Sayangnya, cara pandang dualisame tidak setara ini bisa menghasilkan sikap merendahkan, kasar dan mengeksploitasi tubuh manusia.
Lebih buruk dialami tubuh orang yang lemah secara sosial. Pada orang yang dianggap lebih rendah atau tidak berdaya, tubuhnya jadi semakin terdegradasi dan rentan dimanipulasi. Misalkan, tubuh seorang Budak/Bawahan akan dianggap sangat rendah bahkan bisa dilihat setara dengan benda (atau bahkan binatang) oleh seorang yang menganggap diri Tuan/Majikan.
Dampak lainnya, juga bisa muncul atribusi kesalahan/dosa hanya pada tubuh. Misalkan, masyarakat yang berpandangan bahwa tubuh perempuan bisa membuat orang jadi berdosa karena melihatnya dan menginginkannya, membuat aturan agar tubuh perempuan harus dikontrol dan ditutupi sedemikian rupa. Bukannya mengendalikan sumber dosa dari pikiran orang yang telah salah merendahkan kemuliaan kesatuan tubuh-jiwa perempuan, malahan terobsesi mengatur pakaian perempuan karena distorsi berpikir seakan-akan tubuh perempuanlah sumber dosa.
Atribusi salah ini sangat merugikan, karena mengabaikan niat jahat yang justru sebenarnya muncul dari berpikir - jiwa. Cara pandang salah ini semakin mereduksi sumber kejahatan hanyalah kedagingan tubuh. Alih-alih menyelesaikan masalah ke akarnya dengan menarget dan merubah kesalahan berpikir pada pelaku yang berpikir mesum, malah jadi menyalahkan si pemilik tubuh.
Alangkah baiknya, jika sejak muda, anak laki-laki dan perempuan diajak berpikir bahwa baik tubuh dan jiwanya adalah satu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan. Maka keduanya berharga, tubuh dan jiwa adalah luhur. Tidak bisa melihat tubuh hanya sebagai obyek dan terlalu terfokus pada jiwa saja. Kendali atas tubuh dan pikiran pribadi berada di tangan diri sendiri, maka hak dan tanggungjawab atas kedaulatan tubuh dan jiwa setiap manusia, baik perempuan dan laki-laki harus dihargai.
Bukankah temuan ilmu Neurosains sudah menjelaskan bahwa kesadaran manusia sangat terkait dengan kerja organ otak dan kimia tubuh? Tidak ada jiwa yang bekerja sendiri tanpa ditopang proses-proses jasmaniah, artinya kesehatan jiwa hanya bisa terjadi jika kita mengupayakan keluhuran tubuh manusia. Bahkan Ilmu Psikologi sudah menjelaskan bahwa kesan dan pesan yang muncul dalam proses mental manusia dikendalikan awal oleh proses inderawi di tubuh manusia. Pada titik tertentu, tubuhlah yang mengendalikan alam berpikir manusia.
Menghargai tubuh artinya kita menjaga jiwa. Jika ada yang merendahkan, memanipulasi dan merusak tubuh, artinya merendahkan, memanipulasi dan merusak jiwa. Itu adalah penistaan.
Anak yang dibesarkan memiliki harga diri yang positif, akan berkembang menjadi orang yang menghargai tubuh dan jiwanya; maka ia tidak akan membiarkan orang lain meremehkan, menjarah tubuhnya dan memanipulasi mentalnya.
Setara dengan harapan penghargaan atas kemampuan berpikir/intelek, maka tubuh manusia juga harus dihargai. Tubuh yang luhur tidak boleh diperlakukan rendah, seperti dicemooh, dilecehkan, disentuh tanpa diinginkan serta dikenakan tindakan seksual yang tidak diinginkan (misalkan siulan, komentar, tatapan, gesture dan bercanda seksual). Tubuh juga tidak boleh dikenai kekerasan seksual dengan alasan apapun.
Jika kita merusak tubuh orang lain, maka kita merusak jiwanya. Jika ada orang menjarah tubuhku, maka jiwaku juga menderita. Demi keluhuran tubuh dan jiwaku, aku harus menghargai keluhuran tubuh dan jiwa orang lain.
Kebahagiaan adalah upaya timbal balik
Tujuan membangun hubungan adalah menciptakan kebahagiaan timbal balik bagi pihak-pihak yang berelasi. Cara mendasar mempertahankan hubungan yang sehat adalah memastikan masing-masing pihak merasa aman, nyaman dan dihargai satu-sama lain. Artinya, tujuan, kebutuhan, dan upaya masing-masing pihak perlu dianggap setara dan sama-sama penting. Oleh karena itu, dalam upaya mencapai kebahagiaan bersama, semua pihak perlu mampu, dihargai haknya dan diberikan kesempatan menyampaikan keterlibatannya secara jelas.