Hati-hati ya ketika tanggung jawab bila menjadi saksi............
Tidak mudah teman untuk menjadi saksi. Seorang saksi mesti betul-betul melihat dengan mata dan kepala sendiri. Bahkan di pengadilan pun kita di sumpah ketika diminta menjadi saksi. Ada sanksi yang cukup berat bila menjadi saksi palsu. Saya kutipkan di bawah ini pidana saksi palsu:
'Sanksi pidana terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu dalam proses perkara pidana akan dikenakan pidana penjara selama tujuh sampai sembilan tahun sesuai ketentuan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana'
Sebagai seorang saksi kita memiliki kekuatan yang meyakinkan, di samping itu juga berani bertanggungjawab. Ini baru hukum dunia, sekarang bagaimana bila kita menganut suatu kepercayaan tertentu, kemudian setiap kali berucap bahwa 'Aku bersaksi bahwa Tuhan Tunggal adanya?'
Sudahkah kita menyaksikan dengan mata kecala sendiri ucapan tersebut?
Atau hanya sekedar mengikuti seperti burung beo?
Burung beo pintar menirukan tetapi tidak memahami tanggung jawabmengenai yang diucapkan. Bukan,'kah si beo hewan?
Jadi bila kita manusia yang dikarunia neocortex mengatakan hal yang sama, apa bedanya????
Mengapa pernyataan saksi bahwa Tuhan Mata Tunggal adanya disampaikan oleh para suci?
Karena mereka memang betul-betul sudah menyaksikan bahwa Dia Maha Tunggal, dan ini betul-betul diterapkan dalam hidup sehari-hari. Pertama sekali mereka meyakini bahwa kehadiran Tuhan ada dalam dirinya. Tahap ke-dua mereka menyadari bahwa sebagai manusia yang telah melihat Tuhan juga ada dalam dirinya meyakini bahwa dapat dipastikan Tuhan juga berada dalam setiap makhluk hidup, tentu terutama manusia.
Mungkin bila kita ambil contoh yang lebih mudah; para suci sudah minum susu sapi, mereka tidak lagi melihat warna atau bentuk luar sapai. Mereka meyakini bahwa semua jenis sapi pasti susunya berwarna putih.
Sudah kah kita minum susu sapi, atau hanya menggunakan pengetahuan pinjaman dari seseorang yang sudah minum susu sapi?
Mungkin ada yang menjawab; 'Kami meyakini yang disampaikan oleh mereka yang sudah pernah minum, untuk apa menanyakan lagi?'
Bila setelah minum susu sapi para suci bertindak dengan tidak lagi melihat warna kulit sapi, sudahkah kita juga mengikuti buah atau perbuatan yang sama dengan mereka?
Cara ini bisa dilakukan, mungkin bisa kita ibaratkan dengan seseorang yang mengatakan bahwa api itu panas berdasarkan pengalaman mereka, kita tidak lagi perlu mengulang. Kita hati-hati sehingga tidak mau terbakar.
Bila demikian, bertindaklah sama dengan yang dilakukan para suci yang telah melihat Tuhan Satu adanya dengan cara mengasihi dan menyayangi setiap makhluk hidup. Jangan hanya mengikuti ucapannya tanpa bertindak sebagaimana para suci. Kalau tidak mau kena sanksi.
Jangan dipikir tanpa ada hukuman atau sanksi bila kita berlaku sebagai saksi palsu.........
Bayangkan bila kita bertindak sebaliknya?
Bertindak semaunya alias berbuat kekerasan dan menghina karena melihat perbedaan kulit sapi........
Pertama sanksinya adalah pikiran kita telah melakukannya perbuatan kekerasan. Dengan menyakiti dan menghina sesama, tanpa sadar kita sudah sakit pikiran atau mental. Dampak selanjutnya terhadap tubuh kita. Ga percaya???????
Kita konsumsi daging, kita anggap biasa.
Bukan,'kah kita sudah berbuat sebaliknya dari para suci. Mereka sadar bahwa hewan yang dibunuh sekadar untuk memenuhi kenyamanan indrawi bisa merusak tubuh. Karena tidak satu pun hewan tidak merasa marah atau takut saat dibunuh. Saat itu emosi kemarahan diserap daging, daging 'rusak' ini kita konsumsi. Sudan banyak bukti ada korelasi erat antara daging dan emosi manusia.
Jadi tidak mudah teman-teman mengatakan : 'Aku bersaksi Tuhan Maha Satu/Tunggal'
Tiada satu pun makhluk bisa hidup tanpa perkenan Dia Hyang Maha Hidup.
 'Perlakukan sesamamu sebagaimana dirimu ingin diperlakukan'
https://radiomutiaraquran.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H