Dimana Ali? Beliau tidak hadir karena masih mengurus jenazah Nabi. Seandainya Ali ikut serta ke Tsaqifah kemungkinan besar Ali akan terpilih sebagai khalifah. Karena sudah menjadi tipikal sahabat mulia, mereka tidak akan mengajukan dirinya sendiri. Ali yang pendiam, tulus dan berasal dari Quraisy tentu kandidat yang pas untuk ditampilkan. Tetapi Ali tidak ikut. Namun dari Thabari dan sumber-sumber terpercaya sesungguhnya dalam pertemuan di Tsaqifah banyak pihak yang mengusulkan agar Ali dibai’at sebagai khalifah. Entah mengapa justru Abu Bakar yang dilantik, tentu atas promosi dari Umar dan beberapa orang muhajirin Mekkah lainnya.
Apakah Ali selanjutnya tidak menuntut haknya terhadap kekhalifahan? Sumber sunni mengatakan, Ali santun sekali, sehingga tidak secara eksplisit menuntut haknya. Hanya memang Ali diriwayatkan pernah berkata, ”mereka berhujah dengan pohon kenabian namun mereka meninggalkan buahnya.” Lain lagi dengan sumber syiah, disitu diceritakan Ali menuntut haknya dengan tegas kepada Abu Bakar.
Dua hari setelah pelantikan Abu Bakar, ada peristiwa yang oleh sumber syiah dipercaya telah benar-benar terjadi, yaitu penggerebegan rumah Fatimah (putri Nabi sekaligus istri Ali). Saat kaum muhajirin dan anshar melantik Abu Bakar, Ali dan beberapa orang kepercayaannya, termasuk Zubair bin Awwam, berkumpul di rumah Fatimah, membahas masalah pelantikan Abu Bakar. Konon Umar mendengar pertemuan tersebut. Lantas atas perintah Abu Bakar, Umar membawa satu regu pasukan untuk menggerebeg rumah Fatimah dengan maksud agar mereka membai’at Abu Bakar. Terjadi sitegang. Dalam klimaknya, masih menurut sumber syiah, Umar mendobrak pintu dan memukul perut Fatimah sehingga pingsan dan keguguran. Inilah salah satu episode yang selalu didramatisir kaum syiah untuk membenci sahabat Nabi, selain episode lain seperti masalah fai, warisan tanah Fadak dan perang Jamal. Tentu saja sumber sunni relatif lembut mengisahkan episode ini. Namun kitab otoritatif kaum sunni Sahih Bukhari mencatat Fatimah meninggal dunia hanya 6 (enam) bulan setelah meninggalnya Nabi SAW. Begitu cepat, begitu muda (27 tahun), ada apakah?
Namun, walaupun paham kesukuan nampak jelas, tidaklah benar jika kita menuduh Abu Bakar dan Umar mengklaim kekhalifahan untuk kemegahan kelompoknya, apalagi untuk pribadi. Ada kejadian menarik tentang kesahajaan Umar. Saat Umar datang ke Yerusalem di tahun 637 untuk menerima penyerahan kota dari Sophronius, sang patriach itu geleng kepala, karena Umar, sebagai amirul mukminin penakluk Suriah dan Persia, datang dengan keledai renta dan berbaju tambalan. Apapun yang dilakukan Ubu Bakar dan Umar tetaplah Alloh dan Rasul yang pertama dijadikan inspirasi. Kita bisa berandai-andai, jika Ali yang terpilih menjadi khalifah pertama, mungkin corak islam akan sama sekali lain.
Nasib Ali tambah memilukan dimata pendukungnya manakala setelah Umar wafat ternyata arus utama umat muslim memilih Ustman sebagai khalifah ketiga. Hadits Ghadir Khum semakin tidak bermakna di mata mayoritas sahabat Nabi. Tentu bagi pendukung Ali semakin menambah skeptis terhadap para sahabat Nabi. Intrik mulai muncul. Pedang mulai diasah. Fragmentasi umat terjadi.
Pada periode kepemimpinan Ali kita mendapati perang saudara fitnah dahsyat sesama muslim, perang Siffin (Mei-Juli 657 Masehi) saat kubu Ali berhadapan dengan kubu Muawiyah, gubernur Syam, yang menolak bai’at kepada Ali karena Ali – setidaknya pendukung Ali – dianggap melindungi pembunuh Ustman bin Affan (khalifah ketiga). Kitab-kitab sejarah mengungkapkan, Ali akhirnya terjebak dalam arbitrase di Daumatul Jandal dan terpaksa menyerahkan jabatan khalifah. Muawiyah secara perlahan memastikan diri sebagai khalifah pertama dinasti Umayah. Sedangkan Ali dan pendukungnya terkungkung dalam pola kehidupan penuh haru dendam di Kuffah (Irak). Puncak dendam itu tatkala Husein bin Ali terbunuh di Karbala oleh detasemen Yazid bin Muawiyah. Kepala cucu Rasulullah itu dipenggal dan dibawa ke Damaskus. Bagi banyak sejarawan tragedi Karbala adalah momen saat sunni-syiah tidak bisa disatukan lagi. Akhirnya, dengan menghubungkan riwayat-riwayat Nabi, mereka mengembangkan ideologi yang musykil : dendam pada sahabat Nabi. Yang lebih musykil lagi kebencian pada para sahabat diungkapkan dalam liturgi mereka. Sampai saat ini.
Perhatikan, konflik politik itu telah membelah komunitas islam menjadi dua. Komunitas Kuffah/Irak (basis syiah) yang terpinggirkan, dan dunia muslim selebihnya (sunni) selaku pemenang. Namun kemenangan politik ini tidak bisa tuntas dan dibayar mahal dengan perpecahan “abadi”. Jamak kita baca dalam sejarah, kaum sunni memberangus syiah dan sebaliknya. Karena syiah dalam posisi inferior yang terus diburu maka munculah ideologi taqiyah (menyembunyikan ke-syiah-annya, Philip K Hitti menterjemahkannya dengan kehati-hatian) demi selembar nyawa. Dalam perjalanan waktu kaum syiah selalu dicap suka bertaqiyah, alias suka berbohong. Padahal sejarahnya tidak sesederhana itu.
Satu hal yang perlu dicatat, kedua komunitas ini, sunni-syiah, karena sikap permusuhan dan terpisahnya jarak, semakin lama, akhirnya mengembangkan tradisi keilmuan, teologi dan liturgi yang semakin hari sulit terjembatani. Walaupun memegang Al-Quran yang sama namun mereka berbeda dalam penggunaan hadist Nabi. Sunni tentu saja nyaman menggunakan hadits Nabi yang bersumber dari sahabat, sedangkan syiah menolak atau setidaknya memilih-milih bahkan mengkritisi. Lantas Syiah mengandalkan hadits yang berasal dari Ahlul Bait (keluarga Nabi), karenanya orang syiah lebih suka disebut bermadzab ahlul bait. Perbedaan sumber hadits inilah yang merupakan salah satu faktor penentu fragmentasi muslim menjadi sunni dan syiah.
Dalam kecamuk politik tentu saja ada orang fanatik (khawarij) yang bersikap oportunis walau kadang lugu. Sebut misalnya Abdullah bin Saba, keturunan Yahudi dari Yaman yang baru masuk islam saat Utsman menjadi khalifah ketiga. Tokoh ini kontroversial, baik ajaran maupun identitasnya. Kaum Syiah umumnya sepakat bahwa bin Saba adalah fiktif, kalaupun mengakuinya sebagai fakta maka bin Saba dianggap ekstrem (gullat) yang dinyatakan sesat oleh Syiah sendiri. Sedangkan Sunni dengan berbagai argumen menyatakan ia fakta.
Terlepas dari fiktif atau fakta, saat terjadi krisis politik, tokoh oportunis dan fanatik (khawarij) semacam bin Saba tentu banyak. (Tiada beda dengan kondisi saat krisis Suriah di era modern ini). Bin Saba didaulat oleh beberapa kalangan Sunni sebagai pendiri madzab syiah, untuk memberi kesan bahwa syiah itu bentukan Yahudi, dengan demikian akan mengesahkan klaim mereka : “syiah bukan islam!” Bagi saya klaim ini kurang valid. Mengapa? Apa mungkin pendukung Ali yang melihat langsung kenabian, yang jumlahnya ribuan, mendukung ahlul bait, mempercayai begitu saja mualaf kemarin sore yang membawa ajaran kontroversial, misal konon bin Saba pernah berujar bahwa “engkaulah Engkau” suatu pernyataan yang menuhankan Ali, yang karena itu Ali sendiri konon pernah mengusir Abdullah bin Saba ke Madain. Saya lebih percaya bahwa klaim imamah/kepemimpinan Ali, salah satunya, karena hadits Ghadir Khum yang kita ulas diatas.
Satu lagi yang perlu dicatat, memunculkan kembali narasi tentang Abdullah bin Saba bisa jadi mempunyai tujuan mulia. Setidaknya ada anggapan bahwa sahabat Nabi, baik yang pro Tsaqifah maupun pro Ali, adalah orang-orang baik yang dijamin masuk surga. Tiadalah mungkin orang-orang baik berantem, pastilah ada orang-orang munafik yang meniupkan fitnah. Dan, bin Saba, yang ekstrim tetapi lugu, yang Yahudi, tentu tepat sekali jika dijadikan kambing hitam. Tidak diragukan bahwa sahabat Nabi adalah orang baik, namun tentunya kita berpendapat : politik adalah politik, orang baikpun tentu punya kepentingan politik. Ini fakta, dulu maupun sekarang.