Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Aman dari Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

7 September 2021   12:28 Diperbarui: 9 September 2021   16:53 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.theguardian.com

Di Indonesia, pemahaman pelecehan seksual di tempat kerja saat ini sangat terbatas; bahkan hampir tidak cukup untuk menjelaskan fenomena ini ditangani di Indonesia. Selama ini kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami tenaga kerja jarang terungkap ke publik dan sering masih sulit diintervensi secara benar.

Namun ada beberapa survei yang dapat digunakan sebagai indikasi fenomena kasus pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia. Kompas (2013) menuliskan bahwa di Jakarta, sekitar 80.000 orang tenaga kerja, 90% dari angka tersebut merupakan tenaga kerja wanita dimana 75% tenaga kerja wanita tersebut melaporkan telah mengalami kekerasan seksual. Namun, apakah kita di Indonesia telah mampu mengendalikan pelecehan seksual di tempat kerja?

Apa pelecehan seksual di tempat kerja?
Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi dimana reaksi seperti itu adalah masuk akal dalam situasi dan kondisi yang ada, dan tindakan tersebut mengganggu kerja, dijadikan persyaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan.

Berikut adalah beberapa perilaku yang bisa tergolong pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011):

1. pendekatan intim/seksual yang tidak diinginkan.

2. permintaan hubungan intim/seksual yang tidak proporsional.

3. pelecehan dengan kata-kata yang bermakna seksual.

4. dijanjikan hadiah/promosi jika melayani permintaan seksual seseorang.

5. diancam dipecat/dipermalukan jika tidak melayani permintaan seksual seseorang.

Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara umum, ada lima bentuk pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011):

1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.

2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual

3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir

4. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya

5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus- menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.

Pelecehan seksual pada tenaga kerja perempuan
Komnas Perempuan pada tahun 2012 menemukan terdapat 216.156 kasus kekerasan seksual di Indonesia; di antaranya diterima oleh tenaga kerja wanita sebanyak 2.521 kasus (Priharseno, 2013). Kasus pelecehan seksual di tempat kerja yang paling sering dialami tenaga kerja perempuan berada di dalam pabrik yang dilakukan oleh atasan mereka, atau rekan kerja laki-laki (Priharseno, 2013). 

Salah satu ancaman yang digunakan oleh pelaku adalah kontrak kerjanya tidak akan diperpanjang jika tidak mau memenuhi permintaan seksual atasannya (Priharseno, 2013). Tidak hanya itu, para tenaga kerja juga dapat menjadi obyek pelecehan seksual di luar pabrik, seperti: ketika para tenaga kerja itu pulang pada malam hari karena lembur dan kantor tidak menyediakan transportasi yang aman sehingga rentan terkena pemerkosaan (Priharseno, 2013).

Pelecehan seksual yang terjadi pada tenaga kerja perempuan beragam modusnya, mulai dari pelecehan fisik yang mengarah ke perbuatan seksual (seperti mencium, mencubit, menepuk dan lain-lain), pelecehan secara lisan, pelecehan isyarat (seperti: bahasa tubuh yang mengarah hubungan seksual), pelecehan tertulis atau gambar porno, serta pelecehan psikologis misalnya ajakan berhubungan seksual secara terus menerus dan tidak diinginkan (Herdiyani, 2013).

Banyak tenaga kerja perempuan belum memahami bahwa pelecehan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan terhadap perempuan (Herdiyani, 2013). Tenaga kerja perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual biasanya merasa terhina, malu dan takut melapor. 

Pada beberapa kasus, jika ia memutuskan untuk melapor, bisa jadi malah mendapatkan berbagai bentuk intimidasi bahkan ancaman dipecat oleh atasan dan pihak perusahaan karena dianggap merusak nama baik perusahaan (Herdiyani, 2013).

Pelecehan seksual pada tenaga kerja laki-laki
Pelecehan seksual tidak memandang jenis kelamin. Laki-laki juga bisa mendapatkan pelecehan seksual baik oleh sesama laki-laki maupun pelaku perempuan. Survey oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menemukan ada sekitar 11% laki-laki dari 62.224 responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual (Pusparisa, 2019).

Namun, beban korban pelecehan seksual laki-laki mendapatkan stigma yang lebih berat. Sering kali, mereka tidak dipercaya telah mengalami pelecehan seksual. Pada masyarakat seksis dan konservatif, laki-laki dianggap harus kuat dan tidak mungkin dilecehkan, kalau sampai dilecehkan artinya dia "bukan laki-laki sejati". Akibatnya, setelah mengalami pelecehan seksual, korban justru malu mengakui kejadian yang dialaminya, karena sulit menerima mengapa dia sebagai laki-laki bisa menjadi korban pelecehan seksual. 

Bahkan tidak jarang, ketika pun korban laki-laki berusaha terbuka dan meminta pertolongan, justru mendapatkan cemooh kejantanannya sebagai laki-laki. Alih-alih mendapatkan dukungan dan pertolongan, korban laki-laki malah bisa semakin terpuruk karena stigma dan perlakuan buruk masyarakat atas pengalaman pelecehan seksualnya tersebut. 

Korban laki-laki cenderung akan menutup pengalaman pelecehan seksual yang dialaminya. Sebagai akibatnya, kita tidak pernah benar tahu berapa jumlah laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia. Kita juga kurang mampu memberikan pertolongan yang mereka butuhkan tepat pada waktunya.

Siapa pelaku dan korban?
Pelaku biasanya adalah orang yang merasa memiliki kekuasaan lebih atas orang yang lain (korban). Dalam konteks kerja, yang ditemukan sering melakukan pelecehan adalah atasan/orang dengan kekuasaan lebih pada bawahan/orang yang memiliki sedikit kekuasaan (Easteal & Judd, 2008).

Korban pelecehan seksual di tempat kerja dapat dibagi menjadi korban langsung dan korban sekunder. Korban langsung adalah orang yang dikenakan pelecehan seksual dan mengalami kerugian secara langsung. Korban sekunder adalah orang terdampak dirugikan karena berada dalam lingkungan beresiko pelecehan seksual, misalkan: rekan kerja yang ketakutan masuk kerja karena mendengar ada perempuan yang dilecehkan di kantor.

Walaupun yang paling banyak dilaporkan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja adalah perempuan oleh laki-laki (Wilson & Thompson, 2001; Yeater, & O'Donohue, 1999); namun pelaku dan korban tidak selalu berlainan jenis kelamin, contohnya: ditemukan pelecehan yang dilakukan sesama perempuan di tempat kerja.

Dampak pelecehan seksual di tempat kerja
Ditemukan beberapa pengaruh psikologis, finansial, professional dan sosial yang dapat dialami korban pelecehan seksual di tempat kerja:
1. Korban menjadi obyek pelecehan seksual di depan orang banyak. Kelompok sekitarnya berpandangan bahwa ia layak dijadikan obyek pelecehan seksual, atau layak mendapatkan konsekuensi tertentu pada karirnya (dipecat atau diturunkan pangkatnya).
2. Korban digunjingkan, digosipkan atau diperlakukan buruk oleh lingkungannya.
3. Korban mengalami penurunan kinerja dan stress, misalkan: lebih sering absen.
4. Korban mengalami pencemaran nama baik di lingkungan kerja.
5. Korban kehilangan sumber pendapatan atau karir.
6. Kehidupan pribadi korban menjadi perbincangan orang banyak, maka kehidupan pribadinya terancam, misalkan: korban dan keluarga dicemooh pula di luar tempat kerja/komunitas.
7. Korban kehilangan teman, rekan kerja dan relasi sosial di lingkungan kerja.
8. Korban mengalami kehilangan kepercayaan pada komunitas dan tempat kerja.
9. Korban mengalami gangguan psikologis yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan fisik dan mental.

Namun perlu dipahami, bahwa yang menjadi korban bukan hanya orang yang dikenai pelecehan seksual, namun juga orang-orang di sekelilingnya di lingkungan kerja tersebut atau disebut sebagai korban sekunder. Korban sekunder merasakan ketidaknyamanan bekerja karena melihat rekan kerjanya mengalami kekerasan seksual; misalkan: melihat rekan perempuan dilecehkan oleh rekan-rekannya perempuan lain merasa risih dan tidak nyaman. Bahkan, akibat pelecehan seksual di lingkungan kerja juga turut merugikan mereka; misalkan, menurunnya kinerja tenaga kerja membuat produktivitas kerja perusahaan akan terganggu.

Lebih lanjut, nama baik instansi kerja juga terpengaruh jika peristiwa pelecehan seksual di tempat kerja diketahui orang-orang yang bekerja di dalamnya dan publik; misalkan: peristiwa pelecehan memberikan label negatif pada instansi dimana kejadian tersebut terjadi (Chan, Chow, Lam, & Cheung, 2008; Firestone & Harris, 2003).

Apakah perusahaan perlu menanggapi kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungannya?

Sering korban yang melaporkan kejadian pelecehan seksual justru tidak mendapatkan bantuan tapi malah dilabel pembuat onar (trouble maker). Akibatnya, si korban yang melaporkan justru dibungkam, diminta agar tidak mempersoalkan pelecehan seksual yang dialaminya karena takut merusak nama baik instansi. 

Pembungkaman dan pelabelan ini justru akan berpengaruh buruk. Pada korban, tidak mendapatkan keadilan dari tindak pelanggaran yang dialaminya, dan juga kejahatan yang telah terjadi justru dimaklumi/dibiarkan terjadi tanpa mendapatkan konsekuensi hukuman.

Instasi kerja yang tidak menyelesaikan persoalan pelecehan kerja di lingkungannya secara tuntas justru akan mengalami persoalan berkelanjutan. Berikut adalah persoalan psikologis yang dapat terjadi di lingkungan kerja yang tidak tuntas menyelesaikan pelecehan seksual:
1. menurunnya produktivitas kerja
2. meningkatnya konflik antar orang/tim kerja
3. menurunnya kepuasan kerja
4. turn-over tingi, atau kehilangan tenaga kerja
5. meningkatnya absen tenaga kerja
6. budaya kekerasan dan pelecehan seksual subur di lingkungan kerja
7. mahalnya biaya yang harus ditanggung (pengacara-peradilan jika terjadi tuntutan pidana, perawatan gangguan kesehatan) karena masalah berlarut-larut

Memperbaiki lingkungan kerja dan sikap pemakluman pelecehan seksual di tempat kerja

Pelecehan seksual dapat terjadi di berbagai konteks kerja, seperti: pabrik, sekolah/universitas, dan berbagai bidang bisnis. Industri jasa dan hiburan cukup menghadapi resiko pelecehan seksual yang cukup tinggi (Yeater, & O'Donohue, 1999). Misalkan, demi bisa mendapatkan pekerjaan menjadi artis, harus mau melayani keinginan seksual calon Bos; atau pelayan diminta mau melayani keinginan seksual tamu karena dijanjikan uang/hadiah.

Pelecehan seksual di tempat kerja dapat terjadi dalam relasi antar pribadi di dalam konteks lingkungan kerja; artinya, pelaku dan korban biasanya saling mengenal satu dengan yang lain, misalkan: atasan-bawahan, antara kolega, pemberi layanan-pengguna layanan. Namun dapat juga dilakukan oleh orang yang tidak dikenal yang juga berada di lingkungan kerja, misalkan: tamu hotel.

Ada beberapa persoalan budaya kerja yang dapat menjadi faktor resiko terjadinya pelecehan seksual:
1. Perbedaan kekuasaan yang terlalu besar antara atasan dan bawahan; atau antara customer dan pelayan/penyedia jasa; atau antara senior dan junior. Perbedaan kekuasaan yang sangat mencolok disertai lemahnya jalur komunikasi terbuka untuk menyuarakan hak dan persoalan pekerja, membuat kekerasan bisa digunakan oleh pelaku (si pemilik kuasa) menjadi cara menekan korbannya, termasuk menggunakan kekerasan seksual di tempat kerja (Easteal & Judd, 2008).
2. Budaya permisif terhadap lelucon seksual. Sikap membiarkan dan memaklumkan terjadinya lelucon dan komentar seks yang melecehkan orang lain secara seksual, serta membuat perilaku seksual yang menyertai (misalkan sentuhan, pandangan); walaupun sudah tergolong merugikan/menyakiti/merendahkan orang lain (Samuels, 2003).

Jika hal-hal ini terjadi, maka perlu segera dilakukan intervensi/upaya memperbaiki faktor-faktor resiko di lingkungan kerja. 

Untuk mengurangi jarak kekuasaan yang terlalu besar, maka saluran komunikasi antara pekerja dan managemen harus dibuat terbuka dan luwes. Pekerja seharusnya memiliki saluran komunikasi yang dapat dipercayai ketika perlu melaporkan telah terjadinya tindak pelecehan seksual (tidak akan mendapatkan intervensi yang tidak adil dari pengelola/manajemen). 

Saluran komunikasi ini harus dikelola bersama baik pihak manajemen dan pekerja. Perusahaan juga perlu memiliki sistem aturan yang jelas mengenai disiplin kerja yang adil dan non-diskriminatif, serta menerapkan konsekuensi pelanggaran yang tegas bagi pelaku pelecehan seksual.

Sedangkan untuk merubah budaya permisif pelecehan seksual, perlu dilakukan pelatihan berkala untuk melatih kapasitas pekerja untuk mengidentifikasi dan mengelola secara tepat persoalan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungannya. 

Sikap seksis dan konservatif perlu dibongkar karena biasanya digunakan oleh pelaku untuk menjustifikasi perilakunya. Pelatihan kepekaan kekerasan dan gender, serta pencegahan pelecehan seksual sebaiknya diberikan bagi seluruh tenaga kerja untuk memahami peran, hak dan tanggungjawabnya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi semuanya.

Seluruh pekerja harus berusaha mencegah agar faktor beresiko tidak berkembang menjadi perilaku pelecehan seksual yang akan merugikan korban dan nama baik institusi kerjanya.

Simpulan
Pelecehan seksual di tempat kerja adalah problem yang banyak dihadapi perusahaan. Tren di dunia menunjukkan penambahan jumlah kasus pelecehan yang dilaporkan di tiap tahunnya; hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengembangkan kepekaan terhadap isu ini. Masih perlu dilakukan kajian mengenai problem ini agar dapat memahami dan cara-cara penanganannya yang paling efektif.

Pelecehan seksual bukan hanya menghancurkan korban namun juga merusak instansi kerjanya. Oleh karena itu, pemrosesan kasus pelecehan seksual seharusnya menjadi kepentingan baik untuk tenaga kerja dan perusahaan. 

Perusahaan perlu membangun kebijakan untuk mencegah pelecehan seksual di tempat kerja serta tata cara pemrosesan kasus pelecehan seksual jika terjadi kasus di instansi tersebut. Cara-cara membungkam korban dan abai terhadap kasus pelecehan seksual justru akan menjerumuskan perusahaan dalam lingkungan kerja yang tidak sehat, membuat pekerja menjadi tidak aman dan masyarakat menilai perusahaan gagal serta tidak mampu memberikan perlindungan dasar bagi pekerjanya. 

Perusahaan perlu lebih peka dalam meningkatkan wawasan dan kepekaan tentang persoalan kekerasan dan gender. Pelatihan berkala untuk mencegah pelecehan seksual juga penting dilakukan agar setiap orang di tempat kerja memahami peran, hak dan tanggungjawabnya dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi semua.

Penulis:

Margaretha, pengajar dan peneliti dari Universitas Airlangga.

Tulisan ini telah dikembangkan penulis menjadi modul pelatihan dan riset Be smart and save at work: Upaya pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja sejak tahun 2015, dan pernah dipublikasi oleh penulis di blog pribadinya

Referensi
-------------, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta.
Bacchi, C., & Jose, J. (1994). Dealing with sexual harassment: Persuade, discipline or punish. Australian Journal of Law and Society 10, 1-13.
Barreiro, S. (2015). Preventing sexual harassment workplace. Diunduh dari sini
Chan, D. K., Chow, S. Y., Lam, C. B., & Cheung, S. F. (2008). Examining the job-related, psychological and physical outcomes of workplace sexual harassment: A meta-analytic review. Psychology of Women Quarterly, 32, 362-376.
Equal Employment Opportunity Commission (2015). "Sexual Harassment". Diunduh dari sini.
Easteal, P., & Judd, K. (2008). "She said, he said": Credibility and sexual harassment cases in Australia. Women's Studies International Forum, 31, 336-344.
Firestone, J. M., & Harris, R. J. (2003). Perceptions of effectiveness of responses to sexual harassment in the US military, 1988 and 1995. Gender, Work and Organization, 10, 43-64.
Hadi, M.S. (2010). Tren pelecehan di tempat kerja meningkat. Tempo online. Diunduh dari sini.
Herdiyani, R. (2013). Lindungi tenaga kerja perempuan Indonesia dari pelecehan seksual (1-2). Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan Kalyanamitra. Diunduh dari sini.
Kemenakertrans & ILO (2011). Pedoman Pencegahan Pelecehan Sekual di Tempat Kerja. Diterbitkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011. Diunduh dari sini.
McDonald, P., Graham, T., & Martin, B. (2010). Outrage management in cases of sexual harassment as revealed in judicial decisions. Psychology of Women Quarterly, 34, 165-180.
Priharseno, Z.N. (2013). 75 Persen tenaga kerja wanita di Jakarta alami kekerasan seksual. Kompas online. Diunduh dari sini.
Pusparisa, Y. (2019). Pelecehan seksual masih menghantui. Diunduh dari sini
Samuels, H. (2003). Sexual harassment in the workplace: A feminist analysis of recent developments in the U.K. Women's Studies International Forum, 26, 467-482.
Thornton, M. (2002). Sexual harassment losing sight of sex discrimination. Melbourne University Law Review, 26, 222-444.
Wilson, F., & Thompson, P. (2001). Sexual harassment as an exercise of power. Gender, Work & Organization, 8, 61-83.
Yeater, E.A., & O'Donohue, W. (1999). "Sexual assault prevention programs: Current issues, future directions, and the potential efficacy of interventions with women". Clinical Psychology Review, 19, 739. doi:10.1016/S0272-7358(98)00075-0. PMID 10520434.
Zugelder, M. T., Champagne, P. J., & Maurer, S. D. (2006). An affirmative defense to sexual harassment by managers and supervisors: Analyzing employer liability and protecting employee rights in the United States. Employee Responsibilities and Rights Journal, 18, 111-122.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun