Mohon tunggu...
Maria Elly Rusfendy Saragih
Maria Elly Rusfendy Saragih Mohon Tunggu... Penulis - Pemimpin Redaksi

Menulis buku, memasak, membaca, menonton, menggabut (Hehehe ...)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Sisi Mata Hati (Terinsipirasi dari Tokoh Cerita Novel Cinta dan Revolusi 2012 oleh Rendra Harahap)

6 Desember 2023   18:59 Diperbarui: 6 Desember 2023   21:07 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jeal duduk di kursi tengah mobil papanya, tepat di belakang papanya yang mengendalikan kemudi. Ia tampak tengah senyam-senyum sambil bertukar pesan dengan seseorang di hp-nya. Mamanya menoleh dengan tatapan tidak suka. "Cinta itu bukan cuma soal perasaan, Jeal. Tapi, soal hidup dan kehidupan!" Kalimat itu keluar dari mulut mamanya dengan penuh penekanan dan intonasi tidak suka. Mimik wajah Jeal berubah drastis setelah mendengar ucapan sang mama. Senyum bahagianya sirna tak bersisa.

"Mama ... kenapa sih, Ma?" bela papa Jeal.

"Anakmu itu harus dikasih tahu. Dia juga perlu masa depan, bukan cuma senyam-senyum sama si pelukis gila itu!" seru mama Jeal semakin meradang.

"Emang kenapa kalo dia pelukis, Ma? Pelukis juga manusia," bantah Jeal, berusaha dengan nada selembut mungkin.

"Pelukis juga bisa sukses, Ma. Jangan kolot deh." Lagi-lagi Jeal mendapat belaan dari papanya.

"Tahu! Tapi, mana? Anak itu kayak nggak ada usahanya mau sukses. Banyak kok pelukis yang idealis, tapi tetap realistis. Lukisannya terjual ratusan juta. Nggak usah deh ratusan juta, dia kayak Dika aja, udah cukup buat Mama." Mamanya masih tak mau kalah. 

"Ya jangan samain Kak Dika sama Defan, Ma. Mama mau punya menantu genit begitu sama perempuan?" jawab Jeal dengan nada sedikit meninggi. Jeal juga manusia biasa, ada rasa tidak suka saat kekasihnya begitu dilucuti oleh mamanya sendiri meski Defan tak pernah mendengar kalimat-kalimat menyakitkan ini. 

"Minimal Dika itu konsisten merealistiskan seninya. Nggak kayak Defan yang kayak nggak mau membangun masa depan." 

"Ma, Defan juga kerja. Dia bisa hidup dari lukisannya."

"Iya, cuma dia 'kan? Kalo nanti nikah sama kamu? Bisa? Belum anak butuh susu, butuh sekolah. Apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki yang nggak mau tahu sama masa depannya kayak gitu?" Ucapan mamanya kali ini begitu melukai hati Jeal, ia menyematkan handsfree dan memasang lagu dengan volume tertinggi dari tripod-nya. Ia tak lagi bisa mendengar perdebatan mama dan papanya, yang mungkin tentang Jeal dan Defan. Jeal menutup matanya, berharap bisa membendung air matanya tapi gagal. Air mata itu mengalir juga, bahkan begitu derasnya dari mata Jeal yang masih terpejam. 

Hingga kegelapan itu menjadi benar-benar gelap. Jeal merasakan benturan keras, bahkan berguling-guling bagai roaller coaster. Jeal tak berhasil melihat apa pun, hanya suara benturan keras yang berakhir teriakan-teriakan entah milik siapa. Lalu, telinganya berdenging, suara teriakan itu tersamarkan dan hening. 

*** 

Jeal mendesis pelan. Tubuhnya terasa remuk. Dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Ia menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya dan mulai mencerna keadaan di sekelilingnya. "Aku di mana?" tanya Jeal kebingungan. "Jeal, kamu udah sadar?" Jeal baru menyadari keberadaan Defan di sampingnya. Defan mengusap rambut Jeal lembut dengan tatapan penuh haru. Jeal dan Defan bertatapan sejenak, Jeal dengan tatapan penuh tanya, Defan dengan tatapan penuh arti yang tak bisa diartikan Jeal. 

"Kok kamu di sini?" tanya Jeal masih tak mengerti. Tangan Defan menggenggam tangan Jeal erat. "Aku akan selalu di sini, di samping kamu," jawab Defan, ucapan itu terasa seperti sebuah janji dengan tekad yang kuat. 

Nabilah datang membawa sekantung obat di dalam plastik putih. "Alhamdulilah, Jeal. Akhirnya kamu sadar juga." Nabilah memeluk tubuh adiknya yang masih berbaring itu. Defan undur sejenak, memberi ruang untuk kedua kakak-beradik itu. Mungkin mereka butuh waktu untuk bicara, pikir Defan. 

"Mama mana, Kak?" Pertanyaan ini sebenarnya usaha Jeal menggali ingatannya. Seingatnya, terakhir kali Jeal berada di mobil bersama kedua orang tuanya. Tapi, Jeal tak mendapatkan jawaban dari Nabilah selain raut wajah kakaknya berubah sendu. "Kakak kasih obat ini ke suster dulu, ya." Nabilah meninggalkan Jeal sendirian dengan segudang pertanyaan di benaknya. Banyak spekulasi berkelebatan di otak Jeal, ketakutan-ketakutan akan prasangka yang hadir tanpa dapat dicegahnya. Air mata Jeal mengalir begitu deras, mengingat pertengkaran di mobil itu.

*** 

HARI ini Jeal pulang ke rumah, tadi Defan menjemputnya bersama Ayu dan Nabilah dari rumah sakit. Nabilah mendorong kursi roda Jeal ke dalam rumah. Tiba-tiba ada yang di kosong di rumah ini, ralat: di hati Jeal. Rumah ini rasanya tidak lagi sama sebelum keberangkatan Jeal dan kedua orang tuanya malam itu.

"Duduk, Fan. Kakak bikinin teh, ya," ujar Nabilah berjalan menuju dapur. 

"Makasih, Kak." Defan membenarkan letak kursi roda Jeal agar Defan bisa melihat seluruh wajah Jeal dari kursi yang akan didudukinya. Tapi, sepertinya keputusan Defan ini salah, mata Jeal jadi berpusat pada potret keluarganya. Defan mengusap punggung tangan Jeal, mengalihkan perhatian Jeal ke arahnya. Defan tersenyum, Jeal memaksakan senyumnya, sebulir air mata jatuh di sudut mata Jeal. 

"Aku di sini, nggak akan ke mana-mana. Besok aku temani terapi ya," ucap Defan. 

"Tapi ... Mama dan Papa nggak di sini, Fan. Itu nggak sebanding," jawab Jeal dalam hatinya. "Andai kamu tahu, kalo kecelakaan itu juga gara-gara kamu."

Nabilah datang membawa 5 gelas teh di atas nampan. "Minum dulu, ya. Cuma teh yang ada, Fan." Nabilah menyodorkan segelas untuk Defan, Jeal, dirinya, kemudian beranjak ke toko dari pintu penghubung untuk mengantarkan teh buat Dika dan Ayu. 

Hari berganti. Hari berjalan bahkan berlari begitu cepat. Jika tidak ada pekerjaan, Defan menemani Jeal terapi ke rumah sakit. Sudah setahun, tapi hasilnya nihil. Hampir tak ada perkembangan pada kaki Jeal. 

"Kondisi cidera di tukang belakangnya belum banyak membaik. Meskipun operasi tidak menjanjikan kesembuhan total, tapi sejauh ini memang itu satu-satunya usaha yang paling memungkinkan." Ucapan dokter spesial bedah tulang tadi siang terngiang kembali di benak Jeal. Bantalnya sudah basah dengan air mata. Terngiang pula ucapan mamanya malam itu. "Apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki yang nggak mau tahu sama masa depannya kayak gitu?" Jeal berteriak histeris sambil memukuli kakinya, memukuli tempat tidur kosong di sampingnya, sembarangan. Meluapkan segala emosi yang terlalu rumit untuk diungkapkannya dengan kata-kata. Nabilah datang memeluk Jeal, berusaha menenangkannya. 

Jeal sedikit lebih tenang. Ada rasa bersalah menyelinap di hati Jeal. "Kalo malam itu aku nggak ikut, mama sama papa mungkin nggak bertengkar, Kak. Mungkin mama sama papa masih di sini. Mungkin Kakak nggak harus berjuang buat  aku sama Ayu. Mungkin Ayu nggak kehilangan sosok mama sama papa di usianya yang masih terlalu muda. Semua itu karena aku sama Defan. Aku yang egois, Kak. Aku yang maksa ikut malam itu. Aku juga yang nggak menengahi pertengkaran itu." Kalimat-kalimat itu hanya tertahan di dalam jiwa Jeal, dalam tangisnya yang menganak sungai. Ia terlalu enggan menambahi beban Nabilah. Terlalu pengecut untuk mengakuinya di depan Defan. 

***

"AKU mau, mulai besok kamu nggak usah ke sini lagi," ucap Jeal, datar. 

"Kok gitu? Aku salah, ya?" selidik Defan yang hanya dijawab dengan gelengan kepala Jeal. "Terus?" Jeal membisu. Keheningan menyeruak di antara mereka. Defan berusaha mencerna apa yang mungkin menyebabkan perubahan Jeal yang dirasanya sangat tiba-tiba.

"Ini karena omongan dokter, ya? Karena kaki kamu nggak bisa sembuh?" desak Defan. Jeal menoleh dengan tatapan tajam, seolah kalimat itu menciderai harga dirinya. Defan bangkit dari duduknya, menarik kursi roda Jeal dan berlutut tepat di depan Jeal. Defan mengambil kedua tangan Jeal dan menggenggamnya erat, seolah berusaha menyalurkan keseriusan dari kalimat yang akan keluar dari mulutnya. "Jeal, aku sayang ama kamu secara utuh. Mau kamu bisa jalan, kamu nggak bisa jalan, aku nggak peduli. Aku sayang ama kamu."

Defan dan Jeal saling bertatapan, sayangnya tatapan itu seakan tak lagi sepaham. 

"Aku juga sayang ama kamu, Fan. Tapi omongan mama benar, kalo kamu jadi pelukis yang punya masa depan mungkin aku nggak perlu lumpuh. Kamu nggak bisa apa-apa selain sayang ama aku 'kan?" Lidah Jeal terlalu kelu untuk mengeluarkan kalimat yang sudah terucap di batinnya itu. Dia tahu, kalimat itu hanya akan menyakiti Defan sama seperti dia yang kini memendam rasa sakit itu sendiri. 

"Aku nggak bakal ninggalin kamu. Aku janji. Hati aku udah terlalu penuh ama kamu untuk tergoda ama cewek lain, Jeal." Defan masih tak kehilangan harapan untuk meyakinkan Jeal.

"Justru itu, Fan. Gimana aku bisa maafin diri aku sendiri kalo tiap hari aku lihat kamu? Aku nggak bisa lupa kejadian itu, yang bikin keluarga ini tiba-tiba kehilangan arah. Kakiku udah nggak bisa sembuh, masak jiwaku juga? Gimana Kak Nabilah? Gimana Ayu? Aku harus sembuh, Fan. Meskipun itu artinya aku harus merelakan kamu." Jeal yang pengecut ini hanya berani menarik tangannya dari genggaman Defan. "Aku nggak pantas buat kamu. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku, nggak perlu terjebak ama cewek lumpuh kayak aku." Jeal mengayuh roda kursinya mundur dan berbalik menuju kamarnya.

Nabilah datang dari pintu yang menghubungkan rumah dan toko. Mendapati Defan seorang diri tengah berlutut dengan wajah putus asa. Nabilah dan Defan hanya bertukar senyum tipis untuk kondisi yang terlalu kikuk ini. "Aku pulang ya, Kak." Nabilah mengangguk. "Hati-hati, Fan." Kali ini Defan yang mengangguk lalu pergi. 

Kepergian Defan hari itu diiringi isak tangis Jeal di dalam kamarnya. Ia mendekap potret Defan. Setengah hatinya pergi bersama Defan, namun setengahnya dipenuhi rasa marah pada keadaan yang tak akan pernah sama lagi. 

Sejak hari itu, kedatangan Defan tak pernah diterima lagi di rumah ini. Jeal selalu menghindar. Meski setiap malam, ia masih suka memandangi foto Defan sebelum tidur lalu menyelipkannya di balik bantal. Kondisi hati Jeal perlahan-lahan membaik. Tidak ada lagi Jeal yang tiba-tiba histeris memukuli kaki, tempat tidur dan sekelilingnya sembarangan. Tidak ada lagi Jeal yang menangis setiap malam. Kalaupun ada, tidak sesering dulu. 

Cinta tak harus memilik, Fan. Hanya karena aku memilih pergi, bukan berarti aku berhenti mencintaimu. Mungkin nanti, kita akan sama-sama menemukan perhentian yang baru untuk saling mencintai.


Catatan : Harapan yang terselip di balik penulisan cerpen ini, supaya pembaca penasaran mengenai selengkapnya yang terjadi dengan Defan, Jeal, Ayu, dll. Bisa didapatkan dengan klik >> Pesan Cinta dan Revolusi 2012 . 

Terima kasih sudah membaca sampai selesai, terima kasih juga sebelumnya, yang sudah mau membeli Cinta dan Revolusi 2012.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun