Mohon tunggu...
Maria Amadhea
Maria Amadhea Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! Saya adalah mahasiswa S1 Pariwisata yang tertarik di bidang MICE, pariwisata, dan kehumasan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menelisik Jejak Budaya di Kawasan Alun-Alun Utara bersama Jogja Walking Tour

3 Juli 2023   03:06 Diperbarui: 4 Juli 2023   16:26 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita sejarah Masjid Séla (Dokumentasi pribadi)

Yogyakarta, yang sering disebut sebagai Kota Budaya, menyimpan banyak cerita sejarah di tiap sudutnya.

Kali ini, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti tur perjalanan menyusuri salah satu daya tarik wisata di Yogyakarta, yaitu Alun-Alun Utara. Bersama Jogja Walking Tour, salah satu komunitas penyedia jasa walking tour, saya mendaftarkan diri pada tur Alun-Alun Utara hari Sabtu, 10 Juni 2023.

Titik awal pemberhentian, penjelasan tata tertib (Dokumentasi pribadi)
Titik awal pemberhentian, penjelasan tata tertib (Dokumentasi pribadi)

Tur dimulai tepat pukul 08:30 WIB di mana para peserta sudah berkumpul di depan Kantor Pos Pusat. Erwin sang storyteller–begitu dia menyebut dirinya sebagai pemandu–mulai membuka tur dengan memberi salam dan mengarahkan para peserta ke arah titik pemberhentian pertama di depan Gedung Telkomsel mangkrak. 

Di titik ini, Erwin menjelaskan tata tertib selama perjalanan yang akan dilakukan kami. Walking tour kali ini akan banyak berhenti di titik-titik pemberhentian yang berada di pinggir jalan raya, beruntunglah suara Erwin cukup keras hingga terdengar oleh para peserta.

Sejarah Jogja

Setelah itu, bagian inti dari perjalanan pun dimulai, yaitu walking tour dengan penjelasan cerita sejarah Alun-Alun Utara. Diawali dengan pertanyaan,

"Siapa yang baru pertama kali ke Alun-Alun Utara?" lalu dari kami tidak ada yang angkat tangan, lalu Erwin pun menjawab "Ya udah pulang karena udah pernah semua." Terdengar tawa kecil para peserta merespons pernyataan tersebut.

Erwin melanjutkan bercerita dengan menjelaskan sejarah Jogja sebagai awalan perjalanan ini, "Ya, jadi mungkin temen-temen udah pernah mengunjungi semua rute Jogja Walking Tour, tapi belum tahu cerita sejarah dibaliknya," lalu dilanjut menjelaskan sejarah awal Jogja yang terbentuk dari penandatanganan Perjanjian Giyanti atas konflik internal Kerajaan Mataram tahun 1955.

Penjelasan foto tahun 1771 (Dokumentasi pribadi)
Penjelasan foto tahun 1771 (Dokumentasi pribadi)

"Nama Jogja berasal dari cerita pewayangan, 'Ayodya' (Ngayogya)," jelas Erwin sambil menceritakan foto tahun 1771 yang dipajang di pinggir Jalan Pangurakan.

Sejarah Awal Alun-Alun Utara

Pukul 09:04 WIB kami melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju titik pemberhentian kedua, tepat di seberang Alun-Alun Utara.

"Masih semangat jemaah pengajian saya?" Tanya Erwin memanggil para pesertanya dengan sebutan jemaah untuk memecah suasana agar tidak terlalu serius.

Erwin menceritakan sejarah Alun-Alun Utara (Dokumentasi pribadi)
Erwin menceritakan sejarah Alun-Alun Utara (Dokumentasi pribadi)
Alun-Alun Utara dikelilingi 62 pohon beringin dan dua pohon beringin di tengah yang dimaknai sebagai pusaka. Dua pohon beringin tersebut memiliki nama, Kyai Dewandaru untuk pohon yang berada di barat; dan Kyai Janadaru untuk pohon yang berada di timur. 

Bibit Kyai Dewandaru berasal dari Kerajaan Majapahit, sedangkan bibit Kyai Janadaru berasal dari Kerajaan Pajajaran. Pemilihan bibit ini memiliki makna sebagai poros kekuatan Jawa yang mampu menyatukan kedua kerajaan tersebut.

Kisah dibalik Bangunan Pekapalan

Sekitar tiga puluh menit kami mendengarkan kisah sejarah Alun-Alun Utara, pukul 09:36 WIB kami melanjutkan tur ke arah timur dan berhenti di depan Koramil. Erwin mulai menjelaskan cerita dibalik bangunan-bangunan yang berada di sekitar Alun-Alun Utara,

"Temen-temen kalau lihat bangunan-bangunan di sekeliling Kraton itu bangunannya berbentuk Joglo."

Cerita bangunan pekapalan (Dokumentasi pribadi)
Cerita bangunan pekapalan (Dokumentasi pribadi)

Bangunan-bangunan tersebut dinamakan bangunan pekapalan dengan total jumlahnya ada sembilan belas bangunan. Fungsi bangunan-bangunan tersebut didirikan adalah untuk tempat transit dan berganti pakaian bagi para tamu Kraton. 

Hal tersebut disebabkan karena pada masa dahulu orang-orang bepergian menggunakan kuda sebagai alat transportasi dan menempuh perjalanan selama berhari-hari sehingga pakaian yang dikenakan berbeda antara saat perjalanan dan saat bertemu raja.

Titik pemberhentian di Jogja Gallery (Dokumentasi pribadi)
Titik pemberhentian di Jogja Gallery (Dokumentasi pribadi)
Pukul 09:43 WIB kami lanjut berjalan sedikit ke arah timur dan berhenti di depan Jogja Gallery. Di sini, masih melanjutkan kisah bangunan-bangunan di sekitar Alun-Alun Utara. Tahun 1939 terdapat sekolah seni rupa pada era Sri Sultan HB IX.

Cerita Kandang Macan

"Masih semangat?" Sahut Erwin mencoba reaching out para peserta dan terlihat kami masih bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Pukul 09:59 WIB langkah kaki kami berlanjut sekitar tiga ratus meter ke arah selatan. Pemberhentian selanjutnya disebut Kandang Macan.

Penjelasan di Kandang Macan (Dokumentasi pribadi)
Penjelasan di Kandang Macan (Dokumentasi pribadi)

Seperti titik-titik sebelumnya, Erwin mulai menceritakan sejarah Kandang Macan dan tradisi Rampok Macan. Tradisi ini merupakan tradisi mengadu macan dengan banteng dan biasanya yang mati duluan adalah banteng. 

Setelah itu, macan akan kelelahan dan saat inilah para warga yang menonton di sekelilingnya bergegas 'merampok' atau membunuh macan dengan tombak.

Bangsal Pagelaran 

Sekitar sepuluh menit kami berada di Kandang Macan, pukul 10:13 WIB kami melanjutkan tur dengan berjalan ke arah barat dan berhenti di sebelah timur Bangsal Pagelaran. Dibangun pada tahun 1865 tahun Jawa atau 1934 tahun Masehi.

Cerita Bangsal Pagelaran (Dokumentasi pribadi)
Cerita Bangsal Pagelaran (Dokumentasi pribadi)
Lebih lanjut, Erwin menceritakan sejarah Bangsal Pagelaran secara arsitektur. Bangsal Pagelaran pernah satu kali mengalami renovasi besar-besaran pada masa Sri Sultan HB VIII karena mewarisi kekayaan Sri Sultan HB VII–Sultan paling kaya dalam keturunannya–yang mempunyai banyak pabrik gula. Bangsal Pagelaran ini difungsikan sebagai tempat untuk menyambut tamu dan mengadakan pertunjukkan.

Masjid Séla dan Permukiman Kraton

Setelah selesai di Bangsal Pagelaran, pukul 10:33 WIB perjalanan masih berlanjut dengan jarak yang agak cukup jauh dari sebelumnya. Kami pun berhenti di Masjid Séla dan Erwin mulai menjelaskan sejarahnya.

Cerita sejarah Masjid Séla (Dokumentasi pribadi)
Cerita sejarah Masjid Séla (Dokumentasi pribadi)
Masjid Séla ini dibangun satu era dengan pembangunan Tamansari pada tahun 1709 çaka. "Ada yang udah lahir?" lagi-lagi Erwin berusaha memecahkan suasana dan para peserta pun tertawa. Masjid ini digunakan secara resmi untuk ibadah keluarga Kraton dan tidak dibuka untuk umum pada awal pembangunan.

Kampung Panembahan: Sentra Gudeg Jogja

Pukul 10:55 WIB mulai berjalan lagi untuk melanjutkan di titik selanjutnya, yaitu Kampung Panembahan. Awalnya, nama Kampung Panembahan adalah Kadipaten karena merupakan tempat tinggal Adipati Anom, calon Sultan HB II.

Cerita sejarah Kawasan Panembahan (Dokumentasi pribadi)
Cerita sejarah Kawasan Panembahan (Dokumentasi pribadi)
Setelah kurang lebih lima menit, pukul 11:02 WIB tur dilanjut dan berhenti di depan monumen penjual gudeg. Kampung Panembahan ini terkenal sebagai sentra gudeg di Jogja dan dikenal sebagai kawasan Wijilan karena Wiji adalah nama menantu Sultan HB VII dan Wijilan adalah tempat kediamannya. Awal perkembangan pada tahun 1946 dengan toko pertama adalah Gudeg Bu Slamet.

Monumen penjual gudeg (Dokumentasi pribadi)
Monumen penjual gudeg (Dokumentasi pribadi)

Plengkung

Pukul 11:06 WIB, kami melanjutkan langkah kaki dan berhenti di depan Plengkung Wijilan. Erwin langsung menceritakan sejarah lima plengkung yang dimiliki Kraton Jogja. Namun, sekarang hanya tersisa dua, yaitu Plengkung Wijilan dan Plengkung Gading. Tiga plengkung lainnya telah dirusak karena mengganggu traffic.

End of Walking Tour

Pukul 11:23 WIB kami menyelesaikan tur menuju titik akhir pemberhentian dan ditutup oleh pernyataan Erwin, "Kami dari Jogja Walking Tour tidak pernah berpihak kepada siapa pun. Terima kasih."

Tepat pukul 11:30 WIB tur selesai dan kami membayar donasi dengan sistem pay as you wish. Erwin menyediakan kantong kecil untuk kami memasukkan uang donasi lalu kami pulang masing-masing.

Banyak pelajaran, cerita, dan pengalaman yang saya dapatkan setelah mengikuti tur ini. Benar adanya bahwa Yogyakarta memang menyimpan banyak cerita di tiap sudutnya, bahkan di sudut-sudut yang belum pernah saya ketahui sebelumnya selama tinggal di Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun