Mohon tunggu...
Maria Agnesia G Soeryanto
Maria Agnesia G Soeryanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Ilmu Politik yang tertarik terhadap isu politik internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemenuhan Hak Partisipasi Politik Perempuan: Menakar Efektivitas dan Tantangan Kebijakan Affirmative Action dari Perspektif Negara dan Agama

12 Desember 2024   13:27 Diperbarui: 12 Desember 2024   13:26 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam hal warisan, Islam memberikan laki-laki bagian dua kali lipat dari perempuan, seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 228. Ketentuan ini didasarkan pada tanggung jawab laki-laki yang lebih besar dalam menanggung kebutuhan anak, istri, orang tua, dan saudara perempuan. Sebaliknya, perempuan memiliki hak penuh atas warisan yang diterimanya tanpa kewajiban untuk berbagi. Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini menegaskan pentingnya laki-laki dan perempuan saling menunaikan hak satu sama lain dengan cara yang baik (ma'aruf).

Akan tetapi, Dr. Mufidah menyoroti bahwa pandangan Islam yang sangat memuliakan perempuan sering kali disalahpahami. Narasi Barat kerap menggambarkan Islam sebagai agama yang mengekang perempuan. Hal ini tentunya merupakan miskonsepsi yang tidak benar. Faktanya, Islam justru melindungi hak-hak perempuan secara menyeluruh, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan demikian, meskipun tantangan implementasi hak-hak perempuan dalam Islam masih ada, nilai-nilai keadilan yang diajarkan dapat menjadi landasan kuat untuk mewujudkan kesetaraan terhadap hak perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Salah satu contohnya adalah pemenuhan hak perempuan di bidang politik. Di Indonesia, meskipun kebijakan afirmasi berupa kuota 30% untuk perempuan di parlemen telah diterapkan, realisasinya masih menemui banyak kendala. Dalam konteks ini, Dr. Mufidah mencatat bahwa sering kali partai politik lebih mengutamakan laki-laki, bahkan ketika suara perempuan lebih banyak. Fenomena ini mencerminkan bahwa penerapan kebijakan afirmasi masih perlu didukung dengan upaya yang lebih serius untuk memastikan keterwakilan perempuan di ruang pengambilan keputusan.

Efektivitas dan Tantangan Kebijakan Affirmative Action

Jika kita meninjau kembali mengenai efektivitas pemenuhan affirmative action, sebenarnya persentase partisipasi perempuan dalam meraih kursi DPR tidak pernah mencapai 30%. Berdasarkan data KPU, representasi perempuan di DPR pada Pemilu 2014-2019 hanya mencapai 17,32% atau 97 orang; Pemilu 2019-2024 sebesar 20,87% atau 120 orang; dan Pemilu 2024 sebanyak 21,90% atau 127 orang. Rendahnya perolehan angka ini sangat disayangkan karena representasi perempuan dengan proporsi seimbang dalam ranah politik sangatlah penting. Dalam hal ini, Ann Philips (1995) juga berpendapat bahwa dengan menghadirkan identitas perempuan secara proporsional, maka akan mendorong kesetaraan, keadilan, dan kepentingan perempuan, serta memberikan akses sumber daya bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Maka dari itu, sangat penting bagi pemerintah untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam parlemen agar hak-hak mendasar perempuan dapat terakomodasi lewat setiap butir-butir pasal yang tertuang dalam rumusan kebijakan publik. Namun, realitanya kebijakan afirmatif pun belum mampu memenuhi harapan tersebut.

Berkaca dari pemilu 2024, implementasi kebijakan affirmative action ternyata masih juga belum bisa memenuhi standar kuota 30% yang telah ditetapkan. Menurut data yang dirilis dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 21,90% atau 127 perempuan yang terpilih untuk duduk di bangku parlemen pada kontestasi Pemilu 2024. Angka ini menunjukan peningkatan dari hasil Pemilu 2019 yang mencatatkan keterwakilan perempuan sejumlah 20,87%. Namun, pertambahan sebesar 1,56% bukan merupakan prestasi yang patut dibanggakan. Pasalnya, angka ini masih cukup jauh dari aturan minimal yang diisyaratkan oleh undang-undang.

Melihat stagnansi angka keterpilihan perempuan dalam parlemen, penulis menilai bahwa perlu adanya reformasi kebijakan dan penegakan hukum dalam mengatasi kendala implementasi affirmative action. Salah satu tantangan yang seringkali dihadapi adalah terkait ketidakseriusan partai dalam mendorong keterwakilan perempuan dan hanya sekadar menganggap affirmative action sebagai formalitas dalam memenuhi kuota legislatif. Argumen ini diperkuat oleh pernyataan dari peneliti Perludem--Heroik Pratama-- yang menyatakan bahwa kuota affirmative action yang tidak pernah terpenuhi disebabkan oleh faktor lemahnya dukungan partai politik terhadap perempuan. Lemahnya dukungan ini juga diperparah oleh ketidakefektifan aturan yang berlaku dan belum adanya sanksi yang diberikan apabila partai melanggar aturan tersebut (Dinata, 2020)

Selain itu, sejumlah partai politik juga belum dapat memberikan contoh dalam mendorong keterwakilan perempuan yang signifikan. Mengacu pada hal ini, Dr. Ana Sabhana Azmy, M.I.P. --dalam FGD mengenai Women and Islam di kanal YouTube Chusnul Mariyah Official-- menyatakan bahwa bahkan PDIP sebagai partai besar hanya dapat menghadirkan 26 caleg perempuan dari total 128 dalam kontestasi pemilu 2024 lalu. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat partai tersebut telah memiliki sarana sekolah partai yang diharapkan mampu mendukung pengembangan kapasitas caleg perempuan. Bisa dibayangkan, partai besar seperti PDIP yang telah memiliki infratruktur pendukung saja belum dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen, lalu bagaimana dengan partai kecil lain yang bahkan tidak memiliki fasilitas serupa? Menanggapi pertanyaan ini, Dr. Ana Sabhana Azmy, M.I.P. dalam diskusi yang sama, juga mengkritik bahwa banyak partai politik yang masih kurang memberikan support dari segi pendidikan, pelatihan, dan "ongkos politik" bagi para caleg perempuan. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen partai dalam mendorong partisipasi politik perempuan secara substansial. Dengan demikian, kesan yang didapatkan dalam kebijakan kuota dalam affirmative action jadi terkesan sangat administratif.   

Kurang efektifnya penetapan kuota perempuan dalam pemilu menginsyaratakan bahwa perlu ada kebijakan afirmatif yang lebih konkret dalam menanggapi persoalan pemenuhan hak partisipasi politik perempuan. Data yang tersedia menunjukan bahwa upaya meningkatakan keterwakilan perempuan di parleman tidak cukup jika hanya mengejar kuota atau angka. Maka dari itu, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah untuk memperkuat aturan yang mendorong partai politik untuk memberikan nomor urut satu kepada perempuan dalam setiap daerah pemilihan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Pemilih seringkali memiliki kecenderungan untuk memilih calon legislatif yang berada di nomor urut strategis, seperti nomor 1 atau 2 (Prihatini, 2019). Fenomena ini dibuktikan pada pemilu 2019, ketika Margret dkk. (2022) menemukan bahwa 48% caleg perempuan terpilih menempati nomor urut 1, sementara 25% berada di nomor urut 2.

Analisis Melalui Perspektif Negara dan Agama

Jika dilihat dari perspektif konseptual negara, pemenuhan hak partisipasi politik perempuan merupakan suatu urgensi yang tak terelakkan dalam kerangka demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Pada dasarnya, demokrasi inklusif menekankan pentingnya pelibatan setiap lapisan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, termasuk perempuan. Partsipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik menjadi aspek penting dalam upaya mengakomodir hak-hak kewarganegaraan mereka. Berkaitan dengan hal ini, Nur Imam Subono (2009) pun berpendapat bahwa inklusifitas perempuan dalam perumusan kebijakan publik menjadi penting karena perempuan memiliki gaya politik yang berbeda (lebih compassionate, caring dan collaborative) dibandingkan laki-laki. dan hal ini berkaitan dengan prioritas kebijakan yang diambil ketika mereka terpilih sebagai anggota parlemen perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun