Hingga kegelapan itu menjadi benar-benar gelap. Jeal merasakan benturan keras, bahkan berguling-guling bagai roaller coaster. Jeal tak berhasil melihat apa pun, hanya suara benturan keras yang berakhir teriakan-teriakan entah milik siapa. Lalu, telinganya berdenging, suara teriakan itu tersamarkan dan hening.Â
***Â
Jeal mendesis pelan. Tubuhnya terasa remuk. Dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Ia menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya dan mulai mencerna keadaan di sekelilingnya. "Aku di mana?" tanya Jeal kebingungan. "Jeal, kamu udah sadar?" Jeal baru menyadari keberadaan Defan di sampingnya. Defan mengusap rambut Jeal lembut dengan tatapan penuh haru. Jeal dan Defan bertatapan sejenak, Jeal dengan tatapan penuh tanya, Defan dengan tatapan penuh arti yang tak bisa diartikan Jeal.Â
"Kok kamu di sini?" tanya Jeal masih tak mengerti. Tangan Defan menggenggam tangan Jeal erat. "Aku akan selalu di sini, di samping kamu," jawab Defan, ucapan itu terasa seperti sebuah janji dengan tekad yang kuat.Â
Nabilah datang membawa sekantung obat di dalam plastik putih. "Alhamdulilah, Jeal. Akhirnya kamu sadar juga." Nabilah memeluk tubuh adiknya yang masih berbaring itu. Defan undur sejenak, memberi ruang untuk kedua kakak-beradik itu. Mungkin mereka butuh waktu untuk bicara, pikir Defan.Â
"Mama mana, Kak?" Pertanyaan ini sebenarnya usaha Jeal menggali ingatannya. Seingatnya, terakhir kali Jeal berada di mobil bersama kedua orang tuanya. Tapi, Jeal tak mendapatkan jawaban dari Nabilah selain raut wajah kakaknya berubah sendu. "Kakak kasih obat ini ke suster dulu, ya." Nabilah meninggalkan Jeal sendirian dengan segudang pertanyaan di benaknya. Banyak spekulasi berkelebatan di otak Jeal, ketakutan-ketakutan akan prasangka yang hadir tanpa dapat dicegahnya. Air mata Jeal mengalir begitu deras, mengingat pertengkaran di mobil itu.
***Â
HARI ini Jeal pulang ke rumah, tadi Defan menjemputnya bersama Ayu dan Nabilah dari rumah sakit. Nabilah mendorong kursi roda Jeal ke dalam rumah. Tiba-tiba ada yang di kosong di rumah ini, ralat: di hati Jeal. Rumah ini rasanya tidak lagi sama sebelum keberangkatan Jeal dan kedua orang tuanya malam itu.
"Duduk, Fan. Kakak bikinin teh, ya," ujar Nabilah berjalan menuju dapur.Â
"Makasih, Kak." Defan membenarkan letak kursi roda Jeal agar Defan bisa melihat seluruh wajah Jeal dari kursi yang akan didudukinya. Tapi, sepertinya keputusan Defan ini salah, mata Jeal jadi berpusat pada potret keluarganya. Defan mengusap punggung tangan Jeal, mengalihkan perhatian Jeal ke arahnya. Defan tersenyum, Jeal memaksakan senyumnya, sebulir air mata jatuh di sudut mata Jeal.Â
"Aku di sini, nggak akan ke mana-mana. Besok aku temani terapi ya," ucap Defan.Â