Segera saya sadar, otak matematika memang tidak mengenal abu-abu. Harus tegas. Harus pasti. Ikuti perintah Tuhan maka selamat, ingkari perintah Tuhan maka celaka. Tidak ada tafsir yang mendua, tidak perlu sok filosofis, subtantif atau sufistis. Â Dan saya sadar itu sudah menjadi pilihan Ajo, saya tidak bisa protes.
"Pekerjaan saya saat ini adalah menjaga badak, atau tepatnya menunggu badak, karena selama saya bekerja belum sekalipun melihat wujud badak secara langsung, kecuali jejak kaki dan tahinya. Pernah berminggu-minggu mengantarkan wartawan Natgeo untuk memotret badak, tapi tak jua jumpa." Saya nyaris tergelak mendengarkan kisahnya, tetapi tertahan karena menangkap ironi yang menyedihkan.
Kamipun bertukar nomor handphone. Lalu berpisah. Laut, pulau, pohon, dan badak kembali memisahkan kami. Sesekali saya kirim SMS ke Ajo, yang selalu dijawabnya dengan dingin, semisal: oke, baik, iya, sehat dan kalimat acuh lainnya.
Gusti mboten sare. Di awal 2019, pada pagi selepas subuh, saya kembali bertemu Ajo di stasiun kereta Bogor. Waktu itu koran dan medsos mengabarkan berita akan ada demontrasi besar di Ibu Kota.Â
Kereta api listrik jurusan Bogor-Jakarta penuh manusia, ada yang hendak berangkat kerja ada pula yang hendak demo. Kami berhimpitan di kereta, saling tatap. Menebak sanubari masing-masing. Tidak sepatah katapun keluar dari mulut kami berdua. Entah mengapa, sejak itu saya merasa telah kehilangan sahabat terhebat waktu muda, sang ahli matematika. Â
Â
KRL Bogor-Jakarta, 2020
Margono Dwi Susilo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H