Bertolak belakang dengan pandangan tersebut, Edward Said memiliki argumen yang berbeda dalam memandang Orientalisme dan peristiwa konflik Palestina. Melalui bukunya yang berjudul “Orientalisme”, Said berusaha untuk menentang dominasi interpretasi atau hegemoni terhadap dunia Timur—khususnya arab—dalam pandangan sarjana Eropa selama berabad-abad. Adapun definisi orientalisme yang dimaksud oleh Said yaitu sebuah cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan posisinya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Menurutnya, orientalisme merupakan suatu gaya berfikir yang dikonstruksi antara Timur sebagai “The Orient” dan hampir selalu Barat sebagai “The Occident”.
Said menekankan bahwa orientalisme tidak hanya sekadar suatu cara pandang, tetapi juga merupakan instrumen kekuasaan dan kontrol yang digunakan Barat untuk mendominasi Timur. Penggambaran Timur dalam orientalisme seringkali bersifat stereotipikal, eksotis, dan merendahkan sehingga melahirkan hubungan hierarkis antara Barat dan Timur. Konsekuensinya, sentimen negatif terhadap Timur sering digunakan sebagai alasan untuk memvalidasi intervensi dan dominasi Barat di wilayah tersebut, terutama dalam konteks Palestina-Israel. Maka demikian, kritik Said terhadap orientalisme diharapkan dapat menyadarkan masyarakat Barat terhadap realitas kompleks di Timur agar mampu memperjuangkan perspektif yang lebih adil dan inklusif.
Dalam memandang Perang Gaza, orientalisme versi Said kurang setuju terhadap bias pemberitaan media Barat dan lebih menekankan pada dukungan Barat yang diberikan kepada Palestina. Sebagaimana yang dinarasikan sebelumnya, dukungan terhadap Palestina sebenarnya sudah mulai terlihat dari negara Barat, terlepas dari pemberitaan media yang bias. Sejumlah negara di Amerika Serikat dan Eropa telah berupaya mengaitkan antizionisme dan antisemitisme dalam rangka menunjukkan dukungan terhadap perjuang Palestina dan mendukung kampanye Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS). Harus diakui bahwa langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari upaya elit Barat untuk menyasar politik progresif dan kiri, yang sudah terlihat di negara-negara seperti Prancis, Jerman, Amerika Serikat, dan Inggris. Maka dari itu, ini menjadi bukti yang sejalan dengan kritik Said terhadap orientalisme bahwa tidak selamanya pandangan Barat bisa mendikte citra dunia Timur. Sebagai buktinya, stigma orientalisme dapat dibelokan dan Palestina mampu menghimpun dukungan dari negara Barat.
Gerakan Pro-Palestina Sebagai Upaya Menentang Orientalisme
Tantangan dalam memerangi pandangan orientalis terhadap Palestina terlihat melalui mobilisasi gerakan perjuangan di seluruh dunia dan khususnya di masyarakat Barat. Slogan seperti “Free Palestine” dan “From The River to The sea, Palestine Will Be Free” terus digaungkan di berbagai platform media sosial sebagai bentuk dukungan penuh terhadap warga Palestina yang menjadi korban dari peristiwa 7 Oktober. Aksi demonstrasi turun ke jalan pun dilakukan untuk menuntut tindakan pemerintah dan PBB agar segera mengambil langkah konkret dalam mengatasi konflik Palestina-Israel. Tak hanya itu, kampanye boikot juga semakin merajalela hingga menyebabkan sejumlah perusahaan yang terindikasi pro Israel mengalami penurunan pendapatan secara signifikan. Dengan demikian, dari berbagai tindakan yang dilakukan dapat kita maknai sebagai upaya mengubah stigma negatif masyarakat Barat terhadap Dunia Timur dan mereduksi pandangan orientalisme lewat konflik Palestina-Israel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H