Dan betul juga, di Yogyakarta, Ajo justru lebih sering dimintai tolong untuk mengerjakan tugas anak kuliahan. Dunia terbalik. Kami takjub. Jika bakat besar ini diketahui pemerintah, tentu Ajo akan mendapat beasiswa ke Amerika, bisa bekerja di NASA. Tetapi kami sudah berniat menjadi PNS, demi jatah beras.
Titah di lauh al mahfudz tidak terbantahkan. Kami diterima di perguruan tinggi kedinasan. Saat lulus kami sudah menyandang besluit sebagai pangreh praja. Rasa syukur saya tiada putus. Ajo kulihat biasa saja. Bahkan Suatu saat ia berseloroh ke saya "Mas Bromo, saya mau mengundurkan diri dari PNS."
Tentu saja waktu itu saya anggap guyonan belaka. Orang tua Ajo di kampung begitu gembira dengan pencapaiannya, tidak mungkin mundur dari PNS begitu saja. Apalagi  Mbah Semito menggelar wayang kulit untuk merayakan kelulusannya.
Tidak kusangka Ajo cukup serius. Saya tanya alasanya, mengapa? Ajo dengan ringan menjawab "menjadi PNS bukan tempat saya." Saya maklum, otak matematika memang tidak bisa tertampung di meja PNS yang bekerja dengan menggunakan mesin ketik buterfly.Â
Saya tidak lekas menjawab, hanya saya mengingatkan "ingat perasaan orang tuamu, Jo." Ajo diam. Dan benar juga, orang tua yang menghalanginya hengkang dari PNS. Setidaknya sampai saat itu.
Tidak terduga saya dan Ajo terpisah oleh surat keputusan mutasi dari pejabat yang sama sekali tidak mengenal kami. Tanpa banyak bicara kami berpisah, saling merelakan. Pulau dan kota-kota menghalangi kami.
Jamanpun cepat berubah, menderu seperti gasing raksasa. Melindas kegugupan manusia. Mesin ketik manual buterfly diganti mesin ketik listrik olympia lantas diganti dengan komputer Univac, Apple II, IBM PC, IBM Pentium II, Dell lalu laptop Lenovo. Terus dan terus.
Beberapa diantara kami telah berkeluarga, termasuk saya. Ada yang bahagia, ada yang tidak, ada yang setia ada yang selingkuh, bahkan bercerai.
Tuhan memang mengejutkan. Di tahun 2010, sekira bulan oktober, saat angin muson timur sibuk mencari pohon untuk diterjang, saya bertemu kembali dengan Ajo, setelah dua belas tahun lebih berpisah. Pertemuan kami di tempat yang tidak biasa: pinggiran Ujung Kulon.
"Ajo, ngapain kamu disini?" Ajo hanya tersenyum. Tidak menjawab. Beberapa jam kemudian saya baru tahu bahwa Ajo sekarang berprofesi mirip jaga wana. Di sela-sela penugasan, saya sempatkan diri menemuinya. Aku bercerita bahwa saat ini pemerintah sedang berusaha menyusun neraca sumber daya alam, dan kami melakukan uji petik penilaian sumber daya alam di wilayah suaka ini.
Ajo menghela nafas. Saya menangkap binar mata matematikanya telah musnah, berganti kepasrahan -- mungkin bahkan kemurungan -- yang tiada berujung. Ajo bercerita bahwa ia keluar dari PNS dua belas tahun lalu, tanpa memberitahu orang tua. Alasannya karena sesuatu yang sangat prinsip, yaitu ia ingin betul-betul melaksanakan perintah Tuhan, sehebat dan selurus mungkin.Â
Ajo menegaskan bahwa ia tidak mungkin bekerja di instansi pemungut pajak, cukai dan retribusi serta sistem ribawi, karena itu semua dilarang agama. Saya terkejut bukan kepalang. Kemana otak matematika yang hebat itu? Kemana ramalan Sabdo Palon itu?