Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Electra Complex dan Perkembangan Psikoseksual Perempuan

17 Desember 2021   23:14 Diperbarui: 1 Januari 2023   09:10 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.fnp.com/blog/how-does-a-daughters-role-change-over-time

Electra complex dan Perkembangan Psikoseksual Perempuan

(peringatan materi berisi tema seksualitas untuk dewasa)

Perkembangan psikoseksual dalam perspektif Psikodinamika sangat menarik karena bisa digunakan sebagai kerangka memahami perkembangan dan dinamika psikologi dalam manusia. Tulisan ini menguraikan konsepsi Psikoanalisa Sigmund Freud dalam menjelaskan perkembangan psikoseksual dan identitas feminim pada perempuan. Karakter Electra dalam Mitos Oresteia juga diulas sebagai perluasan wawasan tentang dinamika hubungan Ibu dan Anak perempuan, serta Ayah dan Anak perempuan.

Oedipus complex feminim
Pada anak perempuan, Freud menjelaskan Oedipus complex feminim, yang jauh lebih rumit daripada Oedipus complex pada anak laki-laki.

Pada masa pra-Oedipal (Oral dan Anal), perkembangan seksualitas anak perempuan dan anak laki-laki berjalan sama. Dimulai fase Oral (0-1 tahun) dimana bayi akan melekat pada Ibunya sebagai figur pemuas kebutuhan makan minum melalui mulutnya, serta rasa aman dan nyaman. Lalu berlanjut ke fase Anal (1-3 tahun) dimana bayi akan belajar pemuasan kebutuhan anal dan pengelolaan buang air (toilet training). Di masa pra-Oedipal, baik anak laki-laki dan perempuan akan lekat dan selalu berminat pada Ibunya. Maka, Ibu adalah obyek minat seksual pertama anak.

Dalam konsepsi Psikoanalisa Freud, anak perempuan memulai perkembangan seksualitasnya dari minat sesama jenis (homoseksual) pada Ibunya. Berbeda dengan anak laki-laki yang memulai perkembangan seksualitasnya dari minat heteroseksual dengan ibunya (kelak minat heteroseksualitas ini akan diproyeksikan anak laki-laki dari Ibu ke pasangannya di masa remaja-dewasa).

Dalam perkembangan seksualitas tipikal perempuan, anak perempuan belajar mengalihkan minat homoseksualitasnya menjadi heteroseksualitas. Menurut Freud, peristiwa ini terjadi ketika masuk masa Phallic (3-5 tahun). Anak perempuan menyadari bahwa dirinya tidak memiliki penis seperti ayahnya, seorang laki-laki. Karena ia tidak memiliki penis, maka anak perempuan selalu merasa kurang/ tidak utuh (penis envy).

Menurut Alfred Adler, salah satu murid Freud di kajian Psikodinamika, penis adalah simbol pemuliaan kekuatan dan hak lebih laki-laki (valorization of masculine virility and privileges). Terutama dalam masyarakat Patrilineal, secara khas hak dan kuasa yang dimiliki laki-laki jauh lebih besar dibandingkan perempuan. Dampaknya, perbedaan perlakuan, fasilitas dan pengasuhan pada anak laki-laki dan anak perempuan mulai terasa sejak usia ini.

Akibat perbedaan ini, anak perempuan cenderung membenci atau menolak orang tua sejenis karena dianggap inferior (Ibunya - karena tidak punya penis/kuasa) dan lebih menginginkan dekat dengan orang tua yang berlawanan jenis kelamin (ayahnya - dianggap lebih lengkap dengan penis). Selanjutnya, dijelaskan dalam Oedipus complex feminim, anak perempuan berkompetisi dengan ibunya untuk mendapatkan perhatian dan waktu ayahnya.

Penyelesaian atau resolusi alamiah Oedipus complex feminim adalah ketika anak perempuan menerima perbedaan jenis kelamin, bahwa ia tidak bisa mendapatkan penis/kuasa dan ayahnya. Lalu, anak perempuan akan mengidentifikasi dirinya dengan ibunya sebagai strategi untuk bisa mendapatkan perhatian dari ayahnya (laki-laki). Nilai-nilai yang anak perempuan tiru dari Ibunya akan menjadi superego (moralitas) feminim baginya. Keinginannya untuk memiliki penis dirubah menjadi keinginan memiliki anak (lebih menginginkan bayi laki-laki), dan minat pada ayahnya akan diproyeksikan ke figur laki-laki lain/pasangannya di masa remaja/dewasanya. Inilah yang mendasari perkembangan minat heteroseksual pada anak perempuan.

Jika anak perempuan mengalami kemandekan (fiksasi) dalam hubungan dengan ayahnya, dampak jangka panjangnya, anak perempuan hanya akan tertarik secara seksual dengan laki-laki yang mirip ayahnya. Jika complex-nya tidak teresolusi, ia akan berkembang menjadi perempuan yang selalu iri dan mencari strategi untuk mendominasi laki-laki, bisa dengan cara berlebih seduktif/menggoda (harga diri tinggi) atau cara berlebih submisif/menurut (harga diri rendah). Bisa juga terjadi kemandekan transisi, atau tidak terjadi perubahan dari minat homoseksualitas ke heteroseksualitas pada anak perempuan.

Kompleksitas lain dalam perkembangan seksualitas perempuan adalah anak perempuan perlu belajar mentransfer pemuasan seksual klitoris (masa kanak) menjadi genitalia vaginal (masa remaja-dewasa). Fase phallic secara khas akan terjadi pemuasan klitoris, sebagai ciri seksualitas infantil (infantile) yang superficial terjadi ketika anak menyentuh tubuh pribadinya (masturbasi). Pemuasan klitoris juga berarti pra-erotik, dimana seluruh bagian tubuh bisa memberikan pemuasan seksual hingga titik tertentu (polymorphously preverse). Misalkan, sensasi geli karena dikelitik tubuhnya bisa terjadi di berbagai bagian tubuh anak - seluruh tubuh menjadi titik pemuasan seksualitas infantil.

Fase pemuasan genital dianggap telah mencapai kematangan (maturation), karena pemuasan seksual telah terfokus (specific erotic areas) dengan melibatkan penetrasi pada alat kelamin primer vagina serta telah memiliki tujuan orgasmik dan reproduksi. Idealnya, proses transformasi pemuasan klitoris menjadi genitalia dimulai masa remaja. Jika tidak terjadi, perempuan bisa terfiksasi dengan kepuasan klitoris/infantil atau mandek dengan masturbasi.

Electra complex dalam Psikodinamika
Oedipus complex feminim dikaji lebih lanjut oleh Carl Jung, murid Freud, dengan konsepsi Electra complex. Dalam mitologi Yunani, Electra adalah putri Raja Agamemnon dan Ratu Clytemnestra. Electra membujuk kakak laki-lakinya Orestes, untuk membunuh ibunya dalam rangka membalas dendam pembunuhan Agamemnon yang dilakukan oleh ibu mereka Clytemnestra dan kekasihnya, Aegisthus. Namun, konsepsi Electra complex sebenarnya tidak disetujui oleh Freud. Bahkan, selanjutnya Jung juga tidak terlalu membahas ini dalam teori Psikologi Analitik (Analytic Psychology), ia lebih menjelaskan dinamika anima dan animus sebagai struktur architypes terkait dengan seksualitas dan gender.

Mitos Electra dalam Oresteia
Raja Agamemnon pulang dari perang Trojan ke kerajaan Mycenae dengan membawa isteri barunya Cassandra dan 2 anak mereka. Raja Agamemnon sebenarnya telah memiliki Ratu Clytemnestra, mereka memiliki anak Iphiginia, Electra, Laodika, Orestes dan Chrysothemis. Selama 10 tahun menunggu Agamemnon berperang, Clytemnestra memiliki kekasih gelapnya Aegisthus. Dan kini, Clytemnestra dengan Aegisthus berencana balas dendam pada Agamemnon  yang telah berperilaku jahat pada mereka. Clytemnestra muda dulu direbut dari suami pertamanya Raja Tantalus dari Pisa, bahkan dengan tega Agamemnon membunuh anak bayi laki-lakinya dari Tantalus. Agamemnon juga tega mengkorbankan anak mereka Iphiginia ke dalam rangka menyelamatkan dirinya sendiri dari kemarahan (karena kesalahan Agamemonon yang sudah menyinggung Artemis). Aegisthus juga membenci Agamemnon karena telah membunuh ayahnya.

Clytemnestra dan Aegisthus membunuh Agamemnon dan Cassandra. Mengetahui bahwa ayahnya dibunuh Ibunya, Electra meradang dan membenci Ibunya. Segera setelah mereka berkuasa di Mycenae, Aegisthus ingin menghabisi anak-anak Agamemnon. Tapi Clytemnestra meminta agar anak-anaknya tetap dibiarkan hidup. Electra dinikahkan dengan petani yang tidak pernah berani menyentuhnya; sedangkan sisanya karena masih kecil diungsikan ke kerajaan Phocis. Bertahun-tahun Electra memendam dendam dan ingin membunuh Ibunya. Hingga satu waktu, Orestes yang sudah tumbuh dewasa pulang melayat makam ayahnya Agamemnon dan tidak sengaja bertemu kakaknya Electra. Mengetahui adik laki-lakinya telah pulang, Electra menceritakan kepahitannya dan meminta Orestes agar mau membunuh Ibu mereka untuk membalaskan dendam ayah mereka. Sebenarnya, Orestes sempat ragu untuk membunuh Ibunya, tapi akhirnya mau karena pengaruh ramalan Dewa Apollo. Lalu dengan berbagai tipu daya, akhirnya Clytemnestra dan Aegisthus dibunuh oleh pedang Orestes.

Setelah kejadian itu, keduanya dimakan rasa bersalah dan kesedihan luar biasa karena membunuh Ibunya sendiri. Bahkan Dewi Furies mendengarkan permohonan dari Clytemnestra dari alam maut untuk membalaskan dendamnya dan mengejar Orestes. Karena selalu dikejar-kejar Furies, hidup Orestes tidak tenang dan ia hampir gila. Akhirnya Orestes pergi ke Dewi Athena dan meminta bantuannya. Athena membuat sebuah persidangan untuk memeriksa perkara Orestes. Persidangan dipimpin oleh Athena sebagai Hakim dan diikuti oleh 12 orang awam dari kota Athena sebagai Juri yang memberikan pertimbangan keadilan pada hakim. Inilah persidangan pertama di Yunani kuno. Argumen pembelaan Orestes dilakukan oleh Dewa  Apollo, sedangkan pembelaan Clytemnestra dilakukan oleh Furies. Dalam persidangan, Athena memutuskan Orestes tidak perlu dihukum mati. Lalu ia meminta Furies memaafkan Orestes. Dengan begitu Furies (artinya dendam) berubah nama menjadi Eumenides (artinya memaafkan). Sejak saat itu di Yunani kuno, semua perkara diselesaikan di persidangan dengan menggunakan pertimbangan keadilan; bukan melalui pertarungan yang beralaskan balas dendam.

Analisis perkembangan psikoseksual dalam Electra complex
Dalam mitos Oresteia, Electra mengalami keterpisahan (kemungkinan penelantaran) baik oleh ayah dan ibunya (ayah pergi perang, sedang ibunya memiliki kekasih baru). Hal ini menyebabkan tidak terbentuknya triangulasi relasi (incestuous) antara Ibu-Anak-Ayah, yang secara alamiah terjadi di fase phallic.

Electra mengidealisasi ayahnya karena Agamemnon absen dalam masa perkembangannya dan hampir tidak pernah mengasuh Electra sejak kecil. Ditambah lagi, kehadiran Aegisthus membuat Electra merasa diabaikan Ibunya. Keseluruhan pengalaman merasa diabaikan, kecewa dan marah membuatnya menjadi perempuan yang selalu berduka, tidak bahagia dan selalu mengasihani diri (self-pity). Ia cemburu dan terobsesi kebencian pada Ibunya membuatnya ia selalu berencana membunuh Ibunya. Namun Electra tidak pernah merasa cukup berdaya sebagai perempuan untuk melakukan pembunuhan sendiri. Fiksasi balas dendam Electra merupakan kebenciannya pada Ibunya yang telah menelantarkannya. Hingga pada akhirnya, Electra menggunakan adik laki-lakinya untuk bisa membunuh Ibunya.

Berbeda dengan Oedipus, Electra tidak melakukan incest dengan ayahnya. Kebenciannya pada Ibunya adalah berdasarkan kemarahan dan protes, bukan untuk menggantikan posisi Ibunya.

Relasi Ibu dan anak perempuan
Dalam konsepsi psidinamika, relasi antara Ibu dan anak perempuannya akan terjadi dinamika relasi cinta-benci; dimulai dari kelekatan, berubah menjadi kekecewaan dan devaluasi/kompetisi, lalu idealnya diresolusi dengan kedekatan baru dan identifikasi.

1. Kelekatan: Ibu sebagai pengasuh anak yang utama akan menjadi obyek cinta anak perempuan yang pertama. Perasaan aman dan nyaman dari Ibu akan membuat anak perempuan selalu ingin berlama-lama dalam perlindungan dan kenyamanan tubuh Ibunya. Dalam fase ini, relasi Ibu-anak perempuan sangat dekat.

2. Kekecewaan dan devaluasi/kompetisi: Melalui masa kanak, anak perempuan akan menyaksikan bahwa perempuan diperlakukan berbeda dari laki-laki. Laki-laki dianggap lebih kuat, yang memiliki kendali/kuasa, serta bebas atau tidak terbatasi dengan banyak aturan. Berbeda dengan perempuan, dianggap lebih lemah, dikendalikan oleh figur laki-laki pemimpin keluarga, serta hidupnya lebih banyak dibatasi oleh aturan berperilaku dan bersikap. Si anak perempuan menyadari, ia dan ibunya adalah perempuan yang akan selalu dianggap lebih lemah dan banyak dikontrol. Anak menyalahkan Ibunya, bahkan bisa muncul sikap meremehkan (devaluasi) atau berkompetisi dengan Ibunya untuk mengkonfirmasi opininya bahwa Ibunya adalah figur yang lemah. Ia akan lebih tertarik dekat atau meniru ayahnya (figur laki-laki). Ayah yang jarang hadir di rumah, cenderung diidealisasi anak sebagai ayah "baik" (fantasi yang tidak sesuai kenyataan). Sedangkan Ibu yang biasanya lebih tampak dan hadir sehari-hari mengasuh di rumah, jadi lebih kelihatan realistis "buruk"-nya. Pada titik ini, bisa terjadi bias dikotomi pikiran anak "ayah baik tapi ibu menyebalkan". Relasi anak perempuan dan ibu cenderung menjadi kurang baik karena diwarnai protes, menyalahkan atau meremehkan. Walaupun demikian, anak perempuan tetap membutuhkan dan menuruti ibunya sebagai pengelola kebutuhan seluruh keluarga (mother is the weaker god than the father). Sebagai akibatnya, bisa muncul dinamika relasi cinta-benci antara Ibu dan anak.

3. Resolusi: ketika anak perempuan belajar bahwa ia harus menerima kondisinya sebagai perempuan (tidak ada yang bisa ia lakukan atas kondisinya sebagai perempuan), maka anak perempuan akan kembali mendekat pada Ibu. Anak perempuan menyadari bahwa Ibu adalah figur perempuan yang paling dekat dengannya; tempatnya belajar dan bertanya tentang bagaimana menjadi perempuan, mengetahui cara-cara menyelesaikan persoalan dan memahami nilai-nilai moralitas yang selama ini telah disampaikan Ibu padanya. Jika Ibu cepat menyadari terjadinya fase kembali ini, ia akan menerima anaknya tanpa sisa rasa permusuhan dari fase sebelumnya. Namun, jika ibu kurang mampu mengelola emosinya, sehingga anak secara berkepanjangan bermusuhan dengan Ibunya (prolonged hatred), hal ini bisa memicu munculnya persoalan psikologis anak di masa perkembangannya kelak.

Jika terjadi persoalan dalam struktur keluarga, misalkan perpisahan sehingga figur ibu kosong/absen di rumah; anak perempuan biasanya akan terpanggil menggantikan peran Ibunya. Sebagai akibatnya, ia akan mengalami kematangan semu (pseudo-maturity) atau dewasa terlalu cepat.

Relasi Ayah dan anak perempuan
Pada kondisi tipikal di masyarakat patrilineal, anak perempuan melihat Ayahnya sebagai figur yang berkuasa, memberikan perlindungan dan aturan di rumah (father as the first god). Maka ketika masuk masa phallic, dalam pengasuhan perbedaan jenis kelamin mulai diperkenalkan dan anak perempuan mulai menyadari bahwa dia diperlakukan berbeda karena dia perempuan. Laki-laki dewasa seperti ayahnya diberikan kekuasaan lebih, maka ia sangat tertarik pada ayahnya. Anak perempuan jadi menginginkan ayahnya (incestuous desire) serta apa yang dimiliki ayahnya sebagai laki-laki.

Fase menjauh dari Ibu dan mendekat pada ayah adalah penting dalam perkembangan psikoseksual heteroseksual anak perempuan. Ayah perlu tampak menjadi figur yang menarik minat anak perempuan, karena inilah yang kelak akan membuka jalan baginya untuk mempelajari feminisme dari Ibunya. Kelak fase menjauh dari Ibu perlu diresolusi dalam fase mendekat kembali dengan Ibu - artinya Ibu juga perlu konsisten hadir bagi anak perempuannya sepanjang dinamika relasi cinta-benci.

Namun, jika Ibu menghalangi fase menjauh dari Ibu (tidak terjadi triangulasi Ibu-Anak-Ayah, atau membuat anak perempuan selalu lekat dengan Ibunya), maka anak perempuan bisa menjadi sangat tergantung pada Ibu dan kesulitan individuasi. Sebaliknya, jika identifikasi dengan ayah terjadi terlalu kuat jika dibandingkan dengan fase kembali ke Ibu, anak perempuan bisa berkembang menjadi perempuan dominan, over-intelek, mengagungkan kekuatan maskulin yang dirasa dimilikinya.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak perempuan juga sangatlah penting. Ayah perlu hadir dan menjadi realistis dalam hidup anak perempuannya. Dalam kondisi absen, anak akan menciptakan fantasi tentang ayahnya; dan idealisasi ayah yang terlalu ekstrim bisa membuat anak lebih kuat membenci keterbatasan dirinya dan Ibunya sebagai perempuan. Jika terjadi kondisi dan perasaan lemah berkepanjangan, anak perempuan bisa berkembang dewasa menjadi pribadi yang submissive, merasa tidak berdaya jika tidak ada yang memberikan bantuan dan perlindungan, serta terjebak dalam patriarki dimana ia berpikir hanya laki-laki yang bisa berkuasa dan bisa membantunya sebagai perempuan.

Simpulan
Ketidakhadiran Agamemnon dalam hidup Electra, membuat Electra mengembangkan idealisasi dan cinta semu tentang ayahnya. Fiksasi kebencian Electra pada Ibunya, menunjukkan relasi yang kurang baik antara Ibu dan anak perempuannya. Dari mitos ini, kita bisa memahami dinamika relasi orang tua dan anak perempuan. Saya belum menemukan padanannya di mitos Indonesia.

Dalam konsepsi Psikodinamika, relasi antara Ibu dan anak perempuannya akan mengalami dinamika relasi cinta-benci, lekat-menjauh-mendekat kembali yang terjadi secara alamiah. Kuasa lebih yang dimiliki laki-laki dewasa, membuat anak perempuan berminat mendekat pada ayahnya dan menjauh dari Ibunya yang dianggap lebih lemah. Fase menjauh dengan Ibu diharapkan akan diresolusi dengan fase kembali mendekat pada ibu. Transisi fase-fase ini dianggap penting bagi anak perempuan untuk belajar minat heteroseksual dari ayah, serta belajar menjadi pribadi matang dan identitas feminim dari Ibu.

Perlu dipahami konsepsi Psikodinamika ini hanyalah salah satu cara memahami perkembangan seksualitas dan pribadi perempuan, dan tidak disarankan dijadikan cara utama memahami manusia. Terlepas dari berbagai kontroversi dan kritik pada teori perkembangan psikoseksual yang dikembangkan Sigmund Freud dan pengikutnya, namun Psikodinamika telah memberikan wawasan mengenai dinamika kejiwaan mendalam seseorang, dalam prosesnya menjadi pribadi yang unik.

Referensi:
De Beauvoir, S. (2010). The second sex. Knopf.
Halberstadt-Freud, H. C. (1998). Electra versus Oedipus: femininity reconsidered. International Journal of Psychoanalysis, 79, 41-56.
Pfaus, J. G., Quintana, G. R., Mac Cionnaith, C., & Parada, M. (2016). The whole versus the sum of some of the parts: toward resolving the apparent controversy of clitoral versus vaginal orgasms. Socioaffective Neuroscience & Psychology, 6, 32578.
Wikipedia (2021). Oresteia diakses November dari https://en.wikipedia.org/wiki/Oresteia#The_Eumenides

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun