Akhir-akhir ini membuat saya merenungkan tujuan hidup saya. Mengapa demikian?
Banyak kejadian di luar diri yang mendorong perenungan lebih dalam. Misalnya yang masih hangat adalah tentang pengucapan salam terhadap kepercayaan lain yang membuat heboh. Kehebohan ini telah menarik perhatian saya. Begitu penting kah hal remeh/dangkal seperti ini dipikirkan? Mengapa saya katakan remeh?
Apa sulitnya mengucapkan selamat atas perayaan kepercayaan lain?
Karena ada rasa takut dalam diri kita sehingga sekadar ungkapan selamat pun atas perayaan kepercayaan lain bisa membuat kita goyah. Sebegitu besarkah rasa takut sehingga hanya mengakui dan mengatakan selamat bisa membuat kita goyah kepercayaan?
Dengan kata lain, sesungguhnya kepercayaan atas yang kita ikuti masih sangat dangkal. Sama sekali belum menyentuh ranah keyakinan. Masih sebatas ritual atau kulit. Bagaimana bisa diketahui?
Sangat mudah. Ketika kita mempercayai sesuatu hanya ikut-ikutan, maka kita belum pernah menguji kepercayaan tersebut. Bila kita sudah pernah melakukan kajian lebih dalam atas yang kita percayai, kita tidak akan mudah tergoyahkan. Ini yang pertama....
Yang ke dua adalah bahwa dengan melakukan pelarangan tersebut, kita hanya menunjukkan bahwa kita merasa lebih kuasa atau lebih hebat atau lebih tinggi dari yang dipercayai orang lain. Ada suatu peribahasa : "Bila kita merendahkan kepercayaan orang lain, hanyalah membuktikan kita belum memahami bahwa Dia Hyang Maha Kuasa Pencipta segala keragaman di muka bumi ini; termasuk kepercayaan"
Pernahkah kita berpikir bahwa satu helai daun pun sama pada satu pohon? Saya sangat yakin bahwa pada satu pohon yang sama ada bentuk dan urat daun yang sama persis. Inilah kebesaran serta kekuasaan Dia Sang Maha Pencipta Agung. Lha kita?
Berupaya menyeragamkan kepercayaan lain. Dengan kata lain, kita menganggap kita lebih debat dari Tuhan Hyang Maha Kuasa. Inilah kepicikan pikiran kita yang belum bisa bersyukur bahwa dunia ini indah karena keberagamannya.Â
Dengan kata lain, setiap orang adalah unik.
Yang ke tiga adalah bahwa tidak satu pun manusia lahir dengan stempel kepercayan tertentu di bokongnya, atau anggota tubuh lainnya. Dengan pemahaman ini, kita bisa diberikan kebebasan untuk memilih atau menentukan kepercayaan yang kita ikuti pada saat hidup. Dalam perut ibu kita pun, Dia Hyang Maha Kuasa tidak memaksa kita untuk memeluk kepercayaan tertentu. Karena Dia juga yang mengutus atau mengirimkan seseorang berdasarkan kondisi setempat. Dengan kata lain, setiap utusan-Nya memang hanya diperuntukkan untuk daerah serta kebiasaan tertentu.
Yang saya sangat yakini adalah bahwa pesan dari semua utusan-Nya adalah satu dan sama, memberitahu berita gembira bahwa dalam diri setiap orang juga bersemayam singgasana Dia. Hanya dalam hatilah Dia yang maha besar bisa bersinggasana. Mengapa demikian?
Ada pepatah : "Dalam lautan bisa diukur, dalam hati atau pikiran kita tidak satu pun bisa mengukur"
Hanya di tempat yang tidak terukur, Dia bisa bersinggasana. Bila kita meyakini bahwa dałam diri setiap makhluk Dia bersinggasana, mengapa kita begitu picik untuk melarang atau bahwa sampai memberikan ancaman terhadap ucapan yang bisa menghargai atau meng-apresiasi kepercayaan lain?
Bila kita mampu atau bisa me-apresiasi kepercayaan lain, sesungguhnya kita me-apresiasi keberagaman. Dengan cara ini, kita juga menghormati atau me-apresiasi kehadiran Dia dalam diri setiap orang.Â
Segala sesuatu di luar diri tidak perlu diperhatikan. Mengapa?
Karena setiap orang lahir di bumi ada alasannya. Ingatlah hukum alam yang mendasari keberadaan atau keberlangsungan bumi ini; HUKUM SEBAB-AKIBAT. Jadi setiap orang lahir karena alasan tertentu. Sehingga adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui penyebab atau alsan mengapa kita lahir.
Dengan kita selalu memperhatikan hal di luar diri yang sesungguhnya amat sederhana atau remeh, tanpa sadar kita abai untuk menelusuri sebab-sebab kelahiran kita. Kita membuang energi mengikuti kata orang, kita tidak memiliki energi lagi untuk masuk ke dalam diri.
Bila ada rekan pembaca memiliki pendapat lain, itu juga suatu kebebasan sendiri. Yang saya tuliskan adalah pendapat pribadi saya. Silakan diuji, baru bila dianggap sesuai, silakan dilakoni. Para Suci pun hanya sekadar menyampaikan berita baik. Sama sekali tidak memaksakan pendapat sendiri. Â Hanya kebodohan kita sendiri bila kita memaksakan pendapat kita terhadap orang lain. Suatu perbuatan kekerasan yang dalam kepercayaan mana pun tidak diajarkan. Â
//pixabay.com/illustrations/cause
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H