Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banalitas Kejahatan, Dari Eichmaan, PNS, hingga Akhwat Berjilbab Pink

2 Juli 2018   08:45 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:31 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua khilafah bukan pokok ajaran islam, khilafah hanya pengalaman berpolitik umat islam dahulu. Ketiga, khilafah juga tidak ada dalil yang mewajibkan. Jika anda disodori ayat atau hadist yang mewajibkan khilafah, maka tolong teliti dengan sungguh-sungguh (jangan percaya terjemahan), bisa jadi bukan Alloh dan Rasul yang mewajibkan, tetapi tafsiran dari ulama politiklah yang mewajibkan.  Sebagai ulama, tentu ia tidak salah berijtihad, tetapi sebagai umat ya jangan membebek (taklid), apalagi jika harus mengorbankan keutuhan rumah kebangsaan kita.  

Memang republik, demokrasi dan segala atributnya hanya bikinan manusia. Tetapi justru karena hanya bikinan manusia maka bisa kita perbaiki dan bangun bersama. Sesuatu yang kita sokong bersama maka akan menjadi milik bersama dan pantas diperjuangkan bersama. Itulah intisari dari Negara kebangsaan, nasionalisme. Mungkin ada yang berkilah, Mas, demokrasi itu tidak adil, karena suara professor yang berijazah satu lemari disamakan dengan suara tamatan SD. 

Oke, kelemahan sistem demokrasi bisa diperbaiki, karena sekali lagi demokrasi hanya buatan manusia. Tetapi anti thesis juga bisa diajukan, "siapa yang bisa menjamin bahwa tamatan SD tidak bijak, tidak mempunyai nurani, tidak dekat dengan Tuhan?" Tidak ada yang bisa menjamin. Bahkan, Tuhan sendiri telah berjanji, Ia bersemayam di "gubuk" rakyat kecil.

Lain misal jika Negara khilafah, walau ia bikinan manusia dan dilaksanakan oleh manusia juga, tetapi telah diklaim sebagai ilahiah. Dengan demikian, siapapun yang mengkritik Negara ilahiah akan mudah dicap menentang kehendak Tuhan. Ini tentu tidak bagus bagi kehidupan bermasyarakat. Negara dan para penyokongnya akan merasa sebagai penafsir tunggal kehendak Tuhan di muka bumi.

Bermula dari politik luar negeri Amerika Serikat, munculah Al-Qaida, perang Suriah, lalu lahirlah ISIS. Serupa dengan Eichmann, Pejuang ISIS tentu akan berargumentasi, "ini perintah agama," terhadap kejahatan kemanusiaan dan kebudayaan yang telah mereka lakukan. Paham ISIS telah masuk ke Indonesia.  

Bagi saya ini akan jauh lebih berbahaya dari komunisme. PKI telah menjadi fosil, tidak berbahaya.  Tetapi pembenci pemerintah tahu persis bahwa isu PKI (dan TKA China) merupakan isu yang bisa menyatukan masyarakat untuk "melawan" Pemerintah. Maka digorenglah isu tersebut, seolah-olah pemerintah itu PKI, hanya dengan fakta minimalis, misalnya kader PDIP Rikha Ciptaning yang bangga jadi anak PKI (padahal mereka juga belum pernah baca buku Rikha Ciptaning, paling hanya lihat covernya saja).

Pembubaran HTI memang problematis. Pemerintah akan dituduh anti islam dan berpotensi kehilangan suara sekitar 20 juta pemilih. Tetapi menjaga Negara Pancasila adalah perintah konstitusi, wajib. Konstitusi adalah penjelmaan dari perjanjian seluruh warga bangsa, dimana mentaati perjanjian adalah perintah agama. Setidaknya pembubaran HTI akan memaksa akhwat berjilbab pink dan temannya untuk menambah daftar bacaan (semoga bacaannya tidak diseleksi oleh pimpinannya) dan jujur membangun argument bahwa ide kebangsaan bisa selaras dengan ide keislaman. Seperti jargon NU, "cinta tanah air adalah bagian dari iman." Semoga.

Margono Dwi Susilo

PNS DJKN, Kementerian Keuangan.

Referensi:

  1. Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, 2012, Yogyakarta, Pustaka Pelajar;
  2. Rieke Diah Pitaloka, Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara, 2010, Depok, Koekoesan.
  3. Reza A.A Watimena, Hannah Arendt, Kejahatan Negara dan Situasi Indonesia, rumahfilsafat.com (diakses tanggal 18 Juni 2018;
  4. Eugene Rogan, The Fall of The Khilafah, 2016, Serambi.
  5. Trias Kuncahyono, Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, 2018, Penerbit Buku Kompas.
  6. Marshall Hodgson, The Venture of Islam, volume 1, (terjemahan Mulyadi Kartanegara), 2002, Paramadina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun