Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sunni Versus Syiah, dari Segmentasi Politik Menjadi Segmentasi Madzab

10 November 2015   08:57 Diperbarui: 10 November 2015   09:24 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SUNNI VERSUS SYIAH

 DARI SEGMENTASI POLITIK MENJADI SEGMENTASI MADZAB

oleh : margono dwi susilo

 

Tulisan ini untuk anak-anakku. Dengan maksud agar mereka tahu bahwa bapaknya telah menuliskan sesuatu untuk persatuan jamaah muslim ditengah ujaran perpecahan dan kebencian yang menderu-deru. Sebenarnya saya bisa saja memilih ikut-ikutan menghujat karena itulah yang lagi nge-trend saat ini. Sunni yang berani menghujat syiah akan mendapat julukan sholeh dan lurus iman, begitu juga sebaliknya. Sedangkan yang mencari jalan tengah akan mudah sekali dituduh liberal, bunglon bahkan munafik.

Baiklah, saya akan mulai dari kutipan hadits yang begitu terkenal, hadits “Ghadir Kum.” Bagi kaum syiah hadits ini dijadikan bukti bahwa sebelum meninggal dunia, Rasulullah SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti beliau. Namun bagi kalangan sunni hadits ini dipahami sekedar sebagai bukti kecintaan Nabi SAW kepada Ali yang memang sepupu sekaligus menantu. Bunyi terjemahan kutipan hadits tersebut adalah, “Barangsiapa menganggapku sebagai paduka, ini Ali paduka bagi kalian juga. Barangsiapa mencintainya, mereka sungguh mencintaiku juga; Barang siapa memusuhinya, mereka sesungguhnya sedang memusuhiku juga.” Hadits tersebut dengan narasi yang berbeda-beda juga diriwayatkan oleh imam dan ulama Sunni, sebut misalnya Musnad Ahmad vol. 4/281, Sunan at-Tirmidzi vol. 5/297, al-Mustadrak ‘ala Shahihayni vol. 3/183, Muhammad Nashirudin al-Albani, Silsilat al-Hadits as-Shahihah vol. 4/343 no. 1750.

Permasalahan muncul saat menafsirkan kata “Maula.” Kaum syiah menterjemahkannya sebagai pemimpin, sedangkan kaum sunni sebagai kekasih. Terlepas dari perbedaan interpretasi, haruslah dipahami bahwa hadist dan peristiwa “Ghadir Kum” diakui kesahihannya oleh ulama sunni dan syiah. Bagi kalangan syiah peristiwa Ghadir Kum merupakan momen penting sehingga dirayakan sebagai hari raya Ghadir, perayaan yang menambah panjang perbedaan dengan sunni, karena sunni akan kembali mengolok, “hari raya umat islam itu hanya dua, idul fitri dan idul adha, menambah-nambah hari raya maka itu bukti mereka bukan islam lagi.” Silahkan anda browsing di internet, ada puluhan perbedaan sunni dan syiah, kebanyakan ditulis dengan nada agitatif, saling melemahkan.

Mahfum, jika politik mempunyai sudut pandang sendiri. Pendukung Ali (kelak disebut syiah) menggunakan hadist tersebut untuk mengklaim bahwa Ali yang paling berhak menggantikan Nabi SAW sebagai khalifah sepeninggal beliau wafat. Dari sini kita memahami pendapat kalangan syiah yang menyatakan upaya Umar bin Khatab menunjuk dan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat islam, yang kemudian diikuti oleh kaum muhajirin dan anshar,  sebagai kudeta politik. Inilah embrio kebencian syiah terhadap sunni. Namun pihak sunni memandang dengan tilikan yang berbeda. Sunni memuji Umar, karena menurut kelompok sunni, kaum muslimin memang tidak boleh seharipun mengalami kekosongan kepemimpinan. Sehingga menunjuk pemimpin yang definitif adalah mendesak, lebih mendesak dari penguburan jenazah Nabi SAW. Lagi pula sunni, yang direpresentasikan dengan sahabat, terutama Umar dan Abu Bakar, mungkin saja menganggap “Ghadir Kum” sama sekali tidak bermakna politik.

Jika memang klaim kaum syiah benar tentu agak mengherankan karena Ali sendiri tidak pernah secara tegas menggunakan hadits ini untuk menuntut jabatan kekhalifahan. Bukankah Ali dikenal sangat patuh kepada sabda Nabi? Namun sejarah mencatat beberapa pendukung Ali menggunakan hadits tersebut untuk memaksakan Ali sebagai khalifah. Bahkan Zubair bin Awwam dikisahkan sempat menghunuskan pedang, yang kemudian dilerai oleh Umar bin Khatab. Dari sini masalah mulai bergeser ke arah politik. Atau bahkan sesungguhnya ini politik belaka. Mari kita cermati.

Peziarah sejarah yang jeli tentu akan bertanya, mengapa Umar bin Khatab dan Abu Bakar begitu gigih menggagalkan pertemuan di Tsaqifah (tempat peristirahatan) bani Saadah yang akan melantik Saad bin Ubadah (pemimpin kaum anshar Madinah) sebagai pemimpin (khalifah/Emir) pasca Nabi wafat? Jawabnya jelas : paham kesukuan (tribalism worldview). Abu Bakar dan Umar yakin bahwa kepemimpinan harus jatuh kepada orang Mekah, suku Quraishy, orang-orang yang memang paling awal mendukung Nabi SAW, bukan orang Madinah, walau tentu orang Madinah berjasa besar saat menolong hijrah Nabi SAW. Ini bisa kita simpulkan dari statament Abu Bakar kepada orang Madinah yang berkumpul di Tsaqifah, “Emir dari kami, menteri-menteri (wazir) dari kalian.” Inilah bagi-bagi kekuasaan yang memang harus dilakukan untuk mencari kesepakatan ala Abu Bakar. Lalu Abu Bakar melanjutkan, “pilihlah Umar atau Abu Ubadah bin Jarrah.” Tetapi Umar justru mengajukan Abu Bakar. Baik Umar, Abu Bakar dan Abu Ubadah bin Jarrah adalah orang Mekkah suku Quraishy. Dan Abu Bakar akhirnya dilantik sebagai khalifah pertama setelah Nabi SAW wafat.

Tarikh Thabari (wafat 310 H, jilid 2, al-istiglal Kairo, 1939, hal-455-460) menceritakan pertemuan di Tsaqifah secara dramatis. Kaum anshar Madinah menegaskan, “kami telah memilih pemimpin, silahkan anda memilih pemimpin sendiri.” Umar menukas “demi Alloh dua pedang tidak akan bisa masuk dalam satu sarung. Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda wahai kaum anshar, karena Nabi tidak berasal dari golongan anda.” Kata-kata Umar cukup jitu, dan orang-orangpun banyak yang percaya. Dari argumen Umar kita menambah suatu fakta : paham kesukuan sangat kental saat prosesi kepemimpinan awal islam.

Dimana Ali? Beliau tidak hadir karena masih mengurus jenazah Nabi. Seandainya Ali ikut serta ke Tsaqifah kemungkinan besar Ali akan terpilih sebagai khalifah. Karena sudah menjadi tipikal sahabat mulia, mereka tidak akan mengajukan dirinya sendiri. Ali yang pendiam, tulus dan berasal dari Quraisy tentu kandidat yang pas untuk ditampilkan. Tetapi Ali tidak ikut. Namun dari Thabari dan sumber-sumber terpercaya sesungguhnya dalam pertemuan di Tsaqifah banyak pihak yang mengusulkan agar Ali dibai’at sebagai khalifah. Entah mengapa justru Abu Bakar yang dilantik, tentu atas promosi dari Umar dan beberapa orang muhajirin Mekkah lainnya.

Apakah Ali selanjutnya tidak menuntut haknya terhadap kekhalifahan? Sumber sunni mengatakan, Ali santun sekali, sehingga tidak secara eksplisit menuntut haknya. Hanya memang Ali diriwayatkan pernah berkata, ”mereka berhujah dengan pohon kenabian namun mereka meninggalkan buahnya.” Lain lagi dengan sumber syiah, disitu diceritakan Ali menuntut haknya dengan tegas kepada Abu Bakar.

Dua hari setelah pelantikan Abu Bakar, ada peristiwa yang oleh sumber syiah dipercaya telah benar-benar terjadi, yaitu penggerebegan rumah Fatimah (putri Nabi sekaligus istri Ali). Saat kaum muhajirin dan anshar melantik Abu Bakar, Ali dan beberapa orang kepercayaannya, termasuk Zubair bin Awwam, berkumpul di rumah Fatimah, membahas masalah pelantikan Abu Bakar. Konon Umar mendengar pertemuan tersebut. Lantas atas perintah Abu Bakar, Umar membawa satu regu pasukan untuk menggerebeg rumah Fatimah dengan maksud agar mereka membai’at Abu Bakar. Terjadi sitegang. Dalam klimaknya, masih menurut sumber syiah, Umar mendobrak pintu dan memukul perut Fatimah sehingga pingsan dan keguguran. Inilah salah satu episode yang selalu didramatisir kaum syiah untuk membenci sahabat Nabi, selain episode lain seperti masalah fai, warisan tanah Fadak dan perang Jamal. Tentu saja sumber sunni relatif lembut mengisahkan episode ini. Namun kitab otoritatif kaum sunni Sahih Bukhari mencatat Fatimah meninggal dunia hanya 6 (enam) bulan setelah meninggalnya Nabi SAW. Begitu cepat, begitu muda (27 tahun), ada apakah?

Namun, walaupun paham kesukuan nampak jelas, tidaklah benar jika kita menuduh Abu Bakar dan Umar mengklaim kekhalifahan untuk kemegahan kelompoknya, apalagi untuk pribadi. Ada kejadian menarik tentang kesahajaan Umar. Saat Umar datang ke Yerusalem di tahun 637 untuk menerima penyerahan kota dari Sophronius, sang patriach itu geleng kepala, karena Umar, sebagai amirul mukminin penakluk Suriah dan Persia, datang dengan keledai renta dan berbaju tambalan. Apapun yang dilakukan Ubu Bakar dan Umar tetaplah Alloh dan Rasul yang pertama dijadikan inspirasi. Kita bisa berandai-andai, jika Ali yang terpilih menjadi khalifah pertama, mungkin corak islam akan sama sekali lain.

Nasib Ali tambah memilukan dimata pendukungnya manakala setelah Umar wafat ternyata arus utama umat muslim memilih Ustman sebagai khalifah ketiga. Hadits Ghadir Khum semakin tidak bermakna di mata mayoritas sahabat Nabi. Tentu bagi pendukung Ali  semakin menambah skeptis terhadap para sahabat Nabi. Intrik mulai muncul. Pedang mulai diasah. Fragmentasi umat terjadi.

Pada periode kepemimpinan Ali kita mendapati perang saudara fitnah dahsyat sesama muslim, perang Siffin (Mei-Juli 657 Masehi) saat kubu Ali berhadapan dengan kubu Muawiyah, gubernur Syam, yang menolak bai’at kepada Ali karena Ali – setidaknya pendukung Ali – dianggap melindungi pembunuh Ustman bin Affan (khalifah ketiga). Kitab-kitab sejarah mengungkapkan, Ali akhirnya terjebak dalam arbitrase di Daumatul Jandal dan terpaksa menyerahkan jabatan khalifah. Muawiyah secara perlahan memastikan diri sebagai khalifah pertama dinasti Umayah. Sedangkan Ali dan pendukungnya terkungkung dalam pola kehidupan penuh haru dendam di Kuffah (Irak). Puncak dendam itu tatkala Husein bin Ali terbunuh di Karbala oleh detasemen Yazid bin Muawiyah. Kepala cucu Rasulullah itu dipenggal dan dibawa ke Damaskus. Bagi banyak sejarawan tragedi Karbala adalah momen saat sunni-syiah tidak bisa disatukan lagi. Akhirnya, dengan menghubungkan riwayat-riwayat Nabi, mereka mengembangkan ideologi yang musykil : dendam pada sahabat Nabi. Yang lebih musykil lagi kebencian pada para sahabat diungkapkan dalam liturgi mereka. Sampai saat ini.

Perhatikan, konflik politik itu telah membelah komunitas islam menjadi dua. Komunitas Kuffah/Irak (basis syiah) yang terpinggirkan, dan dunia muslim selebihnya (sunni) selaku pemenang. Namun kemenangan politik ini tidak bisa tuntas dan dibayar mahal dengan perpecahan “abadi”. Jamak kita baca dalam sejarah, kaum sunni memberangus syiah dan sebaliknya. Karena syiah dalam posisi inferior yang terus diburu maka munculah ideologi taqiyah (menyembunyikan ke-syiah-annya, Philip K Hitti menterjemahkannya dengan kehati-hatian) demi selembar nyawa. Dalam perjalanan waktu kaum syiah selalu dicap suka bertaqiyah, alias suka berbohong. Padahal sejarahnya tidak sesederhana itu.

Satu hal yang perlu dicatat, kedua komunitas ini, sunni-syiah, karena sikap permusuhan dan terpisahnya jarak, semakin lama, akhirnya mengembangkan tradisi keilmuan, teologi dan liturgi yang semakin hari sulit terjembatani. Walaupun memegang Al-Quran yang sama namun mereka berbeda dalam penggunaan hadist Nabi. Sunni tentu saja nyaman menggunakan hadits Nabi yang bersumber dari sahabat, sedangkan syiah menolak atau setidaknya memilih-milih bahkan mengkritisi. Lantas Syiah mengandalkan hadits yang berasal dari Ahlul Bait (keluarga Nabi), karenanya orang syiah lebih suka disebut bermadzab ahlul bait. Perbedaan sumber hadits inilah yang merupakan salah satu faktor penentu fragmentasi muslim menjadi sunni dan syiah.

Dalam kecamuk politik tentu saja ada orang fanatik (khawarij) yang bersikap oportunis walau kadang lugu. Sebut misalnya Abdullah bin Saba, keturunan Yahudi dari Yaman yang baru masuk islam saat Utsman menjadi khalifah ketiga. Tokoh ini kontroversial, baik ajaran maupun identitasnya. Kaum Syiah umumnya sepakat bahwa bin Saba adalah fiktif, kalaupun mengakuinya sebagai fakta maka bin Saba dianggap ekstrem (gullat) yang dinyatakan sesat oleh Syiah sendiri. Sedangkan Sunni dengan berbagai argumen menyatakan ia fakta.

Terlepas dari fiktif atau fakta, saat terjadi krisis politik, tokoh oportunis dan fanatik (khawarij) semacam bin Saba tentu banyak. (Tiada beda dengan kondisi saat krisis Suriah di era modern ini). Bin Saba didaulat oleh beberapa kalangan Sunni sebagai pendiri madzab syiah, untuk memberi kesan bahwa syiah itu bentukan Yahudi, dengan demikian akan mengesahkan klaim mereka : “syiah bukan islam!” Bagi saya klaim ini kurang valid. Mengapa? Apa mungkin pendukung Ali yang melihat langsung kenabian, yang jumlahnya ribuan, mendukung ahlul bait, mempercayai begitu saja mualaf kemarin sore yang membawa ajaran kontroversial, misal konon bin Saba pernah berujar bahwa “engkaulah Engkau” suatu pernyataan yang menuhankan Ali, yang karena itu Ali sendiri konon pernah mengusir Abdullah bin Saba ke Madain. Saya lebih percaya bahwa klaim imamah/kepemimpinan Ali, salah satunya, karena hadits Ghadir Khum yang kita ulas diatas.

Satu lagi yang perlu dicatat, memunculkan kembali narasi tentang Abdullah bin Saba bisa jadi mempunyai tujuan mulia. Setidaknya ada anggapan bahwa sahabat Nabi, baik yang pro Tsaqifah maupun pro Ali, adalah orang-orang baik yang dijamin masuk surga. Tiadalah mungkin orang-orang baik berantem, pastilah ada orang-orang munafik yang meniupkan fitnah. Dan, bin Saba, yang ekstrim tetapi lugu, yang Yahudi, tentu tepat sekali jika dijadikan kambing hitam. Tidak diragukan bahwa sahabat Nabi adalah orang baik, namun tentunya kita berpendapat : politik adalah politik, orang baikpun tentu punya kepentingan politik. Ini fakta, dulu maupun sekarang.

Kesimpulan : tegas saya sampaikan bahwa fragmentasi madzab raksasa (giant secte) dalam islam ini bermula dari fragmentasi politik, karenanya ia sah sebagai madzab otentik dalam islam, sebetapapun banyaknya perbedaan yang menyelimuti keduanya. Jika cara beragama kita masih dengan nuansa saling menjatuhkan dan tidak mampu keluar dari kerangka kisruh politik puak Arab, maka tentu sungguh kasihan. Orang bijak berkata, ketuklah banyak pintu agar kelak kita bisa menemukan pintu diri sendiri yang menentramkan, pintu kesunyian. Tentu sunyi dari konflik dan pertumpahan darah yang tentu sudah ketinggalan zaman.

Bagi penganut syiah, saya hendak bertanya, apakah pintu surga hanya bisa terbuka jika anda gigih mencaci dan menghinakan sahabat Nabi dan pendukung politiknya? Apakah Alloh SWT begitu kaku sehingga hanya membuka pintu surga jika anda aktif mencaci dan menghujat mereka? Apakah tidak ada tafsir lain tentang kekisruhan politik periode awal kekhalifahan? Bagi saya sungguh ironis. Bagi penganut sunni, bolehlah saya berpesan, anda mempunyai saudara yang kalah sejak awal, adakah sedikit simpati untuk mereka?. Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun