Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Menjadi Benar atau Salah Bisa Berujung pada Kejahatan? (Bagian II)

26 Oktober 2020   14:46 Diperbarui: 2 Januari 2023   14:46 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perasaan bersalah lebih efektif menumbuhkan moral daripada perasaan malu. | psychologytoday.com

Penalaran moral tidaklah cukup untuk membentuk moralitas. Kita juga perlu memahami, bahwa sebenarnya perilaku "moral" kita sangat dipengaruhi emosi. Emosi moral (Bagian I).

Peran emosi moral dalam pembentukan keputusan moral
Sering saya mendengar bahwa dalam membuat keputusan moral sebaiknya menggunakan akal berpikir sehat dan tidak menggunakan emosi. Keputusan berdasarkan emosi diangap lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil rasional. Seakan-akan keduanya adalah komponen terpisah dalam mental manusia. Apakah mungkin kita hanya menggunakan penalaran moral?

Kenyataannya orang bisa melakukan berbohong, melakukan agresi, korupsi dan berbagai tindakan jahat, walaupun telah mengetahui bahwa perilaku itu salah. Mengapa? Sepertinya jawabannya perlu digali bukan dari penalaran saja, tapi juga dari bagaimana perasaan/emosi atau intuisinya bekerja dalam membuat keputusan melakukan suatu tindakan moral/imoral.

Emosi, atau perasaan dan intuisi, justru memainkan peran utama dalam sebagian besar proses pengambilan keputusan moral manusia. 

Kebanyakan orang tidak menyadari betapa emosi mereka mengarahkan pilihan moral mereka. Perasaan yang ditimbulkan oleh penderitaan, seperti simpati dan empati, sering menuntun orang untuk bertindak moral terhadap orang lain. 

Intuisi manusia dituntun oleh emosi dalam menentukan benar dan salah, sangat rentan dipengaruhi oleh emosi yang dirasakan manusia. Sebagai contohnya: jika anda membaca berita dan melihat foto-foto tentang pembantaian suku bangsa atau genosida, apa intuisi moral yang muncul? Biasanya orang akan menyatakan tindakan genosida adalah salah, tanpa banyak penalaran; dan kita bisa merasakan emosi yang terbangun di tubuh kita serta terbentuknya intusi moral negatif terhadap genosida. 

David Hume mengatakan bahwa kebanyakan pemahaman dan keputusan moral manusia bukan didasari oleh penalaran, melainkan hasrat manusia. Akibatnya, tindakan moral manusia tidak akan pernah murni hasil penalaran, tapi adalah suatu hasil keputusan yang dinalar setelah ditentukan oleh intuisi dan emosi (Haidt, 2008).

Untuk memahami keputusan moral secara utuh, maka kita juga perlu memahami emosi moral. 

Emosi moral (moral emotions) adalah elemen penting tetapi sering diabaikan dari proses moral manusia. Emosi moral sangat penting dalam memahami kepatuhan/ketidakpatuhan atau moral/imoralnya perilaku manusia terhadap standar moral yang dihadapinya. 

Haidt mendefinisikan emosi moral sebagai emosi yang terkait dengan kepentingan atau kesejahteraan masyarakat secara umum atau setidaknya orang selain si pembuat perilaku moral. Emosi moral bisa menjadi penuntun moral yang bisa diandalkan karena memotivasi dan memberikan kekuatan untuk berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.

Emosi moral lahir dari proses evaluasi /refleksi diri. Ketika diri merefleksikan tindakan pribadinya, maka emosi moral yang muncul adalah barometer moral sesuai dengan nilai yang kita anut. 

Emosi yang muncul dapat berlaku sebagai sanksi/hukuman atau reward/penguatan perilaku. Ketika refleksi diri menyatakan tindakannya salah atau melampaui batas, maka emosi moral yang muncul adalah malu dan rasa bersalah. Ketika kita melakukan hal yang benar, maka perasaan positif seperti bangga muncul.

Emosi, moralitas dan kejahatan
Apakah semua emosi moral bermakna sama? Penelitian eksperimental psikologi mengkaji berbagai bentuk emosi dan dampaknya pada moral manusia. Temuannya menyatakan berbagai bentuk emosi akan berdampak berbeda atas perilaku moral. 

Namun, tulisan ini akan fokus pada 4 jenis emosi yang menurut penulis sangat penting untuk memahami munculnya perilaku kejahatan: malu (shame), rasa bersalah (guilt), marah (angry) dan jijik (disgust). Keempat emosi ini tergolong valensi negatif, namun dengan fokus berbeda, dimana malu dan rasa bersalah berfokus pada diri (self), sedangkan marah dan jijik fokusnya pada orang lain (others).

Malu dan rasa bersalah
Baik rasa bersalah dan malu banyak ditemukan berkaitan dengan perilaku moral. Orang yang peka terhadap malu dan rasa bersalah akan berusaha menghindari kesalahan dan berusaha menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan moral budayanya. Malu dan rasa bersalah fokus pada perasaan yang muncul dari dalam diri. 

Namun, rasa malu akan lebih berorientasi pada melihat dampak evaluasi orang lain atas perilaku dirinya (rasa malu ini akan menghasilan evaluasi negatif terhadap diri secara global), sedangkan rasa bersalah akan lebih memperhatikan pada dampak perilaku salah dirinya terhadap orang lain (rasa bersalah memunculkan evaluasi negatif atas perilaku spesifik).

Di budaya Indonesia, biasanya malu yang lebih banyak dipakai dari pada rasa bersalah, misalkan: sejak kecil, anak diajari malu jika melakukan kesalahan. “Ih malu tidak pakai baju dilihat orang, ayo pakai baju dulu habis mandi!”. 

Menerbitkan perasaan malu dijadikan pembelajaran untuk memunculkan perilaku moral yang diinginkan. Tampaknya efektif. Namun penelitian psikologi menemukan ternyata dampak malu tidak melulu akan membuahkan perilaku moral.

Tangney dan kolega (2007) menemukan bahwa malu dapat menimbulkan perilaku “bersembunyi” atau menghindari situasi yang dianggap memalukan. Malu bisa memunculkan konsep diri negatif. Sebagai akibat, rasa malu akan mendorong sikap defensif, pemisahan antarpribadi, dan jarak. Sedangkan perasaan bersalah lebih mungkin memunculkan upaya yang konstruktif dan proaktif untuk memperbaiki perilaku yang salah.

Rasa malu yang cenderung fokus pada evaluasi diri buruk ditemukan juga kurang efektif menumbuhkan empati. Individu dalam pergolakan rasa malunya cenderung akan berpaling ke dalam diri, dan kurang mampu memusatkan pikiran dan perasaannya untuk memahami kondisi orang yang dirugikannya. 

Sebaliknya, orang yang mengalami rasa bersalah secara khusus berfokus pada perilaku buruk yang telah dilakukannya secara spesifik, akan lebih mampu melihat konsekuensi negatif yang dialami orang lain karena dampak perilaku buruknya, sehingga lebih bisa memunculkan respon empati dan memotivasi orang untuk memperbaiki perilakunya yang salah. Malu juga ditemukan lebih bisa memunculkan perasaan marah, dan bisa berujung pada munculnya perilaku antisosial dan agresi (fisik, verbal, simbolik dan agresi tidak langsung) daripada rasa bersalah.

Relevansi:
Rasa bersalah lebih efektif dalam memotivasi orang untuk memilih perilaku moral dalam kehidupan. Kapasitas rasa bersalah lebih tepat untuk menumbuhkan pola perilaku moral daripada rasa malu. Rasa bersalah lebih bisa memotivasi individu untuk menerima tanggung jawab dan mengambil tindakan reparatif di tengah kegagalan atau pelanggaran yang telah terjadi. Sebaliknya, rasa malu justru beresiko memunculkan persoalan perilaku moral.

Mari kita lihat bagaimana kita memperlakukan pelaku kejahatan korupsi di Indonesia; apakah kita sudah menggunakan pendekatan emosi yang benar? Apakah kita ingin membuat mereka malu atau merasa bersalah atas tindakannya? Lalu bagaimana dampak intervensi selama ini, apakah sudah mampu menurunkan keinginan mengulang kejahatan pada pelaku korupsi?

Lebih lanjut, siapakah yang harus menanggung malu atau merasa bersalah? Apakah kita hanya berfokus pada pertanggungjawaban pribadi atau kolektif? Menurut penulis, efek korektif akan lebih kuat jika pelaku korupsi ditingkatkan kemampuan penyelesaian masalah adaptif dan memiliki rasa malu atas kesalahannya. Lebih lanjut, tindakan koreksi bukan hanya pada level individual, namun juga koreksi pada level kolektif tempat terjadinya korupsi. Perlu dikembangkan budaya merasa bersalah jika melakukan korupsi.

Jadi, ketika mempertimbangkan pendidikan moral, baik ada level individu, hubungan inter-personal, atau masyarakat, lebih penting untuk mendidik perasaan bersalah sebagai barometer emosi moral.

Bersambung ke tulisan Bagian III

Referensi:

  1. Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil. Basic books: New York.
  2. Damasio, A. Descartes’ error. Putnam, New York, 1994.

  3. David, B.O., & Olatunji, B.O. (2011). The effect of disgust conditioning and disgust sensitivity on appraisals of moral transgressions. Personality and Individual Differences. 50, 1142-1146.
  4. Eisenberg, N., & Morris, A. S. (2001). The origins and social significance of empathy-related responding. A review of empathy and moral development: implications for caring and justice by ML Hoffman. Social Justice Research, 14, 95-120.
  5. Haidt, J. (2008). The Moral Roots of Liberals and Conservatives TED Talk.
  6. Haidt, J., & Joseph, C. (2004). Intuitive ethics: How innately prepared intuitions generate culturally variable virtues. Daedalus, 133, 55-66.

  7. Olatunji, B.O., David, B., & Ciesielski, B.G. (2012). Who am I to judge? Self-disgust predicts less punishment of severe transgressions. Emotion, 12, 169-73.
  8. Sandel, M.J. (2010). Justice What's the Right Thing. Farrar, Straus and Giroux: New York.
  9. Saxe, R., & Kanwisher, N. (2003). People thinking about thinking people: The role of the temporo-parietal junction in “theory of mind.” Neuroimage, 19, 1835-1842.
  10. Stanger, N., Kavussanu, M., McIntyre, D., & Ring, C. (2016). Empathy inhibits aggression in competition: The role of provocation, emotion, and gender. Journal of sport and exercise psychology, 38, 4-14.
  11. Tangney, J.P., Stuewig, J., & Mashek, D.J. (2007). Moral emotions and moral behavior. Annual Review of Psychology, 58, 345-372.
  12. Tracy, J.L., & Robins, R.W. (2007). The self in conscious emotion. In essica L. Tracy, Richard W. Robins, June Price Tangney (Eds.) in The self-conscious emotions : theory and research. The Guilford Press: New York.
  13. Vartanian, L.R. Trewartha, T., & Vanman, E.J. (2016). Disgust predicts prejudice and discrimination toward individuals with obesity. Journal of Applied Social Psychology, 46, 369-375.

Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Tulisan serupa pernah dipublikasi di website www.psikologiforensik.com yang dikelola pribadi oleh penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun