Psychosis muncul ketika ia berada di titik buntu. Pasca buka klambu membuat dirinya trauma sehingga menarik diri dari lingkungannya. Â Adegan digambarkan ketika ia hanya berbaring di atas kasur, sembari melamun mengurung diri dengan tatapan yang kosong.
Pertentangan batin terjadi ketika dirinya berhenti menari. Hancur lebur hatinya, bak dituangkan api. Ia gundah gulana. Ia merasa terperangkap, sesak batinnya.
 Ia mengalami titik gundah gulana. Ia hanya mau menari saja. Ia merasa terperangkap, sesak batinnya.
Terlebih, ketika adegan Srintil menyanyikan lagu untuk seorang bayi yang digendongan. Tetapi, ia tidak mau melepasnya. Dipertegas ketika Srintil berkata , "Ragaku bisa joget, tetapi batinku tidak bisa joget".
Batin saya, ada kalimat cocok dari naskah "Tua" untuk menggambarkan situasi tersebut, "Aku kalap, aku tidak melihat apa-apa lagi".
Ia hanya termenung meratapi pahitnya realitas. Akhir cerita, ia memutuskan untuk mengorbankan cintanya dengan pura-pura tidak mengenali Rasus ketika bertemu di pasar. Karena Srintil sudah memahami dirinya dan ingin mempertahankan eksistensi dirinya menjadi seorang penari merupakan alasan kuat untuk meninggalkan Rasus. Setelah sekian purnama, Srintil terjebak dalam penjara atas kasus tuduhan PKI.
Identitas Ronggeng dipertahankan dalam jati diri seorang Srintil. Memang, konsekuensi dari pengorbanan harus dipahami, karena kita tidak mungkin tamak untuk meraih ekspektasi. Terkadang kita juga perlu untuk mengiklaskan salah satu walaupun sulit, supaya yang lainnya selamat.
Titik pamungkas bagi Srintil dalam menyadari sisi lain dari realitas menjadi penari ronggeng. Mulanya, ia mempunyai angan yang indah ketika menjadi penari. Padahal, setelah dijalani lambat laun ia memahami bahwa tanggung jawab dan konsekuensi menjadi penari ronggeng itu berbeban berat. Dirinya menjadi terpukul apalagi ketika ia mengetahui jika penari ronggeng juga harus mampu melayani  nafsu laki-laki.
Saya juga menemukan makna baru dalam konteks "Tua" ketika berperan, "Tua" tidak hanya berlaku pada manusia saja, melainkan apa saja yang ada di dunia, termasuk tradisi yang dikemas secara turun-temurun menjadi suatu budaya yang melekat pada identitas individu tertentu.
Film tersebut memberikan pelajaran berharga, agar bisa memahami antara mimpi dan realitas. Realitas tidak seindah yang diimpikan, justru terkadang menjerumuskan kita terjun ke jurang.
Saya jadi teringat perkataan sutradara saya, "Jangan paksakan situasi, kamu harus menurunkan standar jika ekspektasimu terlalu tinggi".