Ketiga, pengguna pornografi cenderung berpikir secara salah bahwa pasangannya harus selalu segera siap melayaninya secara seksual (sebagaimana digambarkan dalam pornografi, seks bisa instant tanpa ada awalan (fore-play) atau pertimbangan perasaan atau kondisi pribadi pasangan). Padahal dalam relasi berpasangan, untuk bisa mencapai keintiman perlu diawali dengan kondisi perasaan positif yang harus diupayakan bersama. Misalkan, ketika marah/sedih, pasangan normal akan sulit melakukan keintiman. Seharusnya secara alamiah keintiman perlu diperjuangkan bersama dengan berusaha memperbaiki relasi, lalu kembali mengupayakan keintiman seksual. Tapi pada orang yang ketergantungan pornografi, pasangannya yang perasaannya sedang marah/sedih dan tidak bisa intim dengannya justru menjadi tidak menarik, sulit dan menyebalkan. Distorsi berpikirnya bisa membuatnya lebih memilih mengganti keintiman dengan pasangan alaminya menjadi masturbasi dengan pornografi atau sex doll.
Keempat, pengguna pornografi merasionalisasi bahwa konsumsi pornografinya harus diterima oleh pasangannya karena ia tidak selingkuh dengan orang lain. Namun akibat buruk yang bisa terjadi, jika konsumsi pornografi disertai dengan masturbasi, kelamaan keinginan untuk intim bersama pasangan akan perlahan hilang dan tergantikan dengan pornografi dan peralatan porno (sex tools/sex doll) sebagai stimulus supernormal.
Menurut Gottman, sebenarnya jika pornografi digunakan kadang-kadang dan secara proporsional untuk membangun komunikasi sehat tentang seks  dan mengembangkan kehidupan seks pernikahan antar pasangan, maka pornografi bisa memberikan dampak positif dalam kehidupan berpasangan.Â
Namun menurut mereka, kenyataannya hal seperti ini jarang bisa terjadi. Jika pornografi digunakan secara rutin oleh pasangan menikah, dampaknya justru menurunkan kepuasan seks; karena pornografi memfasilitasi kepuasan seksual pengan cara berfantasi dan masturbasi daripada berhubungan intim denken pasangannya. Akhirnya, bisa terjadi, pasangan akan mengalami persoalan keintiman atau problem kepuasan seks jika tidak dirangsang dengan pornografi sebelumnya (terikat dengan pornografi).
Pornografi adalah stimulus supernormal, dimana konsumsi pornografi yang rutin dan disertai dengan masturbasi justru akan menghancurkan kualitas dan kuantitas keintiman antar pasangan.
Pengguna pornografi pun ditemukan bisa mengalami disfungsi seksual (pada laki-laki disfungsi ereksi - erectile dysfunction) ketika bersama pasangan alaminya, tapi tidak jika mengkonsumsi pornografi (Weiss, 2016).Â
Pornografi membuat penggunanya semakin kehilangan kedekatan emosional dengan pasangannya, bahkan pada titik tertentu kehilangan empati pada pasangannya. Ia bisa menggangap tidak membutuhkan pasangannya. Kehilangan empati, keintiman dan keterhubungan inilah yang dapat memunculkan  masalah dalam relasi intim.
Beberapa persoalan relasi yang ditemukan terkait dengan pornografi seperti: kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran pasangan, perselingkuhan, rendahnya kepuasan pernikahan, depresi dan persoalan psikologis lainnya, serta perceraian. Inilah dampak buruk pornografi pada relasi.
Bersambung di Bagian II
Penulis: Margaretha
Pengajar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Sedang menempuh studi lanjut di the University of Melbourne dalam bidang Kesehatan Mental.
Tulisan ini diinspirasi dari proyek dan dokumenter dari Brain Heart World yang berjuang untuk mempromosikan pemahaman bahaya dampak pornografi di masa sekarang. Brain Heart World disusun oleh Fight The New Drug.