Mohon tunggu...
Margianta Surahman Juhanda Dinata
Margianta Surahman Juhanda Dinata Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hubungan Internasional Angkatan 2013 - Universitas Paramadina * Kepala Divisi Kajian Hubungan Internasional - HIMAHI Paramadina * Co-Initiator dan Juru Bicara Gerakan Muda FCTC Untuk Indonesia * Dewan Penasehat Paramadina MUN Club

Selanjutnya

Tutup

Politik

Inklusivitas HAM dalam Kedaulatan Negara

17 Agustus 2015   19:48 Diperbarui: 17 Agustus 2015   20:02 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari ini, Indonesia sedang merayakan 70 tahun kemerdekaannya dari para penjajah. Sudah 70 tahun pula Indonesia sudah menikmati kedaulatan penuh atas seluruh tanah air serta bangsanya. Memang betul, banyak cobaan yang telah menguji kedaulatan Indonesia yang direnggut dengan susah payah oleh para Founding Parents (saya tidak sebutkan Founding Father karena banyak pula pahlawan wanita yang berperan dalam kemerdekaan Indonesia). Akan tetapi bila kita bercermin ke sejarah Indonesia di masa lalu, tentu kita bisa mempertanyakan satu hal. Apakah nilai HAM sudah memiliki inklusivitas yang cukup dalam konsep kedaulatan Indonesia? Oleh karena itu dalam menyambut hari kemerdekaan ini, saya akan membahas mengenai inklusivitas penegakkan HAM dalam kedaulatan negara secara umum.

Landasan Nilai HAM

Secara konsep, pada hakikatnya HAM adalah hak paling mendasar yang sepatutnya dimiliki oleh semua orang tanpa mengenal suku, ras, agama, maupun status sosialnya. Hak-hak substansial ini termasuk ke dalam hak hidup, hak untuk bebas berekspresi, hak untuk menyampaikan pendapat, hak dan hak-hak lainnya yang berbasiskan nilai-nilai kebebasan individu. Meskipun didefinisikan sebagai hak yang tidak bisa dipisahkan dari siapapun, HAM masih harus dikonstruksikan dan dikodifikasikan di dalam sebuah sistem legal[1]. Ini bertujuan agar nilai HAM dapat memiliki landasan hukum, sehingga implementasinya dapat diawasi dan diadvokasikan dengan adil. Sejarah dari landasan hukum HAM sendiri bukanlah hal yang baru di dunia. Untuk meneliti sejarah landasan hukum dari HAM kita bisa melihat Magna Carta tahun 1251 yang berisi tuntutan terhadap raja Inggris saat itu, King John, untuk melindungi masyarakatnya dari siksaan feodal[2]. Setelah itu terjadi Glorious Revolution yang memunculkan Bill of Rights tahun 1689, kemerdekaan US atas Inggris dengan munculnya Virginia Declaration of Rights dan Declaration of Independence tahun 1776, kemudian Revolusi Perancis tahun 1789 juga telah ikut mewarnai sejarah dunia sebagai bukti bahwa HAM telah menjadi objek yang diperjuangkan oleh masyarakat dari berbagai negara di dunia terhadap pemerintahnya.

Setelah pasca Perang Dunia II tahun 1945, HAM sudah diakui secara global dalam hukum internasional[3]. Buktinya antara lain adalah dibuatnya UN Convention bertajuk Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948. Beberapa bukti lainnya adalah pengakuan secara universal terhadap HAM melalui Geneva Conventions tahun 1949, dibentuknya UNHCHR dan peradilan ad hoc untuk kriminal internasional, hingga dibuatnya Rome Statute tahun 1998. Semua landasan hukum ini dibuat untuk memastikan bahwa implementasi HAM dari seluruh lapisan masyarakat dapat betul-betul direfleksikan dan diakomodasi dalam setiap kebijakan pemerintah negara di dunia. Ada beberapa instrumen fundamental HAM yang sudah terkonfirmasi universalitasnya, yaitu UDHR tahun 1948 dan International Covenants of Human Rights tahun 1966 . Kemudian ada pula Vienna Declaration and Programme of Action tahun 1993 sebagai instrumen semi-legal dari nilai HAM[4]. Kini, pertanyaannya adalah implementasi dari berbagai macam konsep dan landasan HAM yang sudah disebutkan di atas. Tentu, negara selaku pemangku kebijakan adalah pihak yang paling memiliki kuasa untuk mewujudkan dan merepresentasikan nilai HAM dalam kebijakan-kebijakannya. Itu adalah idealnya. Tetapi kini, pertanyaannya adalah bagaimana bila suatu negara melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat negaranya atas nama kedaulatan negara? Apakah dengan begitu HAM masih dapat ditegakkan? Bila bisa, bagaimanakah batasan yang ideal di antara keduanya?

Konteks Kedaulatan Negara

Pada awalnya sejarah konsep dari kedaulatan negara berawal dari Treaty of Westphalia yang membawa perdamaian pada perang 30 tahun di Eropa[5]. Semenjak perjanjian ini dibuat, maka munculah konsep yang berlanjut hingga masa kini bahwa sebuah negara memiliki kedaulatan untuk bebas dari intervensi negara lain. Akan tetapi pelanggaran HAM atas nama kedaulatan negara telah banyak terjadi. Tidak hanya terhadap negara lain, bahkan terhadap masyarakat negaranya sendiri. Dalam kasus ini, negara-negara pelanggar HAM mengklaim bahwa karena kedaulatan negara maka mereka berhak menentukan kebijakan internal dari negara mereka, bahkan jika itu melanggar HAM terhadap masyarakat negaranya sendiri[6]. Di sinilah letak di mana konsep kedaulatan negara dan HAM bertentangan. Konsep kedaulatan negara versi Westphalia menyebutkan bahwa negara tidak boleh terkena pengaruh otoritatif dari negara lain/organisasi internasional tertentu. Dalam arti kata lain, kedaulatan negara versi Westphalian memberikan batasan pada kemampuan negara lain untuk melindungi HAM di luar perbatasan negara mereka. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana berbagai negara tidak berdaya untuk melindungi dan memperjuangkan HAM dari masyarakat Korea Utara yang tertindas pemerintahnya karena Korea Utara mengisolasi dirinya atas nama kedaulatan negara. Kemudian tidak menutup kemungkinan juga, bahwa sebuah negara bisa saja melakukan pelanggaran atas kedaulatan negara lain dengan dalih HAM untuk menutupi kepentingannya. Sebagai studi kasus, ini sekilas tercermin pada tulisan saya sebelumnya yaitu mengenai  kasus intervensi militer US terhadap berbagai negara di Timur Tengah dalam konteks memperjuangkan HAM dan demokrasi di Timur Tengah yang sesungguhnya demi menutupi kepentingan US di wilayah tersebut[7].

Setelah melihat penjelasan di atas, mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa secara historis di segi konsep dan landasan hukumnya, HAM telah memiliki instrumen-instrumen yang kuat untuk menjelaskan implementasinya yang ideal. Akan tetapi bila kita melihat kenyataan yang terjadi, maka jawaban mengenai implementasi HAM tidak bisa seidealis dari konsep dan landasan hukum dari HAM. Pelanggaran HAM baik dalam bentuk negara terhadap individu negara lain, atau bahkan negara terhadap individu negaranya sendiri masih seringkali kita temukan. Semua ini terjadi karena kini konsep dari HAM sendiri telah berubah menjadi instrumen kepentingan, baik untuk kepentingan domestik (pelanggaran HAM negara terhadap masyarakat negaranya sendiri dengan dalih kedaulatan negara) maupun untuk kepentingan internasional (pelanggaran kedaulatan negara lain dengan dalih HAM).

Inklusivitas HAM dalam Kedaulatan Negara

Pada dasarnya, untuk memastikan penegakkan HAM direpresentasikan dengan adil dan tidak disalahgunakan sebagai instrumen kepentingan, maka negara harus merekonstruksi kembali persepsinya mengenai konsep dari kedaulatan negara. Seharusnya negara tidak lagi mengadopsi konsep kedaulatan mutlak dan autarki seperti yang dicerminkan kedaulatan versi Westphalia, tetapi seharusnya tiap negara bersifat lebih moderat dalam menyikapi kedaulatan negaranya. Terminologi moderat di sini bisa berarti dalam beberapa hal.

Pertama, tiap negara harus memandang konsep kedaulatan negara secara moderat dalam artian tidak hanya sebagai titik kulminasi kekuasaannya, namun juga sebagai faktor determinasi yang menjadi poin pertimbangan rumusan kebijakannya. Ini berlaku baik dalam kebijakan tingkatan domestik maupun internasional. Dengan memandang kedaulatan negara sebagai sebuah faktor determinasi kebijakan, maka sebuah negara akan menjadi lebih hati-hati dalam merumuskan tingkat representasi kebijakan-kebijakannya terhadap nilai-nilai substansial HAM tertentu yang telah disetujui oleh masyarakat internasional.

Kedua, konsep kedaulatan negara harus moderat dalam artian bahwa konsep kedaulatan negara tidak hanya merepresentasikan kepentingan nasionalnya atas nama negara, akan tetapi juga merepresentasikan kepentingan masyarakatnya atas nama individual. Ini dimaksudkan agar negara tidak bersifat utilitarian serta sewenang-wenang dalam menjalankan kebijakannya, sehingga akhirnya membuat negara mengabaikan kepentingan individu warga negaranya. Hak individual sendiri adalah unsur krusial dalam konsep penegakkan HAM, di mana setiap orang memiliki porsian hak yang sama tanpa pelanggaran dan diskriminasi apapun, meskipun itu harus dengan atas nama pembelaan kedaulatan negara sekalipun. Rangkaian konsep kedaulatan negara ini juga harus disokong oleh gerakan-gerakan advokasi yang aktif dan kritis dari berbagai macam lapisan masyarakat seperti LSM dan media, sehingga kinerja penegakkan HAM suatu negara dapat terus diawasi secara domestik oleh para policy influencer dan stake-holder yang berkaitan dengan upaya penegakkan HAM tersebut.

Terakhir, konsep kedaulatan negara harus moderat dalam artian bahwa masing-masing negara harus menyadari bahwa kedaulatan negaranya secara internasional tidak bersifat autarki/mutlak, tetapi bersifat partikular. Ketentuan ini adalah konsekuensi dari sebuah negara yang memang bertujuan untuk turut bergabung dan bergaul dalam konstelasi internasional secara adil. Sehingga mau tidak mau harus, tiap negara harus merelakan sebagian kedaulatannya kepada pihak di luar negara. Entah itu kepada negara lain, maupun beberapa institusi internasional seperti organisasi antarpemerintah/non-pemerintah. Bukti atas kerelaan negara untuk menyerahkan sebagian kedaulatan negaranya pun harus dipastikan dalam perjanjian dan hukum internasional tertentu yang mengikat. Apalagi mengingat proses ini akan lebih mudah, karena seperti yang sudah dijelaskan di atas, instrumen-instrumen dan landasan hukum untuk menegakkan HAM sudah terhitung cukup lengkap. Saat sebuah negara sudah merelakan sebagian kedaulatan negaranya melalui perjanjian dan hukum internasional kepada negara atau institusi internasional tertentu, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menciptakan pengawasan yang adil dan transparan terhadap implementasi penegakkan HAM di suatu negara. Dengan tercapainya ketiga poin konsep kedaulatan moderat di atas, maka niscaya keseimbangan antara inklusivitas penegakkan HAM dan kedaulatan negara akan mencapai titik idealnya.

 

[1] Forsythe, David P. Human Rights in International Relations,. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.

[2] http://www.livescience.com/2458-magna-carta-changed-world.html

[3] Forsythe. Cambridge.

[4] Ibid.

[5] Allen Sens and Peter Stoett, Global Politics: Origins, Currents, Directions, 3rd ed. (Toronto: Nelson, 2005), 48.

[6] Joshua S. Goldstein and Jon C. Pevehouse, International Relations: 2006-2007 Edition, 7th ed. (New York: Pearson, 2007), 288.

[7] http://www.democracynow.org/seo/2011/5/11/noam_chomsky_the_us_and_its

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun