Selain itu, Pateman dalam bukunya The Disorder of Women: Democracy, feminism and political theory menekankan bahwa partisipasi demokratis yang sejati memerlukan pengakuan dan pemecahan hambatan yang dihadapi perempuan. Ia mengkritik gagasan kewarganegaraan sebagai prinsip yang bersifat universal karena karena sering kali gagal memperhatikan masalah dan tantangan spesifik yang dihadapi perempuan dalam ranah privat dan publik. Pateman (1989) juga berargumen bahwa meskipun hak suara perempuan telah diakui dalam demokrasi modern, namun dominasi laki-laki dalam struktur kekuasaan masih menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif. Oleh karena itu, dalam kerangka ini, kebijakan affirmative action harus mencakup perubahan struktural yang lebih luas agar dapat memberikan ruang yang setara bagi perempuan dalam politik
Negara dalam perspektifnya terhadap pemenuhan hak partisipasi perempuan juga tidak hanya bertanggung jawab sebagai pengawas, tetapi juga sebagai fasilitator aktif yang harus memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara dalam politik. Ann Phillips (1995) menegaskan bahwa negara harus berperan dalam memastikan bahwa kebijakan affirmative action yang diterapkan benar-benar mendorong keterwakilan perempuan secara substansial. Ini artinya, negara seperti Indonesia tidak cukup hanya menetapkan kuota 30% dalam kebijakan affirmative action tanpa upaya serius dalam memastikan perempuan yang terpilih memiliki pengaruh dalam proses pembuatan keputusan. Menurut Phillips, affirmative action yang hanya menargetkan angka akan berisiko menjadikan perempuan sebagai token politik tanpa memberikan mereka otoritas substantif untuk berkontribusi dalam kebijakan publik. Dengan demikian, jika berkaca dari efektivitas pengimplementasian kebijakan afirmasi di Indonesia, maka dapat dinilai bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya efektif dalam mendorong partispasi perempuan.Â
Dari perspektif agama, pengaruh nilai-nilai patriarkis yang terkandung dalam ajaran agama sering kali menjadi penghalang bagi perempuan untuk terlibat dalam politik. Beragamnya penafsiran terhadap teks-teks agama mengakibatkan seringnya terjadi kesalapahaman dalam memahami kestaraan gender dan posisi perempuan dalam hirarki kehidupan sosial. Dalam agama Islam, misalnya, terdapat ayat-ayat yang secara eksplisit menunjukkan prinsip kesetaraan gender, seperti dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan untuk saling mengenal tanpa memandang gender, ras, atau status sosial. Namun, penafsiran yang patriarkis terhadap ayat-ayat lain sering kali membatasi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Ayat seperti QS. An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga (qawwamun) sering kali dipahami sebagai alasan untuk membatasi peran perempuan dalam ruang publik.
Terlepas dari isu tersebut, penulis mengamati bahwa pada dasarnya setiap agama di Indonesia telah mengajarkan keadilan dan kesetaraan bagi setiap gender, termasuk perempuan. Dalam agama Islam, perempuan diberikan hak-hak penuh dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Sebagai contoh, Islam mengakui hak perempuan untuk memiliki properti, berpartisipasi dalam musyawarah (syura), dan menjalankan tugas keagamaan tanpa ada perbedaan dengan laki-laki. Selain itu, dalam ajaran agama Katolik, gereja telah memberikan pernyataan jelas terkait posisinya dalam isu kesetaraan gender. Hal ini tercantum dalam dokumen Gaudium Et Spes Art. 9 yang menyatakan bahwa "Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal-mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang." (Dokumen Gerejawi, 2017). Mengacu pada hal tersebut, maka penulis melihat bahwa dari perspektif agama kebijakan affirmative action sebenarnya telah mencoba untuk menciptakan ruang bagi kesetaraan gender melalui pemenuhan hak partisipasi politik perempuan. Namun, masih menjadi catatan penting dalam pelaksanaannya yang perlu lebih diefektifkan baik dari segi pemenuhan kuota maupun keterlibatan nyata perempuan dalam proses pembuatan kebijakan.Â
Â
Kesimpulan
Pemenuhan hak partisipasi politik perempuan melalui kebijakan affirmative action di Indonesia menunjukkan adanya kemajuan dalam hal peningkatan jumlah perempuan di parlemen, namun efektivitasnya masih jauh dari optimal. Isu ini menunjukan bahwa meskipun sudah diatur dalam berbagai paket undang-undang, mekanisme implementasi kebijakan tersebut belum cukup kuat untuk mendorong keterwakilan politik perempuan secara signifikan. Menurut perspektif negara, hak perempuan dalam politik menjadi sangat esensial dalam iklim demokrasi dan kebijakan affirmative action dapat menjadi sarana penting dalam mendukung keterwakilan perempuan di tubuh pemerintahan. Akan tetapi, pengimplementasiannya masih terlalu normatif. Negara dalam hal ini perlu memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya dijalankan sebagai formalitas, melainkan benar-benar membuka kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Di sisi lain, agama memandang bahwa nilai-nilai patriarkis yang kuat dalam masyarakat menjadi penghalang utama dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan. Meski begitu, ajaran agama-agama di Indonesia sebenarnya telah mendukung prinsip kesetaraan gender. Dengan demikian, pengimplementasian kebijakan affirmative action masih memerlukan upaya konkret untuk memperbaiki dan sinergitas pemerintah untuk meningkatkan efektivitas praktiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H