Ketika mulai menulis artikel untuk mengulas film "Sang Penari", saya juga sedang mencari jati diri sebagai lakon naskah monolog "Tua" karya Putu Wijaya. Ini suatu hal tak terduga. Secara kebetulan, waktu beriringan.
Sutradara saya menghidupkan karakter dalam lakon "Tua" dengan latar belakang sebagai penari ronggeng. Saat bedah naskah, saya dianjurkan sutradara sebagai referensi untuk menggali karakter penari ronggeng mengacu pada tokoh Srintil dalam film "Sang Penari".
Tepat pada tanggal 15 Oktober 2020, garapan lakon "Tua" didokumentasikan. Tetapi, itu tidak berarti saya selesai memahami pergulatan batin seorang penari ronggeng. Saya merasa kurang atas proses sepuluh hari mendalami karakter tersebut.
Jika peluang untuk memainkan lakon kembali, saya akan memanfaatkan hal yang menjadi pembelajaran disaat mengulas film "Sang Penari".
Film "Sang Penari" (2011), disesuaikan dari novel Trilogi: Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel tersebut merupakan bentuk keresahan yang penulis rasakan pada kelamnya situasi nyata saat itu. Hanya saja, "Sang Penari" membangun segala kompleksitas ceritanya dari sudut pandang yang berbeda.
Cakap mengajak kita untuk menelisik peliknya dinamika sosial di tahun 1960-an, film "Sang Penari" memberikan kesan yang mendalam di hati para penontonnya
Film Sang Penari membingkai rentetan peristiwa desa Dukuh Paruk di tengah kekacauan situasi nusantara saat itu. Isu politik melebur menjadi satu bagian utuh dengan isu budaya. Lapisan isu kecil yang mewarnai konflik cerita sangat beragam.
Berkat Film "Sang Penari", kita diajak untuk berpikir kritis dan mawas diri. Film Sang Penari memberitahukan sekat perubahan antara masa lampau dan masa sekarang di tanah air kita tercinta ini ditilik dari berbagai aspek kehidupan. Juga, membuat kita mengenal secuplik sejarah PKI. Kita mendapatkan wawasan tradisi dari tarian ronggeng seperti "buka klambu".
 "Sang Penari" disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Pemeran utama diperankan oleh Prisia Nasution dan Oka Antara. Taburan gejolak asmara si Srintil dengan Rasus sepanjang perjalanan cerita yang berakhir getir membawa genre berkiblat ke arah romance.
Ulasan film menggunakan paradigma fenomenologi yang menekankan seseorang memaknai secara sadar apa yang ia alami berdasarkan pengalamannya.