Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hipotesa Gerbang dan Perjalanan Menjadi Pecandu

4 Mei 2020   20:46 Diperbarui: 6 Mei 2020   15:14 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk kesekian kalinya, A mencuri uang untuk membeli heroin. Walaupun baru berusia 17 tahun, siswa SMU ini sudah pernah 2 kali bolak-balik pusat rehabilitasi narkoba di RS Fatmawati tahun ini. A pertama kali menghisap rokok dengan teman-temannya di usia 10 tahun; dulu awalnya mencuri rokok Ayahnya sendiri. 

Lalu pada SMP, A bereksperimen dengan kombinasi rokok dan alkohol. Lama-kelamaan, ia merasa kurang puas dengan efeknya, lalu mencoba ganja yang diberikan teman sebayanya. Sejak 2 tahun terakhir A sudah menggunakan berbagai zat, termasuk heroin, untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar yang selalu dicarinya. 

Orang tua tidak habis pikir, sudah 2 kali masuk panti rehabilitasi namun tidak ada kesembuhan. Setiap kali pulang, hanya dalam 2 minggu, A sudah kembali menyalahgunakan zat. Sepertinya sulit merubahnya sekarang setelah kecanduan. Mereka berpikir dalam hati, apa yang mereka bisa lakukan sekarang? Dan jikalau mereka bisa, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kecanduan ini terjadi?

Kecanduan zat dan non zat 

Kecanduan adalah kondisi dimana seseorang mengkonsumsi zat (misalkan: alkohol, rokok) atau terlibat dalam aktivitas (misalkan: judi, seks dan pornografi, belanja, online gaming) yang memberikan kepuasan namun jika terus-menerus dilakukan akan menimbulkan ketergantungan dan mengganggu fungsi hidup sehari-hari, seperti gangguan dalam bekerja, relasi sosial dan kesehatan. Biasanya orang mengalami kecanduan memahami persoalan yang tengah dialaminya telah merugikan dirinya dan orang lain, namun merasa kesulitan atau tidak berdaya untuk mengendalikan atau menghentikan perilakunya tersebut. 

Saat ini, ada berbagai jenis kecanduan yang dapat dialami manusia. Pedoman diagnostik gangguan mental (Diagnostic and Statistics of Mental Disorders; DSM V, 2013) yang disusun oleh American Psychiatry Association menyatakan bahwa peningkatan jumlah perilaku kecanduan terjadi bukan hanya pada penggunaan zat adiktif, namun juga ketergantungan aktivitas seperti: online game dan judi. Secara umum ada dua jenis, yaitu: kecanduan zat dan kecanduan non-zat. 

  1. Kecanduan zat: penyalahgunaan berbagai zat kimia, baik alami maupun buatan, dalam rangka mendapatkan kepuasan atas efek spesifiknya (stimulan, depresan dan halusinogen).
    1. Stimulan: zat-zat yang memberikan efek peningkatan aktivitas otak dan tubuh, misalkan: ampethamine, coccaine, 
    2. Depresan: zat-zat yang memberikan efek menenangkan dan merelakskan aktivitas otak dan otot tubuh, misalkan: heroin, obat penenang benzodiazepines.
    3. Halusinogen: zat-zat yang memberikan efek halusinasi, misalkan: LSD, psilocybin, MDMA. 
  2. Kecanduan non zat: keterlibatan dalam berbagai aktivitas yang menyebabkan ketergantungan dan persoalan psikologis, beberapa di antaranya: judi, pornografi, online gaming, belanja. Bahkan akhir-akhir ini ditemukan gejala kecanduan Facebook, dimana penggunaan Facebook yang terus-menerus mengganggu individu untuk melakukan hidup dan bekerja/belajar sehari-hari. 

Mengapa Kecanduan? 

Manusia memiliki kebutuhan untuk membuat hubungan dengan orang-orang di sekelilingnya (Hari, 2015). Maka, secara alamiah manusia membangun relasi dengan hal-hal yang memberikannya rasa aman dan nyaman. Berbagai penelitian menemukan, jika manusia mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar sosialnya ini dari orang-orang yang hidup di sekitarnya, maka ia akan mendapatkan hidup yang bahagia dan sehat. Namun jika manusia tidak mendapatkan hubungan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan sosialnya, maka manusia akan merasa kosong. 

Menurut Hari (2015), lingkungan hidup yang tidak memberikan kebahagiaanlah yang menyebabkan manusia mengalami kecanduan. Depresi, isolasi, penolakan dan perasaan tidak bahagia atau tidak memiliki makna hidup, adalah beberapa hal yang ditemukan terkait dengan munculnya kecanduan. 

Lalu, beberapa orang akan berusaha mengisi kekosongannya dengan ikatan-ikatan baru, baik dengan benda, zat atau aktivitas di sekitarnya. Salah satunya adalah ikatan dengan benda/zat atau aktivitas yang membuat ketergantungan. Zat dan aktivitas ini memberikan kenikmatan sementara bagi pengguna, sehinggga ia akan berusaha mengulangnya untuk menghasilkan kepuasan. Ini sebenarnya adalah hubungan yang semu. Jika ditambah dengan lingkungan hidup yang buruk, perasaan tidak bahagia dan kurangnya relasi sosial yang bermakna, maka hal-hal tersebut akan membuat manusia semakin mengikatkan diri dengan ikatan semu, dan akhirnya menjadi kecanduan. 

Hipotesa Gerbang

Hipotesa gerbang (Gateway Hypothesis) menjelaskan bahwa kecanduan zat psikoaktif berawal dari penggunaan zat yang lebih sederhana, atau disebut sebagai “zat gerbang”, seperti: rokok, ganja, dan alkohol (Kandel, 2002 dalam Kandel, 2006). Dari zat gerbang, lalu berkembang menjadi penggunaan kombinasi beberapa zat sederhana, hingga pada akhirnya menjadi ketergantungan zat yang kompleks dan jamak (multiple). Zat gerbang adalah awal penyalahgunaan zat di masa depan.

Beberapa penelitian menemukan pola hipotesa gerbang. Dari survei di beberapa lokasi di Amerika Serikat, ditemukan sekitar 44,7% dari 6.624 orang mengakui bahwa pernah mengakui mengkonsumsi ganja sebelum menggunakan zat adiktif kompleks, seperti: heroin, kokain (Secades dkk., 2015). Weinberger, Platt, dan Goodwin (2016) menemukan bahwa 27.461 orang melaporkan bahwa mereka mengkonsumsi ganja sebelum alkohol. Hal senada juga ditemukan oleh Kirby dan Barry (2012), dimana dari 14.577 anak usia sekolah melaporkan bahwa konsumsi alkohol dilakukan sebelum menggunakan rokok tembakau, ganja dan zat adiktif illegal lainnya. Hipotesa gerbang ini telah digunakan untuk menjelaskan perjalanan perkembangan perilaku penyalahgunaan zat; dimulai dari zat adiktif yang lebih sederhana lalu berkembang menjadi kecanduan zat yang lebih kompleks (Kandel, 2006).

Selain zat gerbang, juga perlu diperhatian onset atau waktu pertama kali penggunaan dan penyalahgunaannya (Iacono dkk., 2008). Semakin dini usia pertama kali individu menggunakan dan menyalahgunakan zat gerbang, maka semakin tinggi kemungkinannya akan mengalami gangguan penyalahgunaan zat yang lebih berat. 

Berbagai penelitian menyimpulkan onset beresiko adalah di bawah usia 15 tahun; artinya akan lebih tinggi resiko penyalahgunaan zat jika anak pertama kali menggunakan/menyalahgunakan zat gerbang di usia dini. Hal ini terjadi karena pada usia dini, kemampuan pengelolaan diri dan kontrol diri individu belumlah kuat. Sehingga ekspos dan penggunaan berulang lebih tinggi resikonya untuk menjadi perilaku kecanduan. 

Namun, Degenhardt dan kolega (2010) menemukan bahwa hipotesa gerbang hanya tepat digunakan untuk menjelaskan penyalahgunaan zat di tempat dimana akses terhadap zat gerbang cukup mudah, misalkan di Indonesia dimana rokok sangat mudah didapat. Tapi hipotesa gerbang tidak tepat digunakan di tempat dimana akses terhadap zat gerbang tidak mudah. 

Jepang dan Nigeria, diketahui sebagai perkecualian; dimana ditemukan perilaku penyalahgunaan zat dimulai dengan konsumsi obat-obatan adiktif terlarang, bukan dimulai dengan rokok atau alkohol (Degenhardt dkk., 2010). Hal ini terjadi karena rendahnya penggunaan rokok tembakau dan alkohol di Jepang dan Nigeria. 

Belanda juga ditemukan menunjukkan pola yang berbeda, dimana penggunaan ganja tidak signifikan memprediksi penggunaan zat adiktif berat lainnya. Hal ini terjadi karena di konteks Belanda, ganja bukanlah produk illegal dan penggunaannya diatur oleh Undang-undang. Hingga saat ini, belum banyak diketahui mengenai bagaimana pola perkembangan perilaku kecanduan di Indonesia.

Lebih lanjut, stress, faktor personal dan faktor lingkungan sosial juga ditemukan memiliki pengaruh atas kemunculan perilaku penyalahgunaan (Vanyukov dkk, 2003). Penelitian oleh Toumborou (2007 dalam Degenhardt dkk., 2010) menjelaskan bahwa anak-anak dengan problem perilaku eksternalisasi (misalkan: ADHD, agresi, gangguan tingkah laku) dan problem perilaku internalisasi (misalkan: depresi, gangguan makan) menunjukkan resiko yang lebih tinggi mengalami gangguan penyalahgunaan zat. 

Dan penyalahgunaan zat pada anak-anak ini akan semakin memperburuk kondisi kesehatan mental mereka. Stress dan ketidakmampuan pengelolaan masalah yang dipengaruhi faktor psikososial dapat membuat orang lebih mungkin terlibat dalam penyalahgunaan zat. 

Pemahaman ini menunjukkan betapa pentingnya pencegahan penyalahgunaan zat dengan mencegah atau menunda penggunaan zat gerbang. Jika anak sudah mulai mengkonsumsi zat gerbang sejak usia di bawah 15 tahun, resikonya untuk menjadi penyalahguna zat-zat lain yang lebih kompleks menjadi lebih tinggi. Jika masyarakat dapat mengkondisikan agar anak menunda usia mulai menggunakan zat gerbang di atas usia 15 atau 18 tahun, maka kita bisa menurunkan intensitas persoalan kecanduan di masyarakat kita. Asumsinya kemampuan kelola diri usia di atas 15-18 tahun sudah lebih kuat daripada di bawah usia 15 tahun, sehingga mereka lebih bisa diharapkan mengelola perilakunya.

Zat gerbang bisa digunakan target intervensi penyalahgunaan zat. Paling tidak bisa dilakukan dua model pencegahan: 1) Pencegahan primer: segala upaya untuk mencegah atau menunda konsumsi zat gerbang pada orang/anak yang belum pernah mengkonsumsi zat gerbang; 2) Pencegahan sekunder: upaya yang dilakukan pada individu yang telah mengkonsumsi zat gerbang atau “orang-orang beresiko” untuk mendapatkan intervensi rehabilitatif untuk mencegah berlanjutnya perilaku penyalahgunaan menjadi lebih parah. 

Pencegahan primer: Sebelum terjadi 

Pendekatan pencegahan yang paling dasar dan paling penting adalah mencegah agar persoalan tidak terjadi sama sekali. Maka yang perlu dilakukan adalah intervensi dilakukan jauh sebelum problem penyalahgunaan zat muncul. Dalam hal ini, pencegahan kecanduan dilakukan dengan melakukan intervensi pencegahan penggunaan dan penyalahgunaan zat yang diberikan sejak masa kanak-kanak. Sejak di bawah usia 15 tahun, sebaiknya anak sudah dilatih untuk tidak menggunakan dan menyalahgunakan zat-zat gerbang, seperti: ganja, rokok tembakau dan alkohol. 

Namun perlu dipahami, bahwa pemahaman konteks budaya yang menjadi dasar tujuan intervensi. Di budaya Barat, konsumsi alkohol adalah kebiasaan yang legal di atas usia legal (misalkan: di Belanda boleh minum alkohol di atas usia 18 tahun atau rata-rata 21 tahun di Amerika Serikat); maka artinya yang juga perlu diajarkan adalah strategi agar anak tahu cara menunda minué alkohol, atau agar tidak minum terlalu dini atau di bawah usia legal di negaranya. Orang dewasa lainnya juga diajak untuk mencegah terjadinya perilaku membeli dan mengkonsumsi alkohol oleh anak di bawah umur legal. 

abc.net.au
abc.net.au
Sedangkan di Indonesia, tantangan utamanya adalah merokok sebagai perilaku gerbang. Rokok tembakau menjadi barang yang sangat murah dan mudah diterima, legal, serta konsumsinya dimaklumi secara sosial bahkan walaupun dilakukan sejak masa kanak. Dengan hipotesa gerbang, kita perlu lebih serius mengkondisikan anak-anak kita untuk mampu menolak atau menunda konsumsi rokok. Kita juga perlu memperkuat kemampuan orang-orang dewasa di sekitar anak untuk turut mengawasi anak agar tidak mencoba-coba dan menyalahgunakan rokok tembakau terlalu dini.

Konsumsi ganja di berbagai negara, termasuk di Indonesia, masih tergolong illegal, maka yang perlu dilakukan adalah usaha untuk mengajarkan anak untuk menolak atau tidak menggunakan ganja. Anak juga perlu diajarkan untuk mampu mengelola dirinya agar tidak menggunakan zat gerbang atau apalagi mengkombinasi konsumsi zat-zat tersebut. 

Di Belanda, telah dilakukan upaya intervensi untuk mencegah anak mengkonsumsi alkohol dini sejak usia 12 tahun. Intervensi dilakukan di sekolah-sekolah secara wajib untuk semua anak dan juga orang tuanya. Intervensi pada anak ditujukan untuk mengembangkan pemahaman anak mengenai masalah penyalahgunaan alkohol dan cara-cara yang bisa dilakukannya jika berhadapan dengan “tantangan” atau “tawaran” untuk mengkonsumsi alkohol, misalkan: bagaimana cara menghadapi dan menolak ajakan teman sebaya untuk minum alkohol milik orang tuanya di rumah secara sembunyi-sembunyi. 

Orang tua juga perlu dibantu agar lebih mampu memberikan kontrol dan pengawasan atas perilaku anaknya agar tidak jatuh dalam masalah konsumsi alkohol dini. Orangtua diajak sadar dan bertanggungjawab dalam perilaku konsumsi alkoholnya karena dapat menjadi contoh bagi anaknya. 

Orang tua juga perlu memastikan agar alkohol yang dimilikinya disimpan dengan bertanggungjawab agar tidak dapat diambil anak secara diam-diam, karena hal ini bisa menjadi resiko penggunaan dini pada anaknya. Kedua komponen pendekatan anak dan orangtua ini adalah faktor utama keberhasilan intervensi pencegahan konsumsi alkohol dini pada anak. 

Pendekatan serupa dapat diberikan pada anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Indonesia dalam rangka mencegah perilaku merokok tembakau usia dini. Sasarannya bukan hanya mempersiapkan anak untuk mampu mengelola diri menahan godaan dan pengaruh rekan sebaya untuk merokok, namun juga membekali orangtua agar mampu menjadi panutan anak dalam mengelola perilaku kesehatan dan perilaku rokoknya. 

Upaya di sekolah juga harus menyasar agar orangtua bertanggungjawab mengelola rokok tembakau miliknya agar tidak disalahgunakan anak dan terus mengawasi perilaku anaknya agar tidak mengkonsumsi rokok terlalu dini. Dalam rangka mempertahankan keberlanjutan kesadaran dan perilaku anak di sekolah, pendekatan pencegahan juga bisa dikombinasikan promosi hidup sehat, misalkan: membuat poster hidup sehat tanpa rokok di sekolah. Sangat penting untuk melakukan intervensi pencegahan rokok ini sejak usia dini, karena kenyataannya anak-anak di Indonesia sangat rentan menjadi perokok aktif sejak usia kanak-kanak. 

dailycomet.com
dailycomet.com
Lebih lanjut, pencegahan primer juga perlu diupayakan untuk mencegah problem kecanduan non-zat pada anak-remaja di sekolah. Ada beberapa jenis kecanduan yang banyak mulai ditemukan terjadi pada anak dan remaja di Indonesia, misalkan: kecanduan online gaming, gadget, aplikasi sosial-media, atau pornografi. Anak-remaja perlu diperkenalkan dengan penggunaan internet/gadget secara sehat dan aman, serta cara-cara mengelola diri agar tidak tergantung dengan aktivitas yang tampaknya menyenangkan tapi jika tidak terkendali bisa mengarah pada kecanduan. 

Orangtua juga perlu dibantu agar mampu mengawasi perilaku anak dalam mengakses informasi secara online atau menggunakan gadget. Orangtua juga perlu bekerjasama dengan anak untuk menunjukkan contoh perilaku online sehat. Hal-hal ini perlu dilakukan sejak awal agar anak juga terhindar dari persoalan kecanduan non-zat. 

Pencegahan sekunder: Mencegah agar tidak bertambah parah pada individu beresiko 

Anak dan remaja yang telah terlibat dalam perilaku yang beresiko yang membahayakan kesehatan dan masa depannya (misalkan: merokok, perilaku seks pra-nikah tidak aman, seks usia dini, kenakalan remaja, penyalahgunaan zat, dan sebagainya) dapat disebut sebagai remaja beresiko. Di Indonesia, remaja perokok melaporkan bahwa mereka mulai merokok secara aktif sejak usia 10 tahun (Maharani, 2016). Artinya anak pertama kali merokok pada usia di bawah itu dan semenjak itu mereka telah menjadi anak-remaja beresiko mengembangkan perilaku kecanduan rokok. 

Anak beresiko perlu mendapatkan intervensi sekunder; mereka bisa dibantu agar tidak terus mengulang perilaku beresikonya, atau supaya tidak terus terperosok dalam kecanduan. Berbeda dengan pencegahan primer yang cukup general dan bisa dilakukan di sekolah untuk semua murid, maka pencegahan sekunder hanya diberikan pada anak-remaja yang telah paling tidak sekali melakukan perilaku penggunaan zat terlarang atau penyalahgunaan zat. 

Intervensi pencegahan sekunder dapat dilakukan dalam kelompok konseling atau program pembelajaran khusus. Modifikasi perilaku bisa digunakan untuk menekan perilaku merokok atau mengalihkannya dengan perilaku lain yang lebih sehat, misalkan: mencoba merubah perilaku merokok dengan perilaku mengunyah permen. 

Lingkungan anak juga perlu dirubah agar menjadi menjadi lebih sehat, misalkan: untuk mencegah kecanduan anak akan pornografi di internet maka menaruh komputer di tempat umum di rumah, agar bisa diawasi orangtua, serta memberikan kendali penggunaan komputer dan internet di rumah. 

Proses pencegahan sekunder untuk membekali anak-remaja beresiko agar mampu mengendalikan keinginan diri dan menghentikan penggunaan zat gerbang atau aktivitas yang beresiko menjadi kecanduan kompleks. Orangtua juga perlu dilibatkan dalam intervensi sekunder agar mampu menjadi panutan dan pendukung (support system) anak dalam mengelola perilakunya. 

Orangtua juga perlu diperkuat untuk bertanggungjawab dalam menggunakan dan menyimpan zat gerbang miliknya, agar tidak disalahgunakan anak. Perlu dipahami, anak tidak hanya belajar dengan apa yang mereka dengar, namun jauh lebih besar anak belajar dari apa yang mereka lihat. Oleh karena itu, orangtua harus siap menjadi contoh bagi anaknya.

Selain itu, anak-remaja beresiko juga perlu dibantu untuk memiliki kemampuan penyelesaian masalah dan kemampuan membangun relasi sosial sehat agar mampu mengelola berbagai persoalan hidup. Kesehatan mental dapat berperan mencegah munculnya depresi, isolasi, penolakan, perasaan tidak bahagia, dan ketidakbermaknaan hidup. Dengan kata lain, dalam rangka mencegah kecanduan anak-remaja beresiko perlu dibantu untuk memiliki kekuatan pribadi dan kemampuan membangun relasi sosial yang sehat. 

Simpulan 

Bertambahnya jumlah kasus kecanduan di masyarakat Indonesia telah menunjukkan betapa pentingnya penanganan persoalan penyalahgunaan zat dan non-zat. Hipotesa gerbang digunakan untuk memahami kecanduan dan strategi pencegahan. Pencegahan primer diharapkan mampu menurunkan kasus anak-remaja yang terlibat dalam penyalahgunaan zat; sedangkan pencegahan sekunder bekerja untuk mencegah terjadinya kecanduan lebih lanjut pada anak-remaja beresiko. 

Namun, yang sangat penting adalah mengkondisikan agar anak tidak terekspos dan mengkonsumsi zat gebrand sejak usia dini (kuräng dari 15 tahun). Pendekatan pencegahan akan lebih efektif jika sekolah dan orangtua juga terlibat untuk mendampingi, menjadi panutan dan juga mengawasi perilaku anak. Terakhir, anak juga perlu diajari cara-cara hidup sehat mental dan kemampuan penyelesaian masalah agar terhindar dari perasaan kesepian yang bisa mencetuskan kecanduan. Dengan menjadi sehat fisik dan mental, anak akan lebih fokus pada relasi sosial bermakna di sekitarnya, pengembangan diri dan masa depannya. Bukan pada kecanduan.

Referensi

Degenhardt, L., Dierker, L., Chiu, W.T., Medina-Mora, M.E., et al… (2010). Evaluating the drug use “gateway” theory using cross-national data: Consistency and associations of oerder of initiation. Drug, Alcohol Dependency, 108, 84-97. 

Iacono, W., Malone, S., & McGue, M. (2008). Behavioral disinhibition and the development of early-onset addiction: Common and specific influences. Annual Review of Clinical Psychology, 4, 325-348. 

Kandel, D.B., Yamaguchi, K., & Klein, L.C. (2006). Testing the gateway hypothesis. Addiction, 101, 470-472. Kirby, T., & Barry, A. E. (2012). "Alcohol as a gateway drug: A study of US 12th graders" (PDF). Journal of School Health, 82, 371-379. doi:10.1111/j.1746-1561.2012.00712.x 

Secades-Villa, R., Garcia-Rodríguez, O., Jin, C. J., Wang, S., & Blanco, C (2015). "Probability and predictors of the cannabis gateway effect: A national study". International Journal of Drug Policy, 26, 135-142. doi:10.1016/j.drugpo.2014.07.011 

Weinberger, A. H., Platt, J., & Goodwin, R. D. (2016). "Is cannabis use associated with an increased risk of onset and persistence of alcohol use disorders? A three-year prospective study among adults in the United States". Drug and Alcohol Dependence, 161, 363-367. doi:10.1016/j.drugalcdep.2016.01.014 

Vanyukov, M. M.; Tarter, R. E.; Kirisci, L; Kirillova, G. P.; Maher, B. S.; Clark, D. B. (2003). "Liability to substance use disorders: 1. Common mechanisms and manifestations". Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 27, 507-515. doi:10.1016/j.neubiorev.2003.08.002 

Hipotesa Gerbang (Gateway Hypothesis) dalam Pencegahan Kecanduan Zat dan Non-zat
Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
www.psikologiforensik.com

Disampaikan dalam Seminar Gepenta: Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba dan Kekerasan Surabaya, 5 Oktober 2016

https://psikologiforensik.com/tag/zat-gerbang/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun