"Tapi ... Mama dan Papa nggak di sini, Fan. Itu nggak sebanding," jawab Jeal dalam hatinya. "Andai kamu tahu, kalo kecelakaan itu juga gara-gara kamu."
Nabilah datang membawa 5 gelas teh di atas nampan. "Minum dulu, ya. Cuma teh yang ada, Fan." Nabilah menyodorkan segelas untuk Defan, Jeal, dirinya, kemudian beranjak ke toko dari pintu penghubung untuk mengantarkan teh buat Dika dan Ayu.Â
Hari berganti. Hari berjalan bahkan berlari begitu cepat. Jika tidak ada pekerjaan, Defan menemani Jeal terapi ke rumah sakit. Sudah setahun, tapi hasilnya nihil. Hampir tak ada perkembangan pada kaki Jeal.Â
"Kondisi cidera di tukang belakangnya belum banyak membaik. Meskipun operasi tidak menjanjikan kesembuhan total, tapi sejauh ini memang itu satu-satunya usaha yang paling memungkinkan."Â Ucapan dokter spesial bedah tulang tadi siang terngiang kembali di benak Jeal. Bantalnya sudah basah dengan air mata. Terngiang pula ucapan mamanya malam itu. "Apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki yang nggak mau tahu sama masa depannya kayak gitu?" Jeal berteriak histeris sambil memukuli kakinya, memukuli tempat tidur kosong di sampingnya, sembarangan. Meluapkan segala emosi yang terlalu rumit untuk diungkapkannya dengan kata-kata. Nabilah datang memeluk Jeal, berusaha menenangkannya.Â
Jeal sedikit lebih tenang. Ada rasa bersalah menyelinap di hati Jeal. "Kalo malam itu aku nggak ikut, mama sama papa mungkin nggak bertengkar, Kak. Mungkin mama sama papa masih di sini. Mungkin Kakak nggak harus berjuang buat  aku sama Ayu. Mungkin Ayu nggak kehilangan sosok mama sama papa di usianya yang masih terlalu muda. Semua itu karena aku sama Defan. Aku yang egois, Kak. Aku yang maksa ikut malam itu. Aku juga yang nggak menengahi pertengkaran itu." Kalimat-kalimat itu hanya tertahan di dalam jiwa Jeal, dalam tangisnya yang menganak sungai. Ia terlalu enggan menambahi beban Nabilah. Terlalu pengecut untuk mengakuinya di depan Defan.Â
***
"AKU mau, mulai besok kamu nggak usah ke sini lagi," ucap Jeal, datar.Â
"Kok gitu? Aku salah, ya?" selidik Defan yang hanya dijawab dengan gelengan kepala Jeal. "Terus?" Jeal membisu. Keheningan menyeruak di antara mereka. Defan berusaha mencerna apa yang mungkin menyebabkan perubahan Jeal yang dirasanya sangat tiba-tiba.
"Ini karena omongan dokter, ya? Karena kaki kamu nggak bisa sembuh?" desak Defan. Jeal menoleh dengan tatapan tajam, seolah kalimat itu menciderai harga dirinya. Defan bangkit dari duduknya, menarik kursi roda Jeal dan berlutut tepat di depan Jeal. Defan mengambil kedua tangan Jeal dan menggenggamnya erat, seolah berusaha menyalurkan keseriusan dari kalimat yang akan keluar dari mulutnya. "Jeal, aku sayang ama kamu secara utuh. Mau kamu bisa jalan, kamu nggak bisa jalan, aku nggak peduli. Aku sayang ama kamu."
Defan dan Jeal saling bertatapan, sayangnya tatapan itu seakan tak lagi sepaham.Â
"Aku juga sayang ama kamu, Fan. Tapi omongan mama benar, kalo kamu jadi pelukis yang punya masa depan mungkin aku nggak perlu lumpuh. Kamu nggak bisa apa-apa selain sayang ama aku 'kan?" Lidah Jeal terlalu kelu untuk mengeluarkan kalimat yang sudah terucap di batinnya itu. Dia tahu, kalimat itu hanya akan menyakiti Defan sama seperti dia yang kini memendam rasa sakit itu sendiri.Â