Lalu, tahap berikutnya berkembang menjadi pemikiran moral karena patuh terhadap nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya atau moralitas adalah kesepakatan kelompok (conventional). Corak berpikir moral ini membuat manusia berusaha bersikap benar sesuai nilai kelompok agar diterima di kelompoknya, namun belum sungguh memahami orang lain atau nilai kelompok lain.Â
Pada tahapan ketiga, pemikiran moral berkembang melampaui kesepakatan kelompok atau disebut paska-kesepakatan (post-conventional). Tahap ini, individu berusaha memahami sifat universal nilai moral; maka ia bukan hanya memperjuangkan nilai-nilai kelompoknya namun juga berupaya untuk berempati dengan nilai-nilai yang dipercayai oleh orang dari luar kelompok nilainya.Â
Dalam fase ketiga inilah, Kohlberg menyatakan kepahlawanan dapat terjadi. Pahlawan adalah manusia yang melakukan berpikir mendalam mengenai moral pribadi dan kelompoknya, namun juga mempertimbangkan perspektif dan nilai yang dianut orang lain.Â
Pahlawan tidak hanya memperjuangkan kelompok kecil, apalagi dirinya sendiri; namun pahlawan melakukan pengorbanan diri demi nilai universal yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Inilah moralitas tertinggi.Â
Perilaku moral adalah pengejawantahan pemikiran moral dan perasaan moral. Pahlawan adalah orang yang mampu berpikir moral dan merasa moral atas tindakan moralnya.
Kapan menjadi Pahlawan?
Menjadi pahlawan bukan hanya sekedar melakukan moral. Perlu dipahami, tidak semua pemikiran moral akan menghasilkan tindakan moral, dan tidak semua tindakan moral adalah hasil berpikir moral.Â
Menurut Baumeister dan koleganya (2007) perilaku moral lebih dipengaruhi oleh kemampuan pengelolaan diri (self regulation), terutama kemampuan kelola hambatan diri internal atau disebut kemampuan inhibisi. Inhibisi adalah kemampuan menekan respon yang biasanya muncul (inhibition).
Misalnya: ketika menghadapi kesulitan maka respon yang mudah muncul adalah menyerah, maka kemampuan inhibisi adalah kemampuan menekan keinginan menyerah ketika berhadapan dengan situasi sulit. Berbagai penelitian juga menemukan, inhibisi adalah suatu prediktor kesuksesan dan juga kepahlawanan.Â
Kemampuan melawan godaan juga adalah suatu keutamaan penting kepahlawanan. Godaan untuk menguntungkan diri sendiri atau menyelamatkan dirinya sendiri (cara pandang egoistik). Orang dilihat menjadi heroik ketika tampak berkorban kepentingan diri demi kepentingan orang lain. Kemampuan berkorban juga sangat terkait dengan inhibisi, yaitu ketika individu berjuang menekan kecenderungan egois.
Jenis kepahlawanan
Selain dilihat sebagai kualitas pribadi, kepahlawanan juga dapat ditentukan sebagai dampak situasi/konteks. Faktor situasional juga adalah faktor penting yang menentukan munculnya kepahlawanan. Zimbardo, Blau dan Franco (2011) telah mengembangkan kajian atas hubungan kualitas pribadi dan faktor situasional yang menentukan jenis kepahlawanan yang akan muncul. Hasilnya adalah taksonomi 12 jenis kepahlawanan (lihat tabel 1).