapur ketika MC mengumumkan penampilan mereka. Karuan saja mereka tergopoh-gopoh berlari dalam balutan seragam kuning muda. Berdandan cantik tapi bersimbah keringat. Dan karena mereka baru berlatih 3 kali sebelum hari H maka penampilan mereka bernyanyi  mulus dan lancar patut diacungi jempol. Walau tentu saja sesuatu yang instan tetap memiliki kekurangan. Mereka masuk dan turun pentas agak serabutan. Tidak tertib layaknya grup paduan suara di pentas gedung kesenian. Bagaimanapun penampilan mereka untuk menggantikan anak-anak sekolah yang tidak bisa tampil karena sudah libur sekolah, layak diapresiasi.

Selain pertunjukkan seni, pengunjung juga bisa melihat berbagai macam hasil karya ibu-ibu Komunitas Engkang-Engkang seperti sajadah dari sisa potongan kain;  tikar, tas, dompet dari bahan bekas kemasan plastik dan tentu saja beragam tampilan tanaman berkompos hasil composting takakura.

Area urban farmingpun tak kalah menarik. Bersebelahan dengan area urban farming ada tampilan hasil karya Tita Larasati dalam bentuk komik "Merawat Sungai, Merawat Kehidupan"  di sepanjang tepian sungai. Komik tersebut belum selesai terbukti ada tulisan "to be continue" di sebelahnya. Tujuannya agar pengunjung datang untuk mengetahui kelanjutan kisahnya.

Di area urban farming, pengunjung bisa melihat berbagai pembibitan yang dilakukan warga. Dan melihat perbedaan nyata antara tanaman yang ditanam di tanah yang terdiri dari pasir kali dan tanah setempat dengan tanaman yang ditanam dengan tanah Lembang, Bandung. Tanaman cabai dengan media tanah asli setempat menjadi kerdil dan berbuah sebelum waktunya tiba.  Mungkin diperlukan lebih banyak input dari tenaga ahli pertanian untuk membantu mereka.

Tetapi yang paling menyenangkan warga bantaran Sungai Cidurian tentunya adalah acara "mancing bareng". Sekitar 2 kwintal ikan diterima dari dinas pertanian kota Bandung untuk disebar demi kemeriahan Pesta Rakyat Bantaran Sungai Cidurian. Sehingga setiap elemen warga masyarakat bantaran sungai bisa ikut larut. Memancing, bertani, menyanyi, berjoged dan makan-makanan non beras semua ada.

Makanan non beras memang merupakan salah satu agenda acara ini. Bagaimanapun harus ada tujuan urban farming yang realistis selain menanam sayuran. Salah satunya adalah ketahanan pangan. Akibat kebijaksanaan pemerintah orde baru yang mendikte masalah pangan, rakyat Indonesia melupakan  ada beragam alternatif pangan selain beras.

Beragam panganan nonberas diperkenalkan untuk dicoba. Mulai panganan tradisional dari singkong seperti katimus dan combro hingga yang ngetrend seperti   brownies dan cupcake dari tepung ganyong, dan familier seperti bolu kukus ubi. Serta tentunya tumpeng nonberas yaitu tumpeng parutan singkong beserta lauk pauknya. Tumpeng yang dipersiapkan bagi 150 tamu ini langsung tandas. Walaupun ada beberapa tamu yang merasa asing dengan rasa nasi singkong berlauk ayam goreng, balado telur, urap, perkedel singkong, oseng tempe dan oseng cabe gendot-ikan asin ini.

Tapi semua tujuan perubahan harus dimulai kan? Sesederhana apapun tindakan awal itu.

**Maria  G. Soemitro **

1426862069884790825
1426862069884790825

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun