Ini menarik, mengapa bagian tubuh kaki dan obyek terkait dengan kaki menjadi fetis populer?
Kebanyakan ahli psikologi menjelaskan bahwa fetisisme terjadi karena proses belajar yang terkondisikan. Artinya, individu belajar di masa awal perkembangan seksualitasnya untuk mengasosiasikan erotisme dan seks dengan benda mati (dalam hal ini bagian kaki atau obyek pembungkusnya), sehingga akhirnya benda mati tersebut yang menjadi sumber hasrat dan kepuasan seksualnya.
Lalu perilaku diperkuat karena individu melakukan perilaku seks dengan obyek dan mendapatkan kepuasan, sehingga lebih mungkin dilakukan ulang dan dipertahankan.
Teori psikoanalisa menjelaskan bahwa fetisisme terjadi karena adanya peristiwa kecemasan luar biasa masa kanak (terutama pada anak laki-laki) terkait dengan interaksi psikis antara anak dengan orang tuanya (ketakutan akan kastrasi), yang membuat anak mengalihkan minat seksualnya dari alat genitalnya ke obyek benda mati sebagai substitusi (Scorolli dkk. 2007). Dalam hal ini, dialihkan dari penis ke benda terkait kaki; dan menurut Sigmund Freud, bentuk kaki dekat dengan bentuk penis.
Dari perspektif Neurologis, Ramachandran (1994) menjelaskan bahwa fetis kaki terjadi karena bagian otak yang memproses informasi sensoris masuk dari bagian kaki (sensory input brain region) terletak tepat di sebelah bagian otak yang memproses stimulasi seksual genitalia (genital stimulation brain region).
Ramachandran menambahkan bahwa pada fetisis, terjadi kesalahan pemrosesan input sensoris antar kedua bagian otak ini, yang seharusnya terpisah menjadi saling terhubung. Akibat, minat seksual terhadap kaki lebih mungkin terjadi.
Kriminalisasi seksualitas: Fetisisme atau Gangguan Kepribadian/ Kendali Impuls?
Sayangnya bisa terjadi kesalahpahaman, seakan-akan penyimpangan seksual adalah perilaku pelanggaran. Perlu dipahami, penggunaan fetis tidak selalu masalah klinis, dan tidak selalu berujung pada munculnya diagnosa klinis Fetisisme.
Maka, tidak selalu pengguna fetis atau seorang yang terdiagnosa fetisisme (fetisis) akan melakukan tindakan pelanggaran aturan/norma/hukum.
Jika perilaku seks dengan menggunakan fetis dilakukan antara pasangan yang saling menyetujui dan dilakukan secara aman serta tidak mengganggu aktivitas seksual genitalia, hal ini justru akan membantu peningkatan erotisme dan seksualitas, maka masih dikategorikan seksualitas yang wajar.
Jika seseorang memanipulasi pasangannya atau orang lain untuk memenuhi kebutuhan seksualitasnya sehingga terjadi pelanggaran hak orang lain atau penderitaan orang lain, dimana hal ini terjadi karena ia tidak mampu mengelola nafsu dan hasrat seksualnya, maka situasi ini tidak bisa hanya diatribusikan pada persoalan seksualitas.