Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banalitas Kejahatan, Dari Eichmaan, PNS, hingga Akhwat Berjilbab Pink

2 Juli 2018   08:45 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:31 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersebutlah sebuah nama Adolf Eichmann. Ia seorang tentara Jerman pada Perang Dunia II. Sebagai tentara tentu ia membela Jerman dengan Hitler-nya. Ia kukuh menyerap dogma bahwa  Jerman selalu benar, selain Jerman salah. Eichmann adalah aktor utama pendeportasian kaum Yahudi Eropa selama Holocaust. Ia lahir di Jerman, lalu pindah ke Austria sejak kecil, sebuah negeri yang waktu itu sangat Jerman. 

Pada seputaran tahun 1932 ia bergabung dengan partai Nazi Austria dan kemudian SS. Saat PD II pecah, Jerman mencaplok Austria, dan Eichmann kukuh setia pada negerinya bahkan bergabung dengan Gestapo dan menjadi Direktur suatu departemen yang bertanggungjawab untuk pendeportasian lebih dari 1,5 juta orang Yahudi dari seluruh Eropa. Pada bulan Januari 1942, Eichmann ikut serta dalam konferensi  Wannsee untuk perencanaan pemusnahan kaum Yahudi Eropa.

Saat perang berakhir, Eichmann melarikan diri ke Argentina menggunakan identitas palsu, sampai akhirnya ia diculik oleh agen Israel pada Mei 1960. Pengadilan Eichmann menjadi terkenal apalagi seorang wartawan-filsuf bernama Hannah Arendt menuliskan reportoarnya yang kemudian dibukukan dengan judul "Eichmann in Jerusalem." Buku tersebut diberi sub judul "a report on the banalty of evil" (reportase tentang banalitas kejahatan) yaitu situasi sosial dan politik dimana kejahatan dianggap biasa karena seseorang yang berpandangan dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal.

KBBI mengartikan banal sebagai kasar, tidak elok, biasa sekali. Banalitas kejahatan didefinisikan oleh Hannah Arendt sebagai anggapan yang wajar terhadap kejahatan, dan tidak menganggap kejahatan itu sebagai sesuatu yang salah, atau lebih parahnya kejahatan dianggap tidak ada. Mengapa bisa demikian? Karena sudah dianggap biasa. 

Adanya banalitas disinyalir karena manusia kehilangan kepribadian dalam dirinya. Banalitas kejahatan seringkali ditandai dengan kegagalan berdialog dengan diri sendiri, lebih suka menyalahkan orang lain dalam kegiatan politik. Eichmann adalah contoh lengkap orang yang mengalami banalitas. Pada fase ini ia telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal berpikir kritis. Pokoknya Jerman dan ideologinya pasti benar tanpa bisa dikritik lagi.

Nurani Eichmann telah ditumpulkan oleh propaganda. Ciri-ciri propaganda yaitu menciptakan kebohongan besar, menolak perspektif baru, memunculkan pemimpin yang selalu benar dan mengasingkan masyarakat dari realita. Partai politik yang miskin program, tetapi ingin berkuasa, biasanya akan menggunakan cara-cara propaganda dengan mengambil bahan baku dari apa saja, termasuk dari memelintir doktrin agama.

Pada dasarnya Eichmann adalah militer yang patuh. Dalam militer kepatuhan adalah keutamaan, bukan kejahatan. Hannah Arendt kaget saat pertama melihat Eichmann karena sang Nazi sama sekali tidak tampak kejam. Tidak ada tanda-tanda kejahatan dalam dirinya. Selaras dengan Hannah Arendt, Reza AA Watimena mendiskripsikan "Orang-orang biasa seperti Eichmann bukanlah orang jahat atau kejam. Banyak yang menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan setan. Wajahnya pasti sangar. Matanya kejam. Badannya besar. Namun faktanya tidak seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah orang biasa, cerdas dan patuh. Tidak ada niat jahat atau kejam di dalam dirinya". 

Dan, benar saja, Eichmann merasa tidak bersalah terhadap apa yang ia lakukan. Tentu Eichmann punya nurani dan kecerdasan, tetapi telah mandul.  Kemandulan nurani ini yang menyebabkan ia tidak mampu berpikir kritis dan menilai secara kritis. Bayangkan, ia memerintahkan dan menyaksikan ratusan ribu orang Yahudi diangkut truk dan dikirim ke kamp konsentrasi, setiap hari, tidakkah ia berpikir mengapa orang Yahudi itu diangkut, dan apa nasib orang-orang tersebut di kamp konsentrasi. Tentu tidaklah mungkin Yahudi diangkut hanya untuk diberi makan siang.   

Pada dasarnya orang seperti Eichmann tidak suka politik dan tipe orang yang kesepian. Ideologi yang ditawarkan Nazi nampak sebagai kebenaran yang mengisi kekosongan akibat kesepian itu. Hal ini menjelaskan alasan setiap anggota partai Nazi yang berlindung dibalik hukum apabila dipertanyakan tentang hati nuraninya terkait tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan. 

Di era pasca reformasi kita melihat munculnya bibit baru banalitas kejahatan. Dahulu, sejak zaman kerajaaan, orang Indonesia terbiasa menghormati pemimpin. Pemimpin dianggap figure dengan kemampuan khusus, bahkan adikodrati. Tidak sedikit pemimpin yang diberi gelar setingkat imam mahdi, sebut misalnya HOS Cokroaminoto dan Diponegoro. Tetapi kini, lihatlah, pemimpin kita (baca: presiden, gubernur, bupati, ulama) menjadi bahan ledekan setiap hari, terutama di media sosial. Yang lebih memprihatinkan, ledekan bahkan hinaan lebih banyak ditujukan kepada pemimpin tertinggi, yaitu Presiden. 

Penghinaan itu pernah begitu massif sehingga menjadi banal, sebut saja saat era Pilpres 2014. Kini, walau sedikit menurun, ya hanya sedikit menurun, penghinaan terhadap symbol Negara tetap marak dilakukan. Dari tuduhan PKI, nonmuslim, keturunan china, anak haram, plonga-plongo, bego kuadrat, mampet bahasa inggris, anti islam, pro Kristen, antek china, diktator, penista ulama, suka pencitraan dan seterusnya. Tentu gayung bersambut, pembelaan dari pihak yang pro Pemerintah juga gencar dan sadis. Terjadilah perang opini yang brutal dan menjijikkan.

Tetapi alangkah terkejutnya saya, manakala mendapati fakta di medsos bahwa penghina simbol Negara (baca: presiden) lebih banyak dilakukan oleh mereka yang mempunyai pemahaman agama yang cukup, bahkan bisa disebut sholeh menurut terminology islam. Beberapa situs islam (beberapa sudah diblokir), bahkan ustadz tertentu dengan gigih menyerang pemerintah dan presiden. Masyarakat yang lugu dan patuh, seperti patuhnya Eichmann, akan mendapat penguatan bahwa menghina pemerintah dan presiden itu boleh, biasa, bagian dari demokrasi. Karena dianggap biasa, dan telah dicontohkan oleh situs islam serta ustadz tertentu, akhirnya banalitas kejahatan muncul.

Gerangan apa ini? Ada beberapa alasan, pertama Jokowi merupakan kader PDIP, partai nasionalis garis keras, yang walaupun tidak terbukti anti islam tetapi agenda pembatasan Perda Syariah, penguatan pancasila, kebhinekaan dan pluralisme dianggap menghalangi formalisasi syariat islam. Apalagi dengan pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Jokowi akhirnya kena getahnya.

Kedua, memang ada anasir kebangkitan gerakan neo-darul islam (yang bisa jadi ditunggangi oleh kekuatan internasional).  Gerakan ini, walaupun berbeda metode, sebangun setujuan dengan ide khilafah yang dimotori oleh HTI. Gerakan ini menguat di era reformasi dan telah menyusup ke Kantor Pemerintah, BUMN/D dan kampus-kampus,  bahkan terang-terangan mengadakan konferensi khilafah di Gelora Bung Karno. Saya masih ingat akhwat berjilbab pink mengibarkan bendera HTI seraya mengutuk demokrasi. 

Akhwat lain berorasi, jangan pilih pemimpin kafir. Para akhwat yang lurus, lugu dan tidak menunjukkan adanya karakter kejam, tidak menyadari bahwa tindakan mereka berpotensi menimbulkan disintegrasi bahkan perang saudara. Sebagaimana Eichmann menganggap dirinya hanya menjalankan tugas dan hukum, akhwat jilbab pink juga berargumen yang setara bahwa ia hanya berdakwah.  

Yang lebih menyedihkan, PNS, yang telah disumpah membela NKRI berpancasila, bungkam dan pura-pura pilun manakala Pemerintah dan presidennya dicaci maki sedemikian rupa (tapi saat THR cair langsung sumringah). Bahkan saat pencaci ada yang tercyduk, mereka menganggap pemerintah sebagai diktator. Lalu sekonyong-konyong membandingkan dengan Erdogan yang katanya santun dan pro ulama. 

Tetapi Jokowi memang kepala batu. Berbekal dukungan kuat Nahdlatul Ulama (dan Muhammadiyah), akhirnya membubarkan HTI. Ini keberanian luar biasa mengingat simpatisan HTI telah cukup besar.  Survey Alvara Research Center tahun 2017 menemukan fakta sebagian generasi milenial setuju dengan konsep khilafah sebagai bentuk Negara. Mayoritas generasi milenial memang memilih NKRI, namun 17,8 persen mahasiwa dan 18,4 persen pelajar setuju dengan khilafah sebagai bentuk ideal (CNN Indonesia, akses tanggal 18 Juni 2018). 

Menristekdikti Mohamad Nasir mengungkapkan hasil riset bersama LIPI, UI dan sejumlah peneliti akhir tahun 2017, hasilnya 23 persen pelajar dan mahasiswa siap menegakkan khilafah (Liputan6.com, akses tanggal 18 Juni 2018). 

Survey SMRC yang dirilis 4 Juni 2017 menyebutkan bahwa 9,2 persen responden setuju NKRI diganti menjadi Negara khilafah (kompas.com, akses tanggal 18 Juni 2018). Memang hanya 9,2 persen, tetapi itu bisa sampai 20 juta penduduk, lebih banyak dari warga Singapura. Akhwat berjilbab pink pastilah masuk pro khilafah, walau saya berani jamin mereka mengenal khilafah hanya dari propaganda, bukan fakta. Hanya disodori yang bagus-bagus saja.

Dengan pendukung dan simpatisan yang telah begitu banyak maka mereka cukup berani menyuarakan ide khilafah. Dakwah khilafah akhirnya menjadi banal, menjadi biasa, walau jika dilihat  dari NKRI yang berpancasila maka dakwah khilafah adalah kejahatan. Kita pantas khawatir mengingat banalitas kejahatan atas nama doktrin agama (tentu dengan memelintir terlebih dahulu) akan jauh lebih militan. Sekali lagi, PNS, tampak menyedihkan, tersublimasi (terkaburkan), bingung karena telah terpapar propaganda bahwa khilafah itu ajaran islam dan nasionalisme tidak ada dalilnya (tapi kalau mau dicyduk baru nangis dan ngaku pancasilais).

Mas, mengapa kok sampeyan sebagai muslim tidak mendukung khilafah? bukankah NKRI, republik, demokrasi dan segala atributnya hanya ciptaan manusia, manusia kafir pula. Lain dengan khilafah yang merupakan bagian dari syariah. Nanti saat kita mati, bukan Pancasila yang jadi penolong, tetapi al-Quran. Begitu propaganda yang disodorkan pada kita. Sangat sugestif, menyentuh. Masyarakat yang jam terbangnya rendah akan mudah terbujuk.

Oke, sejujurnya saya bangga pada khilafah. Sistem ini pernah dipakai oleh umat islam ratusan tahun. Marshal Hogdson dalam the venture of Islam pernah menyebutkan bahwa khilafah adalah puncak dari peradaban di era tertentu (agraris). Siapa yang tidak bangga disebut puncak peradaban di era tertentu. Tetapi itu dulu, jaman berubah.

Kedua khilafah bukan pokok ajaran islam, khilafah hanya pengalaman berpolitik umat islam dahulu. Ketiga, khilafah juga tidak ada dalil yang mewajibkan. Jika anda disodori ayat atau hadist yang mewajibkan khilafah, maka tolong teliti dengan sungguh-sungguh (jangan percaya terjemahan), bisa jadi bukan Alloh dan Rasul yang mewajibkan, tetapi tafsiran dari ulama politiklah yang mewajibkan.  Sebagai ulama, tentu ia tidak salah berijtihad, tetapi sebagai umat ya jangan membebek (taklid), apalagi jika harus mengorbankan keutuhan rumah kebangsaan kita.  

Memang republik, demokrasi dan segala atributnya hanya bikinan manusia. Tetapi justru karena hanya bikinan manusia maka bisa kita perbaiki dan bangun bersama. Sesuatu yang kita sokong bersama maka akan menjadi milik bersama dan pantas diperjuangkan bersama. Itulah intisari dari Negara kebangsaan, nasionalisme. Mungkin ada yang berkilah, Mas, demokrasi itu tidak adil, karena suara professor yang berijazah satu lemari disamakan dengan suara tamatan SD. 

Oke, kelemahan sistem demokrasi bisa diperbaiki, karena sekali lagi demokrasi hanya buatan manusia. Tetapi anti thesis juga bisa diajukan, "siapa yang bisa menjamin bahwa tamatan SD tidak bijak, tidak mempunyai nurani, tidak dekat dengan Tuhan?" Tidak ada yang bisa menjamin. Bahkan, Tuhan sendiri telah berjanji, Ia bersemayam di "gubuk" rakyat kecil.

Lain misal jika Negara khilafah, walau ia bikinan manusia dan dilaksanakan oleh manusia juga, tetapi telah diklaim sebagai ilahiah. Dengan demikian, siapapun yang mengkritik Negara ilahiah akan mudah dicap menentang kehendak Tuhan. Ini tentu tidak bagus bagi kehidupan bermasyarakat. Negara dan para penyokongnya akan merasa sebagai penafsir tunggal kehendak Tuhan di muka bumi.

Bermula dari politik luar negeri Amerika Serikat, munculah Al-Qaida, perang Suriah, lalu lahirlah ISIS. Serupa dengan Eichmann, Pejuang ISIS tentu akan berargumentasi, "ini perintah agama," terhadap kejahatan kemanusiaan dan kebudayaan yang telah mereka lakukan. Paham ISIS telah masuk ke Indonesia.  

Bagi saya ini akan jauh lebih berbahaya dari komunisme. PKI telah menjadi fosil, tidak berbahaya.  Tetapi pembenci pemerintah tahu persis bahwa isu PKI (dan TKA China) merupakan isu yang bisa menyatukan masyarakat untuk "melawan" Pemerintah. Maka digorenglah isu tersebut, seolah-olah pemerintah itu PKI, hanya dengan fakta minimalis, misalnya kader PDIP Rikha Ciptaning yang bangga jadi anak PKI (padahal mereka juga belum pernah baca buku Rikha Ciptaning, paling hanya lihat covernya saja).

Pembubaran HTI memang problematis. Pemerintah akan dituduh anti islam dan berpotensi kehilangan suara sekitar 20 juta pemilih. Tetapi menjaga Negara Pancasila adalah perintah konstitusi, wajib. Konstitusi adalah penjelmaan dari perjanjian seluruh warga bangsa, dimana mentaati perjanjian adalah perintah agama. Setidaknya pembubaran HTI akan memaksa akhwat berjilbab pink dan temannya untuk menambah daftar bacaan (semoga bacaannya tidak diseleksi oleh pimpinannya) dan jujur membangun argument bahwa ide kebangsaan bisa selaras dengan ide keislaman. Seperti jargon NU, "cinta tanah air adalah bagian dari iman." Semoga.

Margono Dwi Susilo

PNS DJKN, Kementerian Keuangan.

Referensi:

  1. Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, 2012, Yogyakarta, Pustaka Pelajar;
  2. Rieke Diah Pitaloka, Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara, 2010, Depok, Koekoesan.
  3. Reza A.A Watimena, Hannah Arendt, Kejahatan Negara dan Situasi Indonesia, rumahfilsafat.com (diakses tanggal 18 Juni 2018;
  4. Eugene Rogan, The Fall of The Khilafah, 2016, Serambi.
  5. Trias Kuncahyono, Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, 2018, Penerbit Buku Kompas.
  6. Marshall Hodgson, The Venture of Islam, volume 1, (terjemahan Mulyadi Kartanegara), 2002, Paramadina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun