Mohon tunggu...
Maria Agnesia G Soeryanto
Maria Agnesia G Soeryanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Ilmu Politik yang tertarik terhadap isu politik internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membongkar Orientalisme: Perspektif Barat dalam Konflik Palestina-Israel

4 April 2024   11:22 Diperbarui: 4 April 2024   11:22 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orientalisme merupakan pandangan yang telah lama merajai pemikiran Barat terhadap Timur, khususnya dunia Arab dan Muslim. Esensi pemikirannya yang kental dengan stereotip dan bias ini dapat menjelaskan perspektif Barat dalam memandang konflik Palestina-Israel. Melalui eksplorasi konteks sejarah, liputan media Barat, dan upaya dukungan terhadap rakyat Palestina, maka tulisan ini akan mencoba menjelaskan konflik dari pandangan Orientalis beserta kritiknya oleh Edward Said. 

Dinamika Perkembangan Konflik Palestina-Israel

Sejak berabad-abad, konflik antara Palestina dan Israel menjadi salah satu yang paling sulit untuk diselesaikan. Di balik kompleksitasnya, terdapat latar belakang historis yang mendalam, yaitu peristiwa Nakba 1948. Sejarah Nakba berkaitan erat dengan pengusiran massal dan perampasan harta rakyat Palestina selama Perang Arab-Israel. Awal mula peristiwa ini disebabkan karena deklarasi kemerdekaan Israel oleh David Ben-Gurion pada tanggal 14 Mei 1948. Deklarasi tersebut memicu konflik bersenjata antara penduduk Arab Palestina dan Israel. Sebagai akibatnya, ribuan warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah dan tanah mereka sesuai dengan tuntutan Zionis Israel. Berbagai cara kekerasan mulai dari pemerkosaan, penganiyaan, pembunuhan, hingga pengeboman rumah warga pun dilakukan oleh pihak Israel untuk mengusir warga Palestina dari tanah kelahirannya. Alasan dibalik kekerasan ini sebenarnya cukup jelas, yaitu hanya sebatas keinginan Israel untuk menguasai tanah-tanah di Palestina.

Peristiwa Nakba tidak berhenti pada tahun 1948, melainkan masih terus berlangsung hingga pada saat ini. Dampak membekas yang ditinggalkan oleh Nakba menjadi alasan utama dibalik berlarutnya konflik Palestina-Israel. Demikian perseturuan antar keduanya juga tidak luput dari perebutan wilayah jalur Gaza yang menyebabkan konflik berkepanjangan di daerah tersebut. Jalur Gaza merupakan daerah sempit di pesisir barat Israel dan telah menjadi pusat pertempuran sengit sejak tahun 1948. Perebutan daerah ini pun seringkali menjadi fokus utama yang kerap diliput media dalam pemberitaan konflik Palestina-Israel. Selama perkembangannya, konflik dan perang di jalur Gaza terus berlangsung dengan intensitas yang meningkat. Hingga pada tanggal 7 Oktober 2023, perang di antara keduanya kembali pecah akibat serangan Hamas terhadap Israel. Peristiwa ini adalah insiden pertama yang terjadi secara langsung sejak Perang Arab-Israel pada tahun 1948.

Invasi masif yang dilakukan oleh Hamas diawali dengan peluncuran sejumlah roket yang ditembakkan dari jalur Gaza. Kelompok barisan pejuang tersebut kemudian nekat menerobos tembok pembatas Gaza-Israel dan memaksa masuk melalui penyeberangan perbatasan Gaza. Hamas juga bergerak menuju pemukiman-pemukiman dan pangkalan militer terdekat, menamakan invasi ini sebagai Operasi Banjir Al-Aqsa. Serangan mendadak yang terjadi tepat pada Hari Yom kippu tersebut sukses membuat Israel lengah dan mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban jiwa. Pemerintah Israel lalu merespon serangan ini melalui deklarasi perang dengan melancarkan Operasi Pedang Besi ke utara Jalur Gaza. Negara tersebut melakukan serangan artileri udara yang menyasar berbagai lokasi, termasuk pemukiman penduduk dan rumah sakit. Dengan demikian, angin pun dengan cepat berbalik arah. Palestina kini justru dibanjiri serangan dan korban jiwa yang berjatuhan berkali-kali lipat lebih banyak daripada Israel. Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan jumlah korban tewas di Gaza, Palestina mencapai 31.045 orang. Sebanyak 72.654 orang terluka akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023. Dilansir Al Jazeera, Minggu (10/3/2024), sekitar 72 persen korban merupakan anak-anak dan perempuan.

Perang Gaza Dalam Liputan Media Barat

Kenyataan indikasi genosida dalam perang yang tengah berlangsung di Gaza seringkali diabaikan oleh pemberitaan media asing. Sebaliknya, media justru menggambarkan Palestina tanpa memperlihatkan sisi kemanusiannya dan cenderung di-dehumanisasi. Aspirasi politik dan agensi mereka juga kerap diabaikan. Narasi mengenai konflik Palestina-Israel dalam media mainstream barat yang besar justru hanya sebatas menceritakan peristiwa yang dimulai dari 7 Oktober. Liputan yang disajikan tidak memberikan konteks sejarah yang memadai atau mencoba menyertakan akar historis untuk dapat membantu audiens agar lebih memahami konteks perang yang terjadi. Bahkan, perspektif dari warga Palestina sendiri tentang latar belakang sejarahnya seringkali tidak disorot dan diperhatikan, terutama dalam upaya untuk menjelaskan alasan dibalik asal-usul konflik hingga bisa mencapai titik ini.

Perspektif Barat cenderung memandang peristiwa 7 Oktober 2023 hanya sebatas “serangan teroris” oleh Hamas ke Israel. Munculnya pandangan ini disebabkan karena media barat hanya berfokus pada pemberitaan secara umum peristiwa perang dan tidak menyertakan konteks sejarah relevan mengenai konflik yang telah mengakar sejak 1948. Selain itu, respons Israel terhadap serangan Hamas di Gaza seringkali disebutkan hanya sebagai tindakan "pembelaan diri", dengan perhatian yang tidak memadai terhadap dampaknya bagi warga Palestina. Padahal serangan balasan yang dilakukan oleh Israel sudah melebihi batas wajar untuk dapat dikategorikan sebagai aksi “pembelaan diri”. Dengan demikian, corak pemberitaan media Barat  yang gamblang terlihat seakan lebih memihak dan membela narasi Israel.

Alasan dibalik perspektif Barat terhadap konflik Palestina-Israel sebenarnya terletak dalam kerangka pemikiran orientalisme. Selain karena alasan literal bahwa elit Barat memiliki kepentingan geopolitik dan ekonomi dengan Israel, pandangan orientalis mereka terhadap timur memainkan peran kunci dalam membentuk narasi media yang ditayangkan. Kerangka pemikiran ini menjustifikasi dominasi Israel atas Palestina dan membenarkan tindakan militer yang dilakukan Israel di wilayah tersebut. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua media atau negara Barat berlaku seperti ini. Sebagian besar diantaranya juga telah menunjukkan dukungan terhadap penyelesaian yang adil dan damai bagi rakyat Palestina.

Kerangka Pemikiran Orientalisme Terhadap Perspektif Barat

Perspektif rasialis dari media Barat utamanya berakar dalam pandangan Orientalis terhadap dunia dan lebih khusus lagi terhadap wilayah timur. Orientalisme dipahami secara umum sebagai cara pandang yang dipengaruhi oleh Barat terhadap Timur, yang sering kali menggambarkan Timur sebagai pihak yang perlu “dibenarkan” atau “diselamatkan” oleh Barat. Karenanya, unsur-unsur yang dianggap negatif dalam masyarakat Barat, seperti penjahat, orang gila, dan kaum miskin kerap diasosiasikan dengan Timur. Retorika semacam ini kemudian digunakan oleh Pejabat Israel dan Barat untuk menggambarkan tindakan Hamas pada peristiwa 7 Oktober sebagai barbar dan membenarkan perang genosida Israel di Jalur Gaza. Kerangka berpikir orientalisme menciptakan narasi yang memihak dominasi Israel atas Palestina yang tercermin dalam pemberitaan media barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun