“Kalian tidak boleh membiarkan kenakalan yang keterlaluan terjadi di sekolah!” teriaknya. “Bayangkan, gara-gara ulah seorang anak perempuan yang makan pete lalu mencium anak saya, anak saya kini demam dan harus dirawat di rumah sakit. Mana anak itu?”
Alida saling berpandangan dengan teman-temannya. Rupanya orang itu tak lain ayah Sandoro.
Pak Baroto melangkah ke pintu. “Mana Alida?” ia setengah berteriak. Alida mengacungkan tangan. “Masuk kamu.”
Tanpa ragu, Alida masuk.
“Nah, ini anak yang kemarin mengusili anak Bapak,” kata Pak Baroto.
Laki-laki itu memandang Alida dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Kamu? Kamu yang sudah membuat anakku sakit?” ia bertanya kepada Alida. Suaranya tinggi. Menahan amarah.
“Sabar, Pak...” Pak Baroto coba menenangkan.
“Bapak diam saja!” ia menunjuk Pak Baroto. “Saya cukup sabar. Kalau tidak sabar, sudah saya hajar anak ini!”
Alida tersenyum. Dalam hati, ia bilang, ‘coba aja kalo berani.’
“Kamu jangan cengengesan ya!” ia melotot kepada Alida, seperti polisi lalu lintas yang memergoki pelanggar lalu lintas. “Saya datang ke sini untuk mengingatkan kamu dan semua orang di sekolah ini. Jangan pernah lagi melakukan hal-hal yang tidak-tidak. Jangan melakukan hal-hal di luar norma kesusilaan. Terutama kepada anakku!”