Film Kim Ji-Young: Born 1982 telah dirilis hampir tepat setahun yang lalu. Namun, bukan berarti film ini tidak layak untuk kita diskusikan lagi. Rilis pada Oktober 2019 lalu, film ini merupakan hasil adaptasi novel yang berjudul sama karangan Cho Nam-joo. Film ini mengisahkan tentang Kim Ji-Young, seorang ibu rumah tangga yang berjuang dari ekspektasi seksis sehari-hari yang mengelilinginya.Â
Kim Ji-Young, sebagai seorang perempuan dan ibu, telah menghadapi berbagai macam tekanan dan ekspektasi sosial dari lingkungan sekitarnya hanya dari label 'perempuan' dan 'ibu' yang melekat padanya.Â
Kita pertama melihatnya sebagai seorang ibu, jelas terlihat kelelahan saat mengerjakan semua pekerjaan rumah sekaligus merawat anaknya. Suaminya, Jung Dae-hyun, membantunya sesekali setiap kali ia berada di rumah, namun tetap beban pekerjaan rumah hampir seluruhnya dikerjakan oleh Ji-Young.Â
Kim Ji-Young hidup dalam lingkungan yang patriarkis, dimana laki-laki ditempatkan sebagai pihak yang lebih tinggi dan dominan keimbang perempuan. Perempuan, sementara itu, dilihat sebagai pihak lainnya--kurang penting kehadirannya dibandingkan laki-laki, tapi tetap harus menanggung beban yang sebenarnya juga tidak sedikit.Â
Dalam adegan awal, ketika Dae-hyun menawarkan untuk tidak berkunjung ke keluarganya, Ji-Young langsung menolak karena ia tahu bahwa yang akan disalahkan oleh orang-tua Daehyun bukanlah putra mereka, namun dia-- istrinya, si perempuan.Â
Sentimen ini kembali terulang ketika di pertengahan akhir film, Ji-Young mengumumkan kepada ibu mertuanya bahwa ia akan kembali bekerja sementara Daehyun akan mengambil cuti melahirkan (cuti bagi suami yang istrinya baru saja melahirkan) untuk mengurus Ah-young, putri mereka.Â
Ibu Daehyun langsung tidak terima dan marah, mengapa anak laki-lakinya, seorang suami, harus mengorbankan karir supaya bisa mengurus rumah dan memberikan kesempatan bagi Ji-Young agar bisa kembali bekerja. Padahal, Daehyun sendiri yang menawarkan untuk mengambil cuti dan senang bahwa Ji-Young kembali terlihat bersemangat untuk melakukan sesuatu dalam hidupnya.
Sentimen si istri yang harusnya mengalah dan mengurus urusan rumah tangga ini juga selalu ditunjukan berulang-ulang dalam film. Seorang perempuan harus serba bisa, pintar ketika sekolah, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak dan suaminya, dan tetap dapat menguasai dirinya sendiri.Â
Ketika Ji-Young menumpahkan kopi karena tersenggol oleh Ah-Young di kafe, orang-orang di sekelilingnya bahkan sampai memanggilnya mom-choong, panggilan untuk seorang ibu yang teledor membawa anaknya ke tempat publik.Â
Simon Beauvoir dalam Purnomo (2017) mengatakan bahwa sebuah perkawinan memaksa perempuan pada kewajiban dan rutinitas. Kehidupan seorang wanita karis bahkan bisa lebih sengsara karena ia menangung beban ganda dari bekerja di kantor/tempat kerja dan di rumah. Kehidupan keluarga dipandang sebagai beban yang menghambat hidup perempuan dalam mendapatkan kebebasan dan kesetaraannya dengan laki-laki.Â
Selain Ji-Young, masalah beban ganda ini juga dialami oleh bosnya, Kim Eun-Sil. Kim, meskipun memiliki posisi tinggi dalam perusahaan pemasaran tempat Ji-Young bekerja, tetap mendapatkan komentar mengenai pilihannya untuk meninggalkan anaknya dengan seorang pengasuh. "Seorang anak seharusnya diasuh oleh ibunya sendiri, anak yang tidak diasuh oleh ibunya sendiri biasanya akan mengalami masalah ketika tumbuh" begitulah komentar yang dilontarkan kepada bos Kim.Â
Dari komentar itu kita bisa memahami bagaimana, setinggi apapun karir dan pencapaian seorang perempuan, tugas utama dari mereka tetaplah untuk merawat anak dan rumah. Ibu Ji-Young, Mi-Sook, juga mengalami kondisi yang sama. Saat muda, ia harus mengalah dan mengubur keinginannya menjadi seorang guru demi merawat anak-anaknya.Â
Ketiga karakter ini-- Ji-Young, bos Kim, dan Mi-Sook-- merupakan korban dari sistem masyarakat yang lebih mendukung laki-laki. Ketidakmampuan mereka dalam melawan sistem ini dijelaskan oleh Simone Beauvoir sebagai akibat dari hidup mereka yang bergantung pada laki-laki (). Mereka sebagai seorang istri, tidak bekerja, bergantung kepada suaminya untuk dapat tetap hidup. Ketergantungan ini yang kemudian membuat perempuan tidak bisa mengambil keputusan secara sadar dan bebas (Rahadian, 2019)
Meskipun film ini memiliki akhir yang bahagia, dimana Ji-Young berhasil mendapatkan pekerjaannya kembali dengan bos Kim, film ini menjadi refleksi yang bagus bagi kita untuk lebih memperhatikan bagaimana perempuan, terutama para ibu, diperlakukan di lingkungan kita. Apakah kita secara tidak sadar juga ikut melanggengkan sistem ini?Â
Referensi:
Bornedal, Pp. (n.d). Existentialist Feminism, Simone de Beauvoir. Dilansir dari: https://www.academia.edu/24617419/Existentialist_Feminism_Simone_de_BeauvoirÂ
Purnomo, H.D. (2017). Melawan Kekuasaan Laki-laki: Kajian Feminis Eksistensialis "Perempuan di Titik Nol" Karya Nawal el-Saadawi. Jurnal NUSA, 12(4), 316-327.Â
Rahadian, A. (2019). Bagian III --- Feminisme Psikoanalitik, Eksistensial, dan Ekofeminisme. Dilansir dari:Â Medium
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H