Mohon tunggu...
Maria UlfaAulia
Maria UlfaAulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Life is your choice.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peran D3 (Dukun Duit Dukungan) dalam Pilkades Desa Pucakwangi

21 Juni 2021   12:35 Diperbarui: 21 Juni 2021   12:47 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen yang kompleks. Demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara[1]. Dengan kata lain dapat diungkap bahwa demokrasi adalah suatu metode penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik, dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam meraih suara.

 

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini terutama di tahun politik 2019 ini masih belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan partisipasi warga masyarakat dalam berdemokrasi hal ini disebabkan oleh berbagai patologi yang diderita oleh pelaksanaan demokrasi itu sendiri[2]. Sebagai contohnya pada beberapa kontes Pilkades, modal penting yang dimiliki calon kepala desa selain dukungan yakni duit atau uang, dan dukun.

 

Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi[3]. Selain itu, budaya Jawa mengenal profesi dukun, paranormal atau wong pinter. Mereka dipercaya memiliki kekuatan magis yang bisa berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Banyaknya iklan yang muncul di dalam media tentang jasa dukun politik dan berita-berita mistis menunjukkan bahwa di dalam masyarakat praktik tersebut ada[4].

 

Pada penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Agus Trihartono, membahas tentang keberadaan jasa dukun dalam politik kontemporer. Ini bertujuan untuk membuktikan reatitas empiris apakah ilmu mistik yang gaib dari para dukun itu benar adanya. Penulis ingin menyampaikan bahwa fenomena dukun dalam banyak kasus tidak bisa dipisahkan dari kontestasi politik Indonesia bahkan sampai sekarang saat telah menjamumya lembaga polling (pollster) yang dianggap sebagai salah satu tolak ukur demokrasi modern. Panggung politik adalah ajang terbuka bagi para aktor politik untuk bertarung merebut dan mempertahankan kekuasaan. Persaingan yang sangat ketat menciptakan banyak cara dalam berkompetisi, termasuk penggunaan jasa dukun. Berkembangnya praktek perdukunan dalam Pemilu khususnya Pilkada) disebabkan oleh paling tidak tiga alasan. Pertama, tingginya tingkat kompetisi dan kompleksitas Pilkada. Kedua, masih lemahnya kepercayaan kandidat tim sukses terhadap aktor-aktor penyelenggara Pemilu (KPU, Panwaslu, KPPS). Ketiga, di beberapa daerah, dukun sudah lebih dulu ada dibanding konsultan politik modem dan dianggap sebagai fenomena budaya yang bisa diterima masyarakat[5].

 

Sedangkan artikel ini akan mengambil studi kasus Pilkades di Desa Pucakwangi tahun 2019. Alasan penulis mengambil studi kasus ini, karena Desa Pucakwangi berada di wilayah kabupaten Pati yang sudah terkenal sebagai sebagai Hogwarts van Java, karena sejak zaman Majapahit hingga sekarang, banyak warga yang masih menekuni ilmu mistis, mau itu ilmu putih maupun ilmu hitam. Dukun juga mudah ditemukan di sini, sampai-sampai Pati identik dengan klenik. Para ahli supranatural yang disebut dukun ini terang-terangan membuka praktik hampir di seluruh wilayah Pati. Hingga pada modern ini, walaupun calon kepala desa mengandalkan kekuataan material, hampir semua calon kepala desa (khususnya di Pucakwangi) yang bertarung dalam kontestasi Pilkades juga menggunakan sumber kekuasaan yang nonmaterial yakni dukun. Dukun dianggap sebagai modal utama dalam mencapai kemenangan karena dapat mempengaruhi calon kepala desa, sabet (tim sukses), dan tentunya masyarakat sebagai calon pemilih agar bisa memenangkan calon kepala desa. Namun disisi lain juga terdapat beberapa resiko yang harus dihadapi oleh calon kepala desa yang ingin mencapai atau mempertahankan kekuasaan dengan melibatkan dukun sebagai kekuatan magis.

 

Selain itu, dari tahun ke tahun Pilkades di Pucakwangi juga selalu menggunakan duit atau money politic dalam upaya memenangkan calon, dan pada Pilkades 2019 money politic ini diberikan kepada calon pemilih dengan nilai yang sangat fantastis dari kedua calon dengan selisih tipis. Hal ini termasuk dalam patologi demokrasi, yang tentunya menimbulkan berbagai macam dampak yang tidak baik terlebih kepada masyarakat.

Banyak dukun yang tidak meleset perkiraannya, tapi ada juga sebagian dukun gadungan. Meskipun demikian, kita tidak harus menafikan kekuatan ramalan secara umum, karena dokter atau komandan pun bisa keliru. Keyakinan kami pada ramalan tidak akan mati. Boleh saja mereka mengatakan demikian, tetapi pada kenyataannya, penyebaran praktik perdukunan di berbagai suku bangsa sejak dahulu sampai sekarang tidak mampu membuat perdukunan semakin canggih atau memformatnya dalam bentuk kebenaran.

Banyaknya orang yang bergantung pada dukun, bukan berarti kita membenarkan cara mereka, sebab kebanyakan manusia berjalan seiring dengan kebatilan[1]. Dukun, oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai profesi yang dikaitkan dengan klenik, tahayul, dan hal-hal yang berkesan kuno dan terbelakang. Namun dalam kenyataannya masih tetap berperan pada sebagian besar masyarakat.

 

Dengan ilmu-ilmu yang dimiliki tadi, dukun merupakan tempat orang mengharapkan pertolongan dalam penyembuhan, mencari barang hilang, melancarkan suatu usaha, masalah keluarga, sebagai penasihat spiritual, dan sebagainya. Hampir semua suku bangsa di Indonesia memandang dukun sebagai tempat bertanya, meminta nasihat dan pertolongan. Sehingga hubungan antara dukun dengan masyarakat sangat dekat. Tetapi dalam kenyataan dan perkembangannya kemudian, ada pula dukun yang jahat yang dimintai tolong untuk perbuatan jahat oleh orang-orang jahat pula[2].

 

Desa Pucakwangi adalah desa terbesar di kecamatan Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Desa Pucakwangi terdiri dari 4 dusun, 4 RW dan 32 RT. Mayoritas penduduk di desa ini memeluk agama Islam, namun ketaatan dalam menjalankan perintah agama Islam belum maksimal, hal ini terbukti dengan adanya masyarakat yang diantaranya masih menggunakan jasa dukun. Mereka yang mentaati sesuai dengan ajaran Islam yang semestinya bisa digolongkan sebagai Islam santri. Kelompok santri tradisinya seperti, shalat berjamaah, tadarus, beramal, haji, puasa, dan sebagainya. Sedangkan yang tidak mentaati ajaran Islam yang sesungguhnya bisa digolongkan sebagai Islam abangan. Kelompok abangan biasanya cenderung mempercayai kepercayaan lama, seperti nenek moyang, animis, jimat, dukun dan lain sebagainya.

Sedangkan dari segi ekonomi masyarakat Desa Pucakwangi termasuk ekonomi golongan menengah kebawah, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian beraneka ragam, ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri, wiraswasta, petani.

Patologi demokrasi juga masih terjadi di Desa Pucakwangi. Misalnya dalam pencalonan kepala desa diantara calon kepala desa masih ada yang menggunakan jasa dukun. Hal ini hampir terjadi setiap menjelang Pilkades di desa ini, sesuai dengan informasi yang penulis dapatkan dari salah satu mantan Kepala Desa Pucakwangi. Pada hasil wawancara penulis dengan bapak P (inisial informan), beliau mengatakan bahwa dalam upaya untuk memenangkan Pilkades dibutuhkan modal D3 yakni Dukun, Duit, dan Dukungan. Beliau mempertegas bahwa peran dukun menjadi hal yang krusial dalam upaya mencapai kemenangan.

Dukun dipercaya sebagai orang yang bisa menangkap pesan langit. Dalam kaitannya dengan wahyu kedaton atau mandat langit untuk memimpin, orang-orang seperti merekalah yang dipercayai mengetahui jalannya wahyu kekuasaan tersebut. Termasuk dimana wahyu kedaton akan berakhir dan memilih orang baru untuk duduk dan tampil sebagai pemimpin. Dalam ilmu politik modern kepemimpinan itu disebut dengan istilah teokrasi.

Calon Kades pertama akan berkonsultasi serta untuk mendapatkan informasi dari dukun yang dipercaya untuk melihat bagaimana peluang ketika ia akan mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Ketika ia mendapatkan petunjuk dari dukun itu bahwa kemungkinan meraih suara tinggi, maka ia akan semakin memantapkan untuk mengikuti pencalonan Kades. Kedua, dukun dipercaya dapat memberikan kharisma kepada calon Kades dengan memberikan energi untuk membuat calon menjadi lebih percaya diri untuk berkampanye di depan masyarakat. Ketiga, dukun dipercaya dapat membuat sabet atau tim sukses calon akan menjadi loyal dan antusias dalam mendukung dan memperjuangkan kemenangan calon. Begitupula masyarakat, atau calon pemilih dengan energi dari dukun dapat meningkatkan keyakinan mereka untuk mantap dalam mendukung dan memilih calon Kades yang dibantu oleh sang paranormal atau dukun.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan dengan Bapak P (mantan Kepala Desa Pucakwangi), menjelaskan penggunaan dukun oleh calon Kades juga sebagai antisipasi untuk menangkal hal-hal negatif yang dikirim oleh calon lawan dengan bantuan dukun pula. Sehingga selain bertujuan untuk dapat memenangkan Pilkades, fungsi dukun sekaligus digunakan sebagai penolak bala dari pihak-pihak yang mencoba menjatuhkan calon Kades.

Kemudian modal kedua yang diperlukan oleh calon Kades, yakni duit atau uang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa money politic di Indonesia masih laris digunakan oleh calon pejabat pemerintahan untuk meraih suara dalam pemilihan umum. Hal ini juga menjadi sesuatu yang wajar atau lumrah dalam ajang Pilkades di Pucakwangi. Tidak jarang para calon Kades tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan seluruh harta mereka agar dapat memenangkan Pilkades.

Praktik politik uang merupakan gambaran dari para calon Kades yang tidak percaya diri terhadap hubungan mereka dengan massa yang akan memilih. Mereka cenderung tidak mau memakan banyak waktu seperti turun ke lapangan dan berkampanye tentang program kerja dan gagasan – gagasannya. Praktik ini, juga menggambarkan kurang adanya rasa kepercayaan pada sistem pengawasan dan penegak hukum lainnya yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Selain itu, praktik ini juga berpengaruh kepada para konstetuen / pemilih karena mereka berpikir bahwa mereka bisa mendapatkan sesuatu dengan gratis meski harus memilih calon Kades.

Pada Pilkades tahun 2019 terdapat dua calon Kades dimana salah satunya merupakan petahana dari tahun sebelumnya. Agak berbeda dari beberapa tahun sebelumnya, dimana money politic atau serangan fajar yang diberikan kepada masyarakat hanya sekitar Rp 20.000,00 hingga Rp 30.000,00. Namun money politic yang diberikan pada Pilkades tahun 2019 melonjak tajam, dimana para calon Kades memberikan serangan fajar kepada calon pemilih sekitar Rp 300.000,00 hingga Rp 350.000,00. Para sabet atau timses memberikan dana ini secara berkala, yakni ketika calon pemilih yang telah diberikan amplop berisi uang oleh sabet A kemudian sabet B juga memberikan amplop, maka sabet A akan memberikan tambahan amplop kepada calon pemilih dan terus menerus diberikan tambahan amplop dari sabet A dan sabet B hingga tiba waktunya calon pemilih untuk datang ke TPS.

Sebagian besar calon pemilih akan mendukung atau memilih calon yang memberikan amplop dengan jumlah tertinggi. Namun tidak dipungkiri pula, terdapat calon pemilih yang memilih berdasarkan faktor kekerabatan dan beberapa faktor lainnya, akan tetapi biasanya calon pemilih tersebut juga menerima money politic  dari salah satu calon Kades, dan menolak untuk diberi amplop oleh calon Kades yang lain.

Dari hal ini dapat diketahui bahwa, bantuan dukun sendiri tidak menunjukkan hasil yang nyata, akan tetapi bagaimanapun juga secara psikologis dukun tersebut memberikan semangat dan kekuatan (kepada yang percaya) untuk melanjutkan usaha mengatasi permasalahannya. Terlihat pula bahwa calon pemilih mayoritas lebih mendukung calon Kades yang memberikan jumlah isi amplop terbanyak, atau bergantung dari money politic yang diberikan.

Dalam proses Pilkades di Desa Pucakwangi jelas bahwa terdapat patologi demokrasi dari faktor dukun dan money politic yang digunakan calon untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dari para pemilih. Hal ini tentu membawa dampak yang kurang baik bagi masyarakat dan calon Kades itu sendiri. Berjalan lebih dari satu tahun kepemimpinan Kades baru, program kerja dari Pemerintah Desa tersendat dan menjadi tidak maksimal karena Kades pasca Pilkades 2019 dikabarkan menurun kesehatannya dan lebih sering melakukan pekerjaan dari rumah.

Akibatnya masyarakat menjadi kurang maksimal dalam mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Desa. Beberapa pekerja juga digantikan oleh pekerja yang baru, misalnya juru parkir di pasar umum desa, dimana hal ini juga berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, dampak pasca Pilkades yang menghabiskan dana dalam jumlah milyaran memberikan kerugian besar bagi para calon, terlebih bagi calon yang tidak terpilih.

Jika hal ini terus terjadi dalam setiap Pilkades ke depan tentu akan membawa pengaruh buruk terutama masyarakat. Maka, baiknya bagi para calon agar dapat bersaing secara lebih baik dengan fokus meminta petunjuk dan energi positif secara langsung dari Sang Maha Kuasa, dan mempelajari strategi yang lebih realistis untuk memenangkan Pilkades, misalnya dengan membuat visi misi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat pun dapat semakin terbuka untuk dapat memilih calon pemimpin berdasarkan kredibilitas calon, harapannya pemimpin yang terpilih dapat memberikan kinerja yang maksimal dan mensejahterakan masyarakat. Sehingga patologi demokrasi ini dapat diatasi dan tidak berimbas pula sampai pada patologi birokrasi yang dapat merugikan masyarakat dalam jangka panjang.

Referensi

Fitriyah. (2011). Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada. Jurnal Ilmu Politik, 32, 1–10.

Ki Hudoyo Doyodipuro, Horoskop Jawa Lorong 2000, Dahara Prize, Semarang, 2000, hlm. 179.

Lechman, David, 1989, Democracy and Development in Latin America, Cambridge: Polity Press.

Prawoto, S. (2018). Imajinasi dalam ruang politik nasional. Jurnal Studi Budaya Nusantara, 2(2), 93–98.

Salamah, B. (2004). Penampakan dari Dunia Lain, Membongkar Rahasia Dunia Gaib dan Politik Perdukunan. PT. Mizan Publika.

Siswoyo, M. (2019). Patologi Demokrasi Di Indonesia Pathology of Democracy in Indonesia. 1–5.

Trihartono, A. (2012). Dukun dan Politik di Indonesia. Kyolo Review OfSoutheast Asia Lssue, 12, 1–6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun