Mohon tunggu...
Margaretha Lina
Margaretha Lina Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Praktek Psikologi Klinis RS Ken Saras Praktek Psikolog di Biro Psikologi Psikologya Center

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cegah Anak Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Saat Pandemi

12 Oktober 2020   10:30 Diperbarui: 12 Oktober 2020   10:39 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apakah kekerasan seksual hanya dilakukan oleh orang dewasa?. Ternyata anak-anak juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual. Menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 memberikan batasan usia anak yakni seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 

Isi Pasal itu menyatakan; “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan  dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Semarang bulan Januari – Agustus 2020 tercatat 18 kasus kekerasan terhadap anak dan 22 % diantaranya pelakunya berusia dibawah 18 tahun. 

Kasus kekerasan seksual dengan pelaku anak juga mengalami peningkatan signifikan dimana tahun 2019 ada 1 anak pelaku kekerasan seksual, sedangkan sampai Agustus tahun 2020 sudah ada 6 anak pelaku kekerasan seksual.

Perilaku kekerasan seksual yang dilakukan anak terhadap anak yang lain mengakibatkan munculnya konsekuensi hukum. Anak harus berhadapan dengan hukum. 

Hal ini tentunya akan menimbulkan problem baru di antaranya anak akan terganggu sekolahnya, terganggu sosialisasi dengan teman-temannya karena label “penjahat” yang akan diterimanya, dan anak harus terpisah dengan keluarga apabila terbukti melakukan tindak pidana.

Sangat sulit untuk mengetahui ciri-ciri anak yang melakukan kekerasan seksual, bisa jadi anak yang di rumah terlihat baik dan penurut, bisa melakukan kekerasan seksual. 

Sebaliknya anak yang terlihat nakal, pembangkang sebenarnya mempunyai sifat yang baik. Bisa jadi kenakalan terjadi karena bentuk protes terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu dimungkinkan sebagai wujud mencari perhatian dari keluarganya.

Situasi pandemi saat ini mempengaruhi pola kehidupan manusia. Anak-anak yang biasanya bersekolah, saat ini harus melakukan proses pembelajaran dari rumah. 

Tuntutan belajar dari rumah dengan menggunakan sistem daring membuat orang tua harus memfasilitasi anak dengan gawai dan internet. Rasa ingin tahu anak-anak yang tinggi  membuat mereka dengan bebas menjelajah dunia maya melalui internet. 

Aktivitas anak-anak di luar rumah juga terbatas karena harus berada di rumah dan menjaga jarak. Sedangkan, tidak semua orang tua mampu untuk mendampingi anak ketika belajar dari rumah karena harus bekerja.

Sepuluh tahun berpraktik sebagai psikolog klinis, saya menilai bahwa yang melatar belakangi anak menjadi pelaku kekerasan seksual adalah antara relasi orang tua dan anak yang kurang baik.  

Anak pelaku kekerasan seksual biasanya memiliki masalah dengan atau salah satu orang tua. Anak yang mendapatkan kekerasan baik fisik maupun verbal dan anak yang mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari orang sehingga memiliki persepsi yang kurang baik terhadap orang tua. Pengawasan dari orang tua yang kurang membuat anak tidak memiliki kontrol untuk perilaku mereka.

Rendahnya tingkat pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan seksualitas juga berpotensi membuat anak menjadi pelaku kekerasan seksual. Anak-anak yang putus sekolah menjadi rentan karena kurangnya Pendidikan dan pengetahuan mereka mengenai hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, serta kurang memiliki pengetahuan untuk memecahkan masalah yang ditemui.

Penggunaan gawai dan internet yang tidak terkontrol menyebabkan anak dengan leluasa mendapatkan video porno atau konten yang mengandung pornografi. Pada anak-anak yang memasuki usia remaja, ketika ia tidak mampu untuk mengontrol dorongan seksualnya sebagai akibat sering melihat video porno, maka nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.

Menurut Erik Erikson  ( Sandtrock, 2007) dalam teori perkembangan psikosial,  masa remaja merupakan masa anak memasuki tahap Identitas Vs Kebingungan Peran. 

Pada tahap ini, anak akan mencari jati diri yang sebenarnya dan cenderung mencari teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Memasuki usia remaja, anak mulai muncul keinginan untuk mencoba hal baru, memiliki  emosi yang belum stabil, dan mulai muncul hasrat seksualnya. 

Teman menjadi sosok yang lebih penting daripada orang tua dan keluarga. Pergaulan anak yang bebas dan salah memilih teman juga dapat memicu melakukan kekerasan seksual. 

Ketika ada teman yang mengajak nonton video dan mulai bercerita tentang hubungan seksual, maka dapat muncul keinginan untuk seperti temannya dan ingin mencoba hal tersebut.  

Bagaimana mencegah anak menjadi pelaku kekerasan seksual?

Kita dapat melakukan pencegahan supaya anak tidak menjadi pelaku kekerasan seksual terutama di saat Pandemi, diantaranya dengan meningkatkan komunikasi dengan anak, buat anak merasa nyaman bercerita dengan orang tua. 

Pada anak-anak kecil lebih mudah untuk menanyakan dan meminta anak untuk menceritakan aktivitas apa saja yang telah dilakukan pada hari itu. Sebagai contoh kita bisa menanyakan pada anak kita “Apa saja kegiatan hari ini?”, "Bermain dengan siapa saja?", "Mainnya seperti apa? Apa yang dirasakan saat bermain?" dan lain sebagainya, sehingga orang tua lebih mudah untuk mengidentifikasi apakah anak mereka menjadi korban atau bahkan pelaku dari kekerasan seksual.  

Pada anak yang lebih besar atau  remaja, dapat dilakukan, orang tua bisa berperan sebagai teman dan menjadi tempat yang nyaman untuk bercerita. Mendengarkan curahan hati anak dan mencoba memahami keinginan dari diri anak.  Ketika mereka mengungkapkan hal yang di luar dugaan, coba untuk menerima tanpa menghakimi.

Tak kalah penting adalah dengan mengajarkan anak tentang pendidikan seksualitas sejak dini.  Anak mendapatkan penjelasan tentang seks itu apa, hubungan seks itu apa, seperti apa itu seks, apa yang terkait dengan aktivitas seksual, dan siapa yang boleh melakukan, dan dengan cara seperti apa boleh melakukan seksual. Pastikan hal itu dikomunikasikan sesuai dengan usia anak.

Pengawasan orang tua dalam penggunaan gadget juga perlu dilakukan terlebih dalam situai pandemi anak mempunyai waktu lebih leluasa untuk memakai gadget. Sepakati waktu penggunaan gadget dan apa yang boleh dilihat dan tidak boleh dilihat.

Misalnya orang tua harus tahu password untuk membuka gadget anak, penggunaan gadget hanya untuk kepentingan sekolah, untuk games atau hiburan hanya pada hari atau jam tertentu saja.  Selain itu awasi perilaku anak dalam bermedia social, dengan siapa anak berteman di media social dan cara berkomunikasi dengan teman-temanya.

Referensi :

Huraerah, Abu, MSi;  (2018). Kekerasan Terhadap Anak. Bandung. Nuansa Cendekia

Santrock, J (2007). Perkembangan anak jilid 2. Jakarta : Erlangga

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan  dan Anak Kabupaten Semarang (2020)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun