Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Berhadapan dengan Keterpurukan Mental (Bagian I)

2 Januari 2021   22:53 Diperbarui: 4 Januari 2021   10:39 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Old man in sorrow oleh Vincent van Gogh

Berhadapan dengan krisis terus-menerus selama pandemi ini bisa jadi membuat kita menjadi lebih adaptif, atau berjuang menjadi adaptif, atau bisa juga membuat jatuh dalam keterpurukan mental. 

Keterpurukan mental atau nervous breakdown, adalah kondisi dimana kapasitas mental seseorang tidak lagi mampu menghadapi tekanan psikis yang dihadapinya sehingga memunculkan persoalan serius dan kegagalan berfungsi hidup sehari-hari. 

Dari munculnya perasaan sedih yang tidak bisa dikendalikan, depresi, hingga munculnya ide bunuh diri. Dari munculnya kemarahan yang sulit dikelola, menjadi gangguan mental seperti curiga-paranoia atau kecemasan, hingga munculnya perilaku yang beresiko mengancam keselamatan diri maupun orang lain. Dalam kondisi terpuruk, seseorang seakan kehilangan kendali atas tubuh, pikiran dan hidupnya. Seakan tubuh dan jiwa menolak untuk menghadapi tuntutan fisik dan beban mental yang selama ini dijalaninya.

Jika kita menghadapi keterpurukan dalam emosi sedih dan takut, apakah yang sebenarnya terjadi? Lalu bagaimana cara kita melampaui krisis ini? Tulisan ini adalah bagian dari refleksi pribadi penulis, serta menguraikan apa, mengapa dan bagaimana memahami keterpurukan mental.

Apa artinya terpuruk secara mental?
Keterpurukan mental bukan istilah klinis, tapi adalah konsep untuk menjelaskan kondisi yang memayungi beberapa persoalan psikologis berat yang tengah dihadapi seseorang, biasanya merujuk pada kondisi gangguan mental depresi atau kecemasan disertai dengan stress tingkat tinggi. 

Artinya, ketika orang mengalami keterpurukan mental, ia membutuhkan bantuan dalam menangani persoalan yang dihadapinya.

Apa gejalanya?
Ketika mengalami keterpurukan mental muncul gejala psikologis, fisik, dan perilaku yang menandai kekalutan yang dialami seseorang, seperti: sedih dan menangis tidak terkendali, gagal menyelesaikan tugas, tidak mampu bekerja, belajar atau melakukan perilaku produktif (sering ijin atau absen), menghindari interaksi sosial, mengisolasi diri atau kemunduran sosial, kesulitan tidur, hilangnya nafsu makan, berbicara tidak runtut/ide melompat hingga halusinasi dan delusi, muncul perilaku ekstrim dan bermasalah (judi, adiksi, perilaku seks beresiko/selingkuh), psikosomatis (penyakit fisik yang muncul karena dipicu stress), kesulitan merawat diri dan kebersihan tubuh. 

Jika kita melihat diri sendiri atau orang di sekitar kita menunjukkan gejala seperti ini, maka penting diarahkan untuk mencari bantuan. Bantuan yang dibutuhkan untuk memahami apa yang tengah terjadi dan bagaimana menyelesaikannya.

Siapa yang beresiko terpuruk?
Manusia akan mengalami berbagai tekanan hidup atau stress sepanjang hidupnya. Ada beberapa jenis stress: eustress, distress dan trauma. Eustress adalah tekanan level ringan yang justru mendorong diri melakukan upaya secara optimal dan termotivasi membangun diri. Distress adalah tekanan yang membuat kita merasa kesulitan dan tidak berdaya. Sedangkan trauma adalah distress tingkat tinggi/berat yang secara signifikan merubah hidup seseorang. 

Setiap orang akan pernah berhadapan dengan salah satu dari tiga jenis stress ini di satu waktu dalam hidupnya. Bagaimana seseorang menghadapi stress akan mempengaruhi kondisi sakit atau sehat dan sejahtera hidupnya.

Siapapun yang mengalami distress kronis berkepanjangan, merasakan kesepian dan kurang/tanpa dukungan sosial yang memadai dalam menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya, maka ia akan beresiko mengalami keterpurukan mental pada satu waktu dalam hidupnya.

Terpuruk karena terlalu lama berusaha kuat
Stress biasanya dihadapi dengan keterampilan pengelolaan stress (coping stress). Biasanya coping stress tumbuh selama perkembangan manusia, belajar dari pengalaman menghadapi satu-per-satu persoalan dari berbagai masalah hidup.

Namun, ada kalanya kemampuan coping yang dimiliki pada satu waktu tidak cukup untuk mengelola persoalan yang tengah dihadapi, misalkan trauma dan akumulasi stress yang tidak terkelola.

Trauma, adalah jenis stress yang suit diantisipasi dan tidak mudah diproses (misalkan kematian tiba-tiba, sakit berat/cacat, perceraian, bencana). Secara khas mengalami peristiwa trauma akan membuat manusia lebih rentan mengalami persoalan psikologis. Berpisah dari orang yang dikasihi secara tiba-tiba, kehilangan sumber penghidupan karena bencana, adalah stress besar yang bisa mengoyak jiwa dan merombak hidup manusia. Masa pandemi ini telah menyebabkan beberapa individu mengalami trauma.

Tidak ada cara mudah menghadapi tekanan sebesar trauma. Penyelesaiannya akan membutuhkan waktu untuk menerima kondisi yang telah berubah dan perlahan berusaha menyesuaikan diri hidup dalam perubahan. Jika tidak mampu menerima dan menyesuaikan, manusia bisa terjebak dengan stress pasca trauma. Artinya, ketika tidak mendapatkan penyelesaian tuntas, maka trauma bisa menjadi akar munculnya keterpurukan mental dan berbagai gangguan kejiwaan manusia.

Kita juga sering berusaha kuat dan mampu menghadapi berbagai tantangan hidup. Berbagai nilai agama, filosofi, ajaran sosial budaya, dan harapan sosial juga memperkuat tuntutan "menjadi kuat". Bahkan ketika diri merasa tidak mampu menghadapi persoalan, kita berusaha terus memacu diri untuk mampu menghadapinya. Kita sering memaksa diri kuat. Kondisi ini dapat melahirkan situasi stress berkepanjangan; dan akhirnya jiwa akan lelah.

Tekanan secara terus-menerus yang tidak terselesaikan secara utuh akan menciptakan akumulasi beban psikologis, sering disebut kewalahan atau burn-out. Jika burn-out tidak tertangani, maka bisa berujung pada keterpurukan dan gangguan kejiwaan. Artinya, keterpurukan mental dapat terjadi ketika kita terlalu memaksakan diri menjadi "kuat" terlalu lama.

Dari sini bisa dipahami, bahwa keterpurukan mental lahir dari patahnya sistem kekuatan diri, terutama ketika kemampuan diri tidak lagi cukup untuk menghadapi tekanan fisik dan mental dari lingkungan. Harapan sosial-budaya dan kecenderungan pribadi yang menuntut diri selalu tampak "kuat" justru semakin beresiko mendorong orang terpuruk mental, karena orang akan mengabaikan tanda-tanda kelelahan dan kewalahan mentalnya. Individu mengabaikan kondisi diri dan kebutuhannya. Bukannya mencari bantuan untuk menyelesaikan persoalannya, malah terus berupaya tampil "kuat", yang kemudian dapat berakhir dengan kejatuhan dan keterpurukan.

Perlu digarisbawahi, bahwa penyangkalan atau penghindaran masalah justru dapat memperbesar masalah. Dalam kondisi terpuruk, kita perlu dibantu untuk mengakui dan menerima keadaan, "bahwa saya tengah terpuruk". Karena dari sikap menerima inilah, kita akan berusaha memahami persoalan yang tengah mengikat emosi kita, dan juga mengakui membutuhkan bantuan.

Emosi Sedih: Tanda membutuhkan bantuan dan memperhatikan diri
Apa yang kita tengah rasakan bisa sangat mempengaruhi alam berpikir dan tindakan kita. Kesedihan adalah salah satu emosi yang menonjol dalam kondisi terpuruk.

Ketika mengalami kekecewaan dimana harapan tidak tercapai atau perpisahan/penolakan/kehilangan sesuatu/seseorang yang dianggap berharga, biasanya kita merasa sedih. Sedih berkepanjangan dan intensif juga disebut sebagai duka. Ketika bersedih orang bisa menangis, dan dampaknya ia juga akan kesulitan mengalami kesenangan. Kesedihan yang mendalam, persisten dan intensif adalah dasar emosi dari gangguan mental depresi.

Tanda kesedihan biasanya dapat diamati. Misalkan, ekspresi wajah (kedua alis bagian dalam berkerut mendekat, ujung luar lipatan mata atas turun dan mata melihat ke arah bawah, serta ujung mulut turun), sikap tubuh (postur seperti kehilangan kekuatan otot, membungkuk, mengalihkan perhatian/melihat ke bawah), dan ekspresi ketika berkomunikasi (ketika berbicara suara terdengar melemah atau munculnya nada suara tinggi ketika menangis).

Namun selain itu, kesedihan juga muncul dalam bentuk sakit atau gejala tubuh, seperti: dada menjadi kaku, kaki dan lengan menjadi berat, tercekat di kerongkongan, dan mata yang mengeluarkan airmata. Persepsi sakit yang dialami karena perasaan sedih bisa sama beratnya ketika seseorang mengalami luka fisik.

Perlu dipahami, sebagai salah satu bentuk emosi dasar yang dianggap negatif (valensi negatif), sebenarnya kesedihan memiliki fungsi yang sangat mendasar dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan manusia. Fungsi utama kesedihan adalah memberikan tanda bahwa kita butuh bantuan.

Kesedihan adalah tanda minta tolong yang ditujukan bagi diri sendiri dan orang di sekitar kita. Bagi diri, sedih artinya ada stimulus atau hal yang tengah kita hadapi yang menimbulkan kesedihan dan kita membutuhkan waktu untuk memulihkan diri dari perasaan ini. Bagi orang-orang di sekitar kita, kesedihan ditunjukkan, artinya orang tersebut membutuhkan dukungan dan penghiburan untuk memulihkan dari perasaan kehilangan dan kecewa yang tengah dihadapinya.

Namun, kadang tidak mudah mengidentifikasi kesedihan. Ada kesedihan yang tersamarkan karena bercampur dengan emosi lain, seperti marah, takut dan bahagia. Ada pula orang yang menutupi kesedihannya sehingga tidak tampak sedih. Ada juga yang membatasi interaksi sosial dan keterhubungannya dengan orang lain agar mencegah resiko mengalami kekecewaan dan kehilangan karena tidak mau mengalami kesedihan.

Pada level diri, ada orang yang menumpulkan perasaannya sehingga kesulitan memahami apa emosi yang dialaminya saat ini. Ada pula yang tidak bisa melakukan refleksi emosi diri sehingga tidak mampu memahami apa penyebab emosi sedih yang tengah dihadapinya. Kondisi-kondisi seperti ini dapat menyebabkan keterpurukan mental lebih berat karena kesulitan mengakses bantuan.

Emosi Takut: Tanda perlu melindungi diri
Jika kita mempersepsikan bahwa adanya ancaman pada diri kita dalam bentuk fisik, emosional, psikologis; baik nyata ataupun imaginasi, maka kita akan mengalami perasaan takut. Bentuk ancaman bisa fisik (gelap, ketinggian, obyek menakutkan seperti binatang buas), juga sosial (pengabaian, penolakan, perpisahan).

Emosi takut bisa menjadi lebih nyata daripada fakta. Pada beberapa orang, walaupun tidak ada ancaman nyata yang dihadapinya, tapi ia akan mengalami ketakutan juga ketika berimaginasi adanya ancaman. Hal ini dapat membuat munculnya perilaku takut, yang juga bisa disertai dengan perasaan terkejut dan marah.

Ekspresi takut dapat diamati (kedua alis naik dan berdekatan, lipatan mata atas naik, lipatan mata bawah menegang, bibir ditarik ke belakang dan dagu agak turun-terbuka. Nada suara marah dikenali dengan nada tinggi dan suara keras. Ketika marah biasanya orang berkeringat, gemetar dan ototnya kaku.

Takut pada hal yang tidak obyektif memberikan perasaan takut disebut sebagai takut irasional (misalkan takut pada kucing - yang obyektifnya tidak secara langsung membahayakan keselamatan manusia; atau takut akan masa depan - yang obyektifnya belum diketahui seperti apa). Ketakutan irasional dan berlebihan disebut sebagai kecemasan (anxiety). Orang juga bisa menjadi lebih cemas ketika merasa gagal dalam mengendalikan atau tidak bisa keluar dari penyebab takutnya. Jika kecemasan telah berulang, intensif dan mulai mengganggu perilaku dan hidup sehari-hari (makan, tidur, bekerja), maka dapat disebut sebagai gangguan mental kecemasan (anxiety disorders).

Takut juga berfungsi untuk mengingatkan individu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menghindari atau menghentikan ancaman (atau persepsi ancaman). Biasanya kita berhadapan dengan ancaman dengan 3 respon: menghadapi (fight), menjauh (flight), atau diam (freeze). Ketika rasa takut muncul kita perlu menelaah apa penyebab takut, dan apakah respon yang kita lakukan telah tepat dalam mengelola sumber ketakutan. Jika respon alamiah kita ternyata belum tepat menghentikan ancaman dan memberikan rasa aman, maka artinya kita harus merubah strategi menghadapi rasa takut.

Belajar dari pengalaman akan memperluas wawasan manusia dalam menghadapi ancaman, serta hal-hal yang dapat dilakukan dalam menghentikan ancaman dan membuat diri aman.

Perasaan takut-cemas juga bisa menunjukkan secara jujur tentang kebutuhan diri yang mungkin selama ini diabaikan atau tidak diakui. Misalkan, perasaan cemas dapat muncul untuk mencegah kita terjebak dalam hubungan yang tidak memberikan kebahagiaan, atau mengingatkan jika kita telah terhalang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya kita sungguh ingin lakukan.

Dengan memahami rasa takut yang kita alami, maka kita dapat memahami bagaimana merespon rasa takut yang dialami orang lain. Memahami dan mengelola takut adalah tidak mudah, maka diperlukan kemampuan empati dan welas kasih untuk mampu merespon perasaan takut orang lain di hadapan kita. Kita dapat berusaha menunjukkan sikap menghargai perasaan yang dialami seseorang, disertai sikap sabar dalam meyakinkan bahwa ada cara lain untuk mensikapi perasaan takut yang tengah dihadapinya.

Bersambung ke Bagian II.

Referensi
Andrew Solomon TedTalks dari Youtube
Paul Ekman dari Paul Eekman

Penulis: Margaretha
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Sedang menempuh studi di the University of Melbourne

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun