Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kesadaran Jiwa, Bagaimana Implikasinya?

14 Agustus 2024   06:30 Diperbarui: 14 Agustus 2024   06:48 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : myind.net/Home/

Kata KESADARAN JIWA sangat asing pastinya. Padahal Jiwa merupakan esensi kehidupan yang mesti diimplementasikan dalam hidup sehari-hari. Hanya mereka yang hidup dalam kesadaran Jiwa bisa menggapai kebahagiaan sejati, atau boleh disebutkan dalam keseimbangan sejati. Nah sebelum kita membahas tentang kesadaran Jiwa, terlebih dulu mengerti mengenai keseimbangan diri.

Banyak pemahaman bahwa yang dianggap seimbang adalah kesamaan berat. Yang sering kita dengar adalah kesimbangan dunia dan akherat. Atau juga keseimbangan hubungan antara sesama manusia dan Tuhan. Atau seimbang antara materi dan akherat. 

Mungkin kah kita membina atau mencapai keseimbangan hubungan antara sesama manusia dan Tuhan? Sama sekali tidak mungkin. Karena semua makhluk hidup di dalam-Nya. Adalah mereka yang masih memisahkan bahwa antara manusia dan Tuhan terpisah bisa mengatakan bahwa hubungan horizontal (antar sesama manusia) dapat dibedakan dengan yang vertikal (Tuhan). Sungguh anggapan yang sangat keliru!!!!!!

Anggapan di atas berdampak sangat fatal dalam kehidupan. Saya bisa menyimpulkan bahwa anggapan tersebut telah membawa kericuhan dan bahkan pembantaian terhadap sesama. Sadarilah bahwa kita semua tidak dapat hidup di luar Dia Hyang Maha Hidup.

Mengenai keseimbangan dunia dan akherat; dunia mewakili materi atau dunia benda. Sementara akherat hidup secara Jiwani atau Ilahi. Banyak orang akan menghindar untuk menjawab bila ditanya "Mengapa menunda perjalanan spiritual atau jalan menuju akherat?"

Jawaban tersebut merupakan gambaran adanya anggapan bahwa dunia benda bisa dipisahkan dari perjalanan menunju alam setelah kematian. Dengan adanya anggapan ini, maka kehidupan mereka tidak akan bisa menggapai kebahagiaan sejati. 

Dalam kearifan atau kebijakan leluhur nusantara dikenal yang disebut PURUSAhARTHA. Purushaartha ini melingkupi 4 pilar :

  • Dharma : Hidup selaras dengan alam. Dengan kata lain bahwa segala sesuatu dikaitkan dengan kesejahteraan orang banyak,
  • Artha : Biasanya dikaitakan dengan harta/uang, namun sesungguhnya akan lebih tepat bila dimaknai sebagai arti hidup. Dengan kata lain, bagaimana bisa hidup kita mempunyai arti begi sesama makhluk,
  • Kama : Banyak orang mengartikan atau memaknai dengan keinginan atau nafsu. Dari Guru saya, 'kama' juga dimaknai atau ditafsirkan dengan relasi atau hubungan.
  • Moksha : Merupakan kebebasan dalam bertindak atau berbuat dalam segala hal. Namun bukan berarti berbuat semaunya. Bebas dalam berpikir, mengutarakan pendapat, atau dalam segi materi.

Dengan melakoni PURUSHARTHA secara utuh juga berarti bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini mesti dikaitkan dengan Jiwa yang menjadi esensi kehidupan seluruh makhluk. Dalam pepatah Jawa dilambangkan dengan kebijakan URIP IKU URUP; hidup atau kehadiran kita juga memberikan kehidupan sesama makhluk. Bisa juga dilakoni dengan cara :'Perlakukan orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan'

Kembali dengan kesadaran Jiwa...

Melakoni hidup dalam kesadaran Jiwa berarti kita mesti MEMBERDAYAKAN DIRI, melakoni hidup secara bebas yang berarti tidak menjadi budak nafsu indrawi.

Pemberdayaan diri berarti juga mengakui bahwa dalam diri kita ada kekuatan Sang Maha Jiwa. Adanya kepercayaan atau keyakinan ini membuat kita tidak tidak bergantung pada orang lain, namun juga tidak berarti bahwa hidup kita tidak ada ketergantungan dengan makhluk lain. Dengan pemahaman ini kita menyadari bahwa kita tidak bisa kaya atau hidup sendiri.

Melakoni hidup secara bebas juga mesti dimakani bahwa kita tidak menyerahkan kendali kehidupan di bawah nafsu badaniah atau jadi budak nafsu. Bebas tetapi terikat atau mengikatkan diri demi sesuatu yang lebih mulia. Memang tidak ada sesuatu pun yang bebas secara penuh, karena kita memang masih hidup di dunia benda atau dunia dualitas.

Bila kita bisa melakoni hidup dengan kemampuan untuk memberdayakan diri sendiri serta bebas dari kebendaan, baru kita bisa menggapai kebahagiaan sejati. Inilah hidup daam keseimbangan karena melampaui alam pikiran yang notabene alam dualitas.

Mohon maaf bila membuat rekan-rena pembaca semakin bingung, bila tidak bingung berarti memang sudah saatnya bisa mengerti mengenai kesadaran Jiwa..

Rahayu..........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun