Mohon tunggu...
Aba Mardjani
Aba Mardjani Mohon Tunggu... Editor - Asli Betawi

Wartawan Olahraga, Kadang Menulis Cerpen, Tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sketsa

5 November 2017   00:32 Diperbarui: 5 November 2017   03:45 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku perhatikan, tarikan dan sapuan kuasmu begitu lembut seperti menggambarkan perasaan terdalammu kepada Yulianti. Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih atau membangkitkan kenangan-kenanganmu terhadapnya," lanjut Samsir dalam sekali tarikan nafas.

 "Kau ingin menyelesaikan lukisan ini dalam bentuk semi figuratif, bukan? Kau ingin mengekspresikan kerinduanmu yang tak juga menemukan muaranya melalui lukisan ini. Sekali lagi maaf, aku bukan sok tahu."

Baroto ingin membantah Samsir, sang kritikus seni lukis yang kerap mengkritisi kreasi-kreasinya melalui surat kabar terkemuka di negeri ini.

Ia memang merindukan Yulianti. Tapi, ketika mengawali sketsa lukisan ini, ia sama sekali tak berpikir soal mendiang istrinya. Ia hanya ingin melukis sebuah wajah tanpa memikirkan wujud dan rupa. Dan, ketika ia menggoreskan ujung kuasnya pada kanvas berbahan dasar belacu itu, tangannya bergerak tanpa ia sendiri merasa menggerakkannya. Bergerak seperti ada sesuatu yang menuntunnya.

 "Dengan satu atau dua sentuhan lagi, kau bisa membuatnya sangat mirip dengan wajah mendiang istrimu, Bar?" kata Samsir sebelum mengambil kursi dan duduk di sisi Baroto. Tanpa disuruh, tangannya menyambar sisa roti di piring di meja kecil di hadapan Baroto.

 "Sentuhan pada bagian mana yang menurutmu bisa membuatnya mirip sekali?" Baroto memberanikan diri bertanya.

Samsir menyambar gelas kopi di meja, gelas kopi milik Baroto. Dan meminumnya tanpa sungkan.

 'Coba gelombang pada kedua pipinya kau tarik lebih lurus. Lalu, bagian dagunya kau angkat sedikit," kata Samsir kemudian.

Baroto menghela nafas. Samsir menepuk-nepuk punggungnya. "Menikahlah lagi. Kau belum terlalu tua untuk memiliki seorang pendamping," ujarnya datar.

Baroto tak memberikan reaksi. Matanya terpaku pada sketsa wajah di hadapannya. Ia tiba-tiba seperti ingin berdialog dengan perempuan yang berada dalam angan-angannya. Entah siapa? Entah di mana? Entah ada atau tidak. Apakah itu wajah istrinya dua puluh atau tiga puluh tahun lalu seperti kata Samsir? Mengapa Samsir juga begitu hafal dengan kontur dan simetri wajah Yulianti?

Pagi berikutnya, dengan segelas kopi panas dan sereal di tangan, Baroto menyelinap ke ruang lukisnya. Hari ini ia ingin memberi warna pada lukisannya. Membuatnya tak jadi sekadar sketsa. Membuatnya lebih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun