Orangtua juga perlu dibantu agar mampu mengawasi perilaku anak dalam mengakses informasi secara online atau menggunakan gadget. Orangtua juga perlu bekerjasama dengan anak untuk menunjukkan contoh perilaku online sehat. Hal-hal ini perlu dilakukan sejak awal agar anak juga terhindar dari persoalan kecanduan non-zat.Â
Pencegahan sekunder: Mencegah agar tidak bertambah parah pada individu beresikoÂ
Anak dan remaja yang telah terlibat dalam perilaku yang beresiko yang membahayakan kesehatan dan masa depannya (misalkan: merokok, perilaku seks pra-nikah tidak aman, seks usia dini, kenakalan remaja, penyalahgunaan zat, dan sebagainya) dapat disebut sebagai remaja beresiko. Di Indonesia, remaja perokok melaporkan bahwa mereka mulai merokok secara aktif sejak usia 10 tahun (Maharani, 2016). Artinya anak pertama kali merokok pada usia di bawah itu dan semenjak itu mereka telah menjadi anak-remaja beresiko mengembangkan perilaku kecanduan rokok.Â
Anak beresiko perlu mendapatkan intervensi sekunder; mereka bisa dibantu agar tidak terus mengulang perilaku beresikonya, atau supaya tidak terus terperosok dalam kecanduan. Berbeda dengan pencegahan primer yang cukup general dan bisa dilakukan di sekolah untuk semua murid, maka pencegahan sekunder hanya diberikan pada anak-remaja yang telah paling tidak sekali melakukan perilaku penggunaan zat terlarang atau penyalahgunaan zat.Â
Intervensi pencegahan sekunder dapat dilakukan dalam kelompok konseling atau program pembelajaran khusus. Modifikasi perilaku bisa digunakan untuk menekan perilaku merokok atau mengalihkannya dengan perilaku lain yang lebih sehat, misalkan: mencoba merubah perilaku merokok dengan perilaku mengunyah permen.Â
Lingkungan anak juga perlu dirubah agar menjadi menjadi lebih sehat, misalkan: untuk mencegah kecanduan anak akan pornografi di internet maka menaruh komputer di tempat umum di rumah, agar bisa diawasi orangtua, serta memberikan kendali penggunaan komputer dan internet di rumah.Â
Proses pencegahan sekunder untuk membekali anak-remaja beresiko agar mampu mengendalikan keinginan diri dan menghentikan penggunaan zat gerbang atau aktivitas yang beresiko menjadi kecanduan kompleks. Orangtua juga perlu dilibatkan dalam intervensi sekunder agar mampu menjadi panutan dan pendukung (support system) anak dalam mengelola perilakunya.Â
Orangtua juga perlu diperkuat untuk bertanggungjawab dalam menggunakan dan menyimpan zat gerbang miliknya, agar tidak disalahgunakan anak. Perlu dipahami, anak tidak hanya belajar dengan apa yang mereka dengar, namun jauh lebih besar anak belajar dari apa yang mereka lihat. Oleh karena itu, orangtua harus siap menjadi contoh bagi anaknya.
Selain itu, anak-remaja beresiko juga perlu dibantu untuk memiliki kemampuan penyelesaian masalah dan kemampuan membangun relasi sosial sehat agar mampu mengelola berbagai persoalan hidup. Kesehatan mental dapat berperan mencegah munculnya depresi, isolasi, penolakan, perasaan tidak bahagia, dan ketidakbermaknaan hidup. Dengan kata lain, dalam rangka mencegah kecanduan anak-remaja beresiko perlu dibantu untuk memiliki kekuatan pribadi dan kemampuan membangun relasi sosial yang sehat.Â
SimpulanÂ
Bertambahnya jumlah kasus kecanduan di masyarakat Indonesia telah menunjukkan betapa pentingnya penanganan persoalan penyalahgunaan zat dan non-zat. Hipotesa gerbang digunakan untuk memahami kecanduan dan strategi pencegahan. Pencegahan primer diharapkan mampu menurunkan kasus anak-remaja yang terlibat dalam penyalahgunaan zat; sedangkan pencegahan sekunder bekerja untuk mencegah terjadinya kecanduan lebih lanjut pada anak-remaja beresiko.Â