Beberapa hari yang lalu, ada cerita menarik tentang bagaimana memahami simpati dan empati.
Saya tinggal dengan keponakan yang punya anak perempuan. Sebut saja keponakan dengan inisial M, sedangkan anaknya  dengan inisial C.
Si C setiap hari pergi ke sekolah naik Gojek  dengan Gopay. Isian Gopay diberikan oleh M. Pagi itu, C minta isi tambahan Gopaynya, karena sudah tipis sehingga tidak mungkin bayar transportasi pagi itu. Si M tidak memberikan langsung karena pergi terburu-buru. istri saya bercerita mengenai hal tersebut.
Saya timbul simpati, merasakan emosi keluhan si C, karena sudah minta tetapi belum juga diberikan. Namun istri saya berkata, "Biarkan saja, bila si C tidak bisa pergi atau terlambat bisa jadi pelajaran si M, kan?"
Saat itu, saya sedikit terpengaruh, tetapi kemudian saya berpikir "Memang betul keadaan ini bisa memberikan pelajaran bagi C agar tidak abai memberikan isian Gopay"
Namun setelah merenungkan sesaat, saya berubah pikiran. Si M adalah keponakan saya, sedikit banyak saya bertanggung jawab atas kelalaiannya. Oleh sebab itu, saya berkata pada istri saya : "Biarkan saya yang bayar dulu agar si C, tidak terlambat tiba di sekolahnya, nanti sampaikan pada si M bahwa saya sebagai pamannya telah membayari biara transportasi si C."
Ini menjadi pembelajaran saya bahwa rasa empati timbul dulu, baru kemudian empati.
Simpati lebih kepada perasaan kasihan terhadap orang lain, sementara empati lebih kepada kemampuan untuk memahami perasaan seseorang. Kasihan mendorong ke jurang penderitaan. Sementara empati bisa melihat secara jeli yang dibutuhkan saat itu. Simpati berkembang secara alami, empati butuh atau mesti dilatih secara sadar.
Simpati berarti ada gejolak emosi terhadap si C bila terlambat, tetapi langkah selanjutnya adalah memberikan solusi untuk mengatasi masalah bagi si C. Dengan cara seperti ini, saya juga memberikan pelajaran pada si M sehingga tidak lagi lalai atau terlambat yang mungkin berdampak buruk, yaitu keterlambatan si C tiba di sekolahnya.
Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, mesti emosi yang terkait erat dengan pikiran mesti mengalami transformasi menjadi intelegensi atau buddhi yaitu empati; memahami kebutuhan yang saat itu memang memberikan solusi.