Kontroversi tradisi Merarik terutama berasal dari interpretasi yang salah. Banyak orang menganggap Merarik sebagai tradisi kawin lari, sehingga konotasi ini membawa pada kesimpulan bahwa laki-laki memaksa perempuan menikah dengan cara melarikannya. Hal ini menyalahi hukum adat Sasak yang memandang Merarik sebagai proses perkawinan yang harus dilakukan dengan cara yang sopan dan terhormat.
- Tantangan HukumÂ
Tantangan hukum tradisi merarik suku sasak terutama berasal dari ketidakkonsistenan antara hukum adat sasak dengan hukum nasional di Indonesia. Hukum adat sasak memandang tradisi Merarik sebagai bagian dari adat mereka, sehingga pelaksanaannya tidak boleh sembarangan dan arogan. Namun, hukum nasional Indonesia memandang Merarik sebagai tindakan  kriminal yang melanggar hukum.
Kearifan Lokal dan Dinamisasi Tradisi
Dalam menjelaskan budaya Merarik, beberapa peneliti memperhatikan dinamisasi tradisi sebagai proses membawa tradisi ke arah penyempurnaannya.Â
Dalam hal ini, masyarakat Sasak berupaya menyempurnakan tradisi Merarik agar jangan sampai menindas perempuan Sasak. Dinamisasi tradisi Merarik juga membawa kontribusi pada kreativitas kebudayaan, seperti dalam tradisi upacara batobat, selamatan tampah wirang, dan metikah buah.
Â
Kesimpulan
Kontroversi tradisi Merarik Suku Sasak antara kearifan lokal dan tantangan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa budaya ini memerlukan evaluasi dan penyempurnaan agar tidak menindas pihak manapun, terutama perempuan yang umumnya menjadi pihak rentan.Â
Kearifan lokal dan dinamisasi tradisi Merarik harus dipertahankan dan dikembangkan agar tradisi ini tetap relevan dan tidak menyalahi hukum adat yang ada pada suku sasak tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H