Mohon tunggu...
Maria Margan
Maria Margan Mohon Tunggu... Lainnya - Sekedar belajar menulis.

Live like a Dandelion. Never give up and always hope for everything in all circumstances.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjumpaan untuk Pertama dan Terakhir Kalinya

29 Mei 2020   05:13 Diperbarui: 29 Mei 2020   05:15 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu kali kami berdebat untuk hal sepele. Saat itu dia menyarankan saya ganti pekerjaan. Karena menurutnya gaji yang saya terima tidak sepadan. Namun saya menolak pendapatnya. Bhushan pribadi yang sabar namun hari itu dia sangat marah. Untuk hal yang biasanya tak masalah untuknya.

Karena perbedaan pendapat itu Bhushan memutuskan persahabatan kami. Dan yang terburuk akses saya di blokir. Hingga saya harus minta bantuan saudaranya untuk menasehati. Namun Bhushan tidak mau bicara dengan saya. Saya hanya bisa berkirim pesan di messenger. Itupun hanya dibacanya saja.  

Sebulan kemudian, malam itu tanggal 29 Mei 2017. Telepon saya berdering, suara diseberang adalah suara Baba, ayah dari Bhushan. Beliau menangis tanpa kata. Saya masih belum mengerti. Hingga Pallavi saudarinya yang bicara dan menyampaikan bahwa Bhushan sudah tiada. Kecelakaan mobil telah merenggut jiwanya.

Tubuh saya lunglai saat itu. Campur aduk rasa dihati. Saya tetap tidak percaya, hingga isak tangis Pallavi di seberang pun pecah, barulah airmata saya pun tak lagi bisa ditahan. Sahabat saya, saudara laki-laki kami, putra terkasih Ai dan Baba telah pergi ke tempat yang sangat jauh dan takkan lagi bisa kujangkau. 5 tahun kami bersahabat dari jauh, akhirnya bertemu sekali dan untuk yang terakhir kali, sesaat menjelang kepergian abadinya.

Jika saja saya tahu 1 bulan itu adalah hari-hari terakhirnya tentu saya tidak akan berdebat untuk hal sepele dengannya. Ada rasa sesal. Namun semua sudah jadi takdir Tuhan. Umur hanya pinjaman yang suatu hari harus kembali pada Pemiliknya. Kami pun belajar merelakannya.

Ternyata bukan hanya kami orang terdekatnya yang kehilangan. Adalah seorang ibu bernama Meghna Shah. Dia tadinya hanya ibu rumah tangga biasa yang sekedar berminat seni. Kemudian ibu Meghna bertemu dengan Bhushan di sebuah kelas kursus dasar Sketch.

Namun karena merasa ilmu yang diperoleh di kelas tersebut tidak memuaskan, akhirnya Bhushan menawarkan untuk mengajari secara private. Dari Bhushan-lah ibu Meghna jadi lebih percaya diri untuk terus berkarya. Hingga akhirnya ibu Meghna pun bisa berkesempatan menampilkan karyanya di publik dengan percaya diri.

Bagi saya Bhushan adalah sahabat terbaik, bagi keluarga dia adalah putra yang berbakti, bagi rekan seniman, dia adalah pribadi ramah yang rendah hati dan tidak pelit berbagi ilmu. 

Dan meski Bhushan sudah tidak ada di antara kami, namun hingga hari ini persaudaraan saya dan keluarganya tetap terjalin. Dan sesekali Ai dan Baba pun kontak videocall dengan saya. 

Sahabat terkasihku Bhushan Shelokar semoga jiwamu damai dalam tidur abadi di sisi-NYA.

Meski engkau telah tiada, namun karyamu, kenangan tentangmu tidak akan hilang dari hati kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun