Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sehat Mental dan Mampu Beradaptasi Selama Krisis Pandemi

29 April 2020   19:41 Diperbarui: 8 Juli 2020   20:05 2091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krisis akibat pandemi COVID-19 dialami secara global. Bukan hanya resiko persoalan kesehatan fisik, namun hal ini juga menjadi krisis kesehatan mental setiap manusia yang berada di dalamnya. 

Setiap orang harus berhadapan dengan berbagai situasi stress; dari tertekan dengan perubahan rutin, kehilangan pekerjaan, tidak pergi sekolah, sibuk dengan tuntutan baru di rumah, terbatasnya interaksi sosial, himpitan ekonomi, persoalan kesehatan fisik yang mulai mempengaruhi kondisi psikologis, hingga ancaman-ancaman hidup lainnya yang bisa dihadapi manusia di saat krisis ini.

Maka, semua orang harus bertanya pada dirinya sendiri: “bagaimana saya mengelola semua stress yang saya tengah hadapi ini?”

Kita perlu berjuang untuk mencapai ketangguhan atau resiliensi psikologis dalam masa krisis ini. Dalam menghadapi stress, atau sering disebut kemampuan coping stress, tiap manusia memiliki perbedaan kemampuan dan gaya. 

Dalam hal kemampuan coping, ada manusia yang cukup mampu mengelola stress hidupnya secara mandiri. Ada juga yang akan membutuhkan bantuan orang lain, seperti keluarga atau teman, paling tidak untuk memberikan telinga untuk mendengarkan atau memberikan masukan. 

Tapi ada juga yang tidak mampu menyelesaikan stress sendirian, butuh dibantu oleh tenaga professional, misalkan: psikolog, psikiater, konselor atau pemimpin agama. 

Semuanya adalah alamiah, dalam masa krisis, ada sebagian dari kita yang akan membutuhkan bantuan orang lain, ada yang sudah bisa menyelesaikan sendiri. Tidak apa-apa.

Jika ada yang membutuhkan bantuan, maka penting untuk tahu kemana mencari bantuan. Untuk konseling dan layanan psikologi, kita bisa mencari kontak asosiasi profesi psikologi (misalkan HIMPSI untuk psikologi) di internet, lalu mengontak layanannya. Saat ini, layanan psikologis dapat diberikan secara online (lewat telepon, atau internet call).

Dalam hal gaya coping, kita juga berbeda-beda. Ada yang lebih memilih mencari cara untuk langsung menyelesaikan masalah (solution focused coping), misalkan: mulai berkurangnya pemasukan dari travel yang tidak lagi aktif, maka mencari sumber pemasukan lain dengan berjualan makanan siap antar. 

Ada juga yang lebih menggunakan gaya pengelolaan emosi atau merubah pikiran dan perasaan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang dihadapi (emotion focused coping). 

Misalkan: bekerja dari rumah selama sebulan membuat diri merasa kurang produktif karena sering teralihkan dengan tugas-tugas di rumah, sehingga muncul perasaan bersalah dan stress, maka upaya kendali emosinya adalah berusaha menyukai rutinitas baru di rumah dan tidak menganggapnya sebagai hambatan kerja. 

Sering juga ditemukan kedua gaya coping ini digunakan oleh masing-masing orang, tergantung pada persoalan apa yang tengah dihadapi dan konteks situasinya. 

Kemampuan mengelola stres adalah cara mencapai resiliensi. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghadapi stress di masa krisis adalah sebagai berikut:

1.Membuat pola/rutin baru dengan kondisi yang tengah dihadapi. 
Manusia adalah mahluk yang menyukai kebiasaan (homo habitus). Rutin membuat kita bisa mengantisipasi apa yang akan terjadi kemudian sehingga memberikan perasaan lebih tenang.

Dalam kondisi krisis, semua rutin awal kita jadi berantakan, kita akan menjadi lebih stress. Maka, sekarang waktunya membentuk rutin baru dalam kondisi kritis. Dimulai dengan membentuk rutinitas tidur, pola makan, pola gerak atau olah raga, pola belajar dan seterusnya. Buatlah diri kita nyaman dengan terbiasa dengan pola baru ini. 

2. Jadikan stress berguna untuk kita
Stress kurang disukai dan cenderung dihindari. Namun, kenyataannya menghindari stress justru menghabiskan energi mental kita untuk menyangkal stress yang tengah kita alami.

Tidak bisa menjadi bahagia hanya dengan menyangkal atau menghindari stress. Jika kita mengalami stress, sampaikan pada diri kita bahwa “tidak apa-apa”. Stress perlu dipeluk dan dipahami, karena ia akan mengarahkan pada sesuatu yang perlu dihadapi dan dikelola.

Namun perlu dipahami, bahwa ada berbagai jenis sumber stress: ada stress yang bisa langsung diselesaikan, ada stress yang harus menunggu waktu dulu baru bisa diselesaikan, dan ada pula stress yang tidak bisa dihentikan namun kita yang perlu menyesuaikan diri hidup dengan stress. 

Jadi kenali stress anda. Jika bisa dihadapi dan diselesaikan, maka carilah cara-cara produktif dan kreatif menyelesaikannya. Jika perlu diterima, maka kita perlu merubah cara berpikir atau emosi kita terhadap sumber stress tersebut. Kita akan bisa menerimanya juga kelak. 

3. Berinteraksi sosial yang bermakna dan konsisten. 
Dukungan sosial dalam situasi krisis adalah sangat penting. Berbicara secara rutin dengan orang-orang yang mengasihi kita, seperti keluarga, atau teman dekat. Interaksi sosial justru perlu dilakukan secukupnya dan lebih sering. 

Jika tidak bisa berkomunikasi secara langsung, maka telepon atau media sosial lainnya bisa digunakan. Perasaan hangat dan nyaman bisa menjadi obat atau penyangga emosi kita dalam menghadapi masa krisis ini. Ingat social distancing bukanlah social isolation! Kita juga bisa berperan sebagai pemberi dukungan bagi orang lain di sekitar kita.

4. Berusaha menghidupkan pola hidup sehat secara fisik, psikologis, sosial dan spiritual
Agar kita menjadi lebih sehat dan kuat menghadapi krisis, pastikan yang masuk pada diri kita adalah bahan-bahan yang sehat. Baik makanan sehat buat tubuh fisik kita (tidak memasukkan makanan tidak sehat atau zat adiktif ke dalam tubuh).

Memilah-milah informasi yang sehat yang akan membuahkan pikiran dan psikologis yang sehat. Juga interaksi sosial yang sehat karena memberikan dukungan serta perasaan nyaman dan aman.

Juga memastikan ketercukupan pemenuhan kebutuhan spiritual, dengan melakukan ritual keagamaan di rumah yang akan memfasilitasi keterhubungan kita dengan Yang Maha Kuasa. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhan spiritualnya ditemukan lebih sehat baik secara fisik dan mental.

Namun, ada juga orang-orang yang akan lebih beresiko membutuhkan bantuan lebih untuk menghadapi stress di masa krisis ini. Mereka adalah: anak-anak, orang dengan kebutuhan khusus, dan juga orang lanjut usia.

Pada anak, mereka bisa rentan mengalami stress tinggi jika terjadi perubahan drastis dalam hidup mereka. Biasanya anak akan lebih emosional karena kehilangan rutin sekolahnya, ia juga takut kehilangan teman dan belajarnya.

Kenali jika muncul gejala-gejala stress problematik, seperti: sedih berlebihan, cemas, takut, bingung, bahkan mulai mempengaruhi kemunculan kesulitan tidur atau makan. 

Jika ini terjadi, maka anak perlu dibantu menyelesaikan stressnya.Beberapa strategi yang bisa dilakukan pada anak yang tengah kesulitan karena stressnya, adalah:

  1. Memberikan perhatian dan kasih lebih pada anak, terutama untuk berbicara dan menyelesaikan rasa takutnya. Pembicaraan yang terbuka dan jujur pada anak tentang apa yang terjadi sesuai dengan kemampuan pemahamannya. Jika masih sangat muda, gunakan kata-kata yang sederhana dan alat bantu visual atau gambar. 
  2. Menjadikan diri kita sebagai contoh/panutan (role model) dalam menyelesaikan stress kita. Anak belajar lebih banyak dari mengamati, terutama orang-orang terdekatnya. Jika orang tua menunjukkan sikap tenang dalam menyelesaikan stress, maka anak akan dapat belajar meniru orang tuanya; dan juga sebaliknya. Jadi orang tua perlu sadar betul apa perilaku yang ditunjukkan di hadapan anaknya. 
  3. Memberikan cara-cara kreatif bagi anak untuk mengekspresikan kecemasannya, misalkan menggambar, olah raga, atau menyusun rutin menarik lainnya di rumah. Buat anak bersemangat untuk melakukan aktivitas-aktivitasnya di rumah. Usahakan agar tidak selalu terpaku dengan gadget dan kegiatan bermain diam (sedentary play), dengan mengkombinasikan rutinnya dengan aktivitas bermain aktif (active play).

Jika anda menemukan adanya hambatan bagi anak untuk menjadi sehat atau terancam hak hidupnya, maka kita perlu membantunya.

Anak yang masih menunjukkan gejala stress atau sedih berlebihan bisa dibawa untuk mendapatkan bantuan psikologis profesional ke psikolog atau dokter anak. 

Anak-anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran perlu segera dibantu keluar dari siklus kekerasan di rumahnya, dengan melaporkan pada pihak berwenang di lingkungan kita. 

Jangan biarkan anak mengalami kekerasan; dengan diam kita membiarkan kekerasan terus terjadi. Tugas kita sebagai warga masyarakat dan manusia untuk membantu anak-anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran.

Pada orang berkebutuhan khusus, akan diperlukan dukungan berkelanjutan untuk menjaga keberlangsungan bantuan yang mereka butuhkan. Sehari-hari, orang berkebutuhan khusus (orang dengan kecacatan, orang hidup dengan penyakit, dan juga orang yang terpinggirkan) membutuhkan bantuan untuk hidup dan beraktivitas. 

Dalam kondisi krisis, kadang bantuan kita pada mereka menjadi teralihkan. Maka, penting saat ini kita memastikan bahwa mereka tetap mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. 

  1. Terapi pada anak dengan kebutuhan khusus dirubah dari terapi langsung menjadi terapi online, atau cara lainnya yang paling tepat. Terapis juga mungkin dapat dibantu oleh relawan. 
  2. Pengobatan orang yang hidup dengan penyakit perlu dijamin agar tetap mudah diakses. Mungkin diperlukan penyesuaian juga, seperti konsultasi online atau lainnya. 

Layanan kesehatan fisik dan mental perlu tersedia dan mudah diakses oleh orang-orang berkebutuhan khusus.

Pada orang lanjut usia, akan diperlukan dukungan lebih karena dalam pandemi ini mereka adalah populasi rentan terkena COVID-19. Dampak menjadi polulasi rentan adalah meningkatnya kecemasan dan rasa takut. 

Akibatnya, mereka bisa menjadi lebih mudah emosional dan lebih mudah stress. Jika mereka telah mengalami persoalan fisik-psikologis sebelumnya, maka kondisi stressnya saat ini dapat membuatnya lebih parah.

Cara membantu mereka adalah dengan membantu penjaminan kesehatan dan keamanannya. Lebih lanjut, proses perawatan dan pemberian perhatian juga terus dilakukan, misalkan: 

  1. Melakukan aktivitas fisik agar tetap aktif. 
  2. Membuat rutin baru di situasi ini. 
  3. Membuat interaksi rutin dengan orang-orang yang dikasihinya. 
  4. Membuat aktivitas kreatif dan produktif untuk memperkuat persepsi diri positif. 

Layanan kesehatan fisik dan mental juga perlu tersedia dan mudah diakses oleh orang lanjut usia.

Resiliensi psikologis di tengah krisis

Stress adalah peristiwa yang alamiah dialami oleh manusia dalam masa hidupnya. Mengalami stress dalam masa krisis adalah logis. Namun perlu dipahami, stress juga bisa menjadi momentum melakukan perubahan menuju ketangguhan atau resiliensi psikologis.

Resiliensi psikologis hanya lahir dari kemampuan kita menyelesaikan dan melampaui persoalan serta krisis.

Krisis dan tantangan hidup yang kita alami sekarang ini, jika mampu kita atasi, akan membuat kita lebih kuat serta lebih mampu bertahan hidup. Untuk itu, kita dan masyarakat perlu bekerjasama untuk bisa melampaui masa stress ini, dengan tinggal di rumah dan menjaga kesehatan diri kita masing-masing.

Lebih lanjut, kita dan masyarakat perlu saling menyediakan diri untuk memberikan dukungan psikologis agar bisa menjadi resilien di tengah krisis.

Referensi: World Health Organisation (2020). Mental health and psychological resilience during COVID-19 pandemic.

Margaretha
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun