Saya dulu tidak memahami pesan para leluhur ini, namun setelah saya membaca buku Atma Bodha yang dituliskan Bapak Anand Krishna, saya bisa memahaminya.Â
Dalam buku tersebut dituliskan:
Seorang Jeevanmukta sadar bahwa apa yang sedang ia cari ada di dalam dirinya, sudah dari dulu. Tinggal menggali diri saja, maka seluruh kesadaran dialihkan ke dalam diri.
Ini yang dalam berbagai tradisi disebut "MATI SEBELUM MATI", "MATI SEMASA HIDUP". Dengan seluruh kesadaran dialihkan ke dalam diri, seorang "mati" bagi dunia luar, bagi bayang-bayang di luar diri, bagi sesuatu yang ilusif.
Yang dimaksudkan dengan Jeevanmukta adalah mereka yang sudah sadar akan jati dirinya. Mereka yang sudah memahami bahwa dirinya merupakan percikan Ilahi. Ya bagaikan percikan air laut, hanya beda kuantitas, namun kualitasnya tidak beda.Â
Mereka memahami bahwa kebahagiaan bukanlah berada di luar diri, segala sesuatu di luar diri hanya bersifat sementara. Tidak ada yang langgeng sehingga tidak ada manfaatnya mengejar yang hanya bersifat sementara.Â
Mari kita renungkan, adalah sesuatu di luar diri yang berbentuk materi abadi? Ketika kita ingin mobil baru, berapa lama kita senang, bukan bahagia, namun hanya kepuasan sesaat. Setelah paling lama satu bulan, ya hilanglah kelegaan. Setelah itu, ya biasa. Kemudian kita berburu barang lainnya, puas atau lega sesaat, kemudian cari lainnya...
Seperti itulah hidup kita.....
Bagaimana mungkin kita mengharapkan bahagia yang jangka panjang pada sesuatu materi yang bersifat terus berubah?
Yang disebutkan "mati semasa hidup" adalah menutup diri terhadap segala keinginan duniawi. Dengan kata lain, kita membunuh atau melampaui keinginan-keinginan indrawi.Â
Pikiran kita sendiri yang kita bunuh. Segala sesuatu keinginan muncul dari pikiran. Inilah yang disebut intelektual, sedangkian intelejensia adalah Buddhi.Â
Dengan mematikan keinginan, kita mati semasa masih hidup. Sehingga segala hal yang kita perlukan adalah hal yang memang dibutuhkan untuk hidup. Inilah yang disebut makan untuk hidup.Â
Dengan kita menurutkan nafsu kita, kita berprinsip "HIDUP UNTUK MAKAN" Ya tidak ada beda dengan hewan berkaki empat. Kita belum memanfaatkan pemberian Ilahi yang disebut NEOCORTEXÂ Hewan hidup hanya untuk makan, tidur (kenyamanan), dan sex. Akankah kita hidup seperti mereka? Tidak bd dengan hewan berbadan manusia. Dengan kata lain, kita belum menjadi manusia.
Setiap manusia yang lahir di bumi bisa menjadi suci atau insan Ilahi, lepaskan perbudakan diri dari keinginan duniawi. Segala sesuatu keinginan tidak membuat kita bahagia, tetapi malahan menjadikan kita budak dunia. Kita bagaikan putra raja yang merampok kerajaannya sendiri. Kisah berikut :
Ada suatu masa, seorang perampok merampas dan membunuh raja, sedangkan si putra mahkota dibawa ke sarangnya.
Si putra makhkota hidup sebagai perampok. Suatu ketika, kepala perampok meninggal, maka si putera mahkota menggantikan sebagai kepala perampok.
Mereka terus berpetualang, sampai suatu ketika menjarah kerajaan. Ternyata kerajaan tersebut adalah kerajaan kelahiran si putera mahkota. Namun karena ketidaktahuannya, ia merampok dan menguasai serta menjajah kerajaannya sendiri.
Bukankah kita pun demikian?
Lupa bahwa kita lah pemilik alam ini. Kita merampas dan merusak milik kita sendiri. Karena kita belum menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah di luar diri. Kita belum menyingkap hijab kita......
Kebahagiaan tidak perlu dicari, tetapi ubahlah cara pandang tidak mencari kebahagiaan, tetapi JADILAH BAHAGIA............ Â Â
https://www.booksindonesia.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H