Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Simpati Baru Empati

15 Agustus 2024   06:30 Diperbarui: 15 Agustus 2024   06:51 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : dictio.id

Beberapa hari yang lalu, ada cerita menarik tentang bagaimana memahami simpati dan empati.

Saya tinggal dengan keponakan yang punya anak perempuan. Sebut saja keponakan dengan inisial M, sedangkan anaknya  dengan inisial C.

Si C setiap hari pergi ke sekolah naik Gojek  dengan Gopay. Isian Gopay diberikan oleh M. Pagi itu, C minta isi tambahan Gopaynya, karena sudah tipis sehingga tidak mungkin bayar transportasi pagi itu. Si M tidak memberikan langsung karena pergi terburu-buru. istri saya bercerita mengenai hal tersebut.

Saya timbul simpati, merasakan emosi keluhan si C, karena sudah minta tetapi belum juga diberikan. Namun istri saya berkata, "Biarkan saja, bila si C tidak bisa pergi atau terlambat bisa jadi pelajaran si M, kan?"

Saat itu, saya sedikit terpengaruh, tetapi kemudian saya berpikir "Memang betul keadaan ini bisa memberikan pelajaran bagi C agar tidak abai memberikan isian Gopay"

Namun setelah merenungkan sesaat, saya berubah pikiran. Si M adalah keponakan saya, sedikit banyak saya bertanggung jawab atas kelalaiannya. Oleh sebab itu, saya berkata pada istri saya : "Biarkan saya yang bayar dulu agar si C, tidak terlambat tiba di sekolahnya, nanti sampaikan pada si M bahwa saya sebagai pamannya telah membayari biara transportasi si C."

Ini menjadi pembelajaran saya bahwa rasa empati timbul dulu, baru kemudian empati.

Simpati lebih kepada perasaan kasihan terhadap orang lain, sementara empati lebih kepada kemampuan untuk memahami perasaan seseorang. Kasihan mendorong ke jurang penderitaan. Sementara empati bisa melihat secara jeli yang dibutuhkan saat itu. Simpati berkembang secara alami, empati butuh atau mesti dilatih secara sadar.

Simpati berarti ada gejolak emosi terhadap si C bila terlambat, tetapi langkah selanjutnya adalah memberikan solusi untuk mengatasi masalah bagi si C. Dengan cara seperti ini, saya juga memberikan pelajaran pada si M sehingga tidak lagi lalai atau terlambat yang mungkin berdampak buruk, yaitu keterlambatan si C tiba di sekolahnya.

Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, mesti emosi yang terkait erat dengan pikiran mesti mengalami transformasi menjadi intelegensi atau buddhi yaitu empati; memahami kebutuhan yang saat itu memang memberikan solusi.

Emosi terkait dengan pikiran yang merupakan cerminan untung-rugi, atau perasaan dualitas. 

Pada keseharian hidup kita banyak yang terjebak daam ranah emosi. Dengan hanya ber-emosi, kita tidak bisa mengatasi keadaan. Atau dengan kata lain, energi emosi membawa kita ke siatuasi yang merugikan banyak pihak. Tampaknya memberikan pelajaran bagi si M, namun di sisi lain tindakan tersebut merugikan si C.

Perasaan emosi berlebihan terjadi karena timbunan emosi dari sekitar kita yang secara otomatis/alami direkam menjadi memori di alam bawah sadar. Bila timbunan ini penuh bisa meluap menjadi tindakan yang ekstrim tanpa kendali. Segala tindakan dilandasi oleg energi emosi yang begitu saja meluap, inilah yang disebut tindakan reaktif.

Bila transformasi dari intelektual menjadi intelegensi, maka tindakan dengan landasan intelegensi/buddhi atau responsif terjadi dengan cepat.

Peristiwa menarik yang sesungguhnya bisa dilatih atau dijadikan kebiasaan sehingga kita tidak bertindak secara impulsif.......... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun