Oleh: Mardiyanto, M.Pd.
Arah pendidikan nasional kini memulai babak baru. Setidaknya pemikiran seperti itu yang ada dalam benak saya, betapa tidak? Hadirnya Kurikulum Merdeka yang mengambil pondasi dasar filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantoro (KHD) benar-benar mampu mendobrak kebekuan dunia pendidikan saat ini.
Bersyukur saya berkesempatan mengikuti pendidikan Guru Penggerak Angkatan 11 Kabupaten Wonosobo, pendidikan ini akan saya tempuh selama 6 bulan dari bulan Juni dan berakhir pada bulan Desember 2024. Hal yang sungguh menarik bagi saya adalah menarik sedikit mundur ke belakang, "membatin" dan merefleksi diri bahwa Kurikulum Merdeka saat ini yang kita laksanakan merupakan bentuk implementasi mendasar pemikiran KHD.
Pada tahap awal di pendidikan Guru Penggerak, kami mempelajari lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantoro dalam bidang pendidikan. Seperti kita ketahui, KHD pada awalnya adalah seorang politikus yanga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, KHD banting stir dengan membaktikan dirinya berjuang dalam bidang pendidikan yang menjadi bagian dari konsen hidupnya.
Dalam beberapa bab referensi yang kami baca, KHD membaca bahkan berguru dengan tokoh-tokoh penting pendidikan dunia seperti Tagore dan Montessori yang kala itu dianggap sebagai tokoh besar pendidikan Barat. KHD tidak menolak pemikiran Barat, namun selektif, bahkan tak segan memberikan kritik tajam. Seperti pemikiran Montessori yang terlalu terfokus pada fisik dan keterampilan-keterampilan, namun mengabaikan jiwa, atau semangat-semangat religiusitas. KHD meletakkan dasar bahwa pendidikan seyogianya tetap berakar pada pondasi budaya dan sosial Masyarakat (kodrat alam dan kodrat zaman). KHD juga membedakan antara pembelajaran dan pendidikan, tugas guru yang menuntun segala kodrat pada anak, dan betapa pentingnya budi pekerti/pendidikan karater dalam pendidikan Indonesia.
***
Selama ini yang saya pahami dari pemikiran KHD sebatas Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Di bangku perkuliahan pun lebih banyak berkutat tentang kurikulum, pembelajaran, dan juga evaluasi. Pada akhirnya filosof dasar pendidikan tidak benar-benar dipahami dengan optimal.
Ketika saya di kelas saya memberikan pengajaran yang akan  membekali mereka untuk bisa bersaing di dunia kerja dengan sesekali menyisipi pesan-pesan moral tentang nilai nilai karakter. Akan tetapi kadang saya melupakan bahwa mereka memiliki potensi yang berbeda-beda, memiliki latar belakang keluarga, ekonomi, sosial yang berbeda-beda. Memberikan pengajaran dan pendidikan dengan melupakan berbagai aspek yang dalam pandangan KHD disebut kodrat alam dan kodrat zaman membuat saya kerap frustasi karena kerap dibuat gusar dengan pencapaian nilai yang cenderung rendah, kelas yang cenderung kurang hidup, dan nilai-nilai karakter yang tidak berkembang dengan baik.
Selama ini saya tidak mengenal istilah "menuntun" dalam penddikan, saya lebih mengenal mengajar, membimbing, atau mengarahkan murid untuk mencapai tujuan pembelajaran sesuai kurikulum. Maka, segala daya dilakukan oleh guru agar murid mampu mencapai kompetensi atau nilai yang diharapkan (mininal ssesuai Kriteria Ketuntasan Minimal). Hal ini saya lihat terjadi di hampir semua sekolah, perolehan nilai akademik masih menjadi target utama para guru, terlebih seleksi penerimaan siswa baru menggunakan nilai rapor artinya nilai akademik itulah yang menjadi patokan.
Saya tersadar bahwa hal ini jauh berbeda dari pemikiran KHD, KHD menggunakan kata menuntun, yaitu membimbing semua kodrat yang ada dalam diri anak untuk mencapai potensi terbaiknya. KHD menyebut anak bukanlah kertas kosong, namun sudah tampak samar-samar potensi yang ia miliki, tugas guru adalah menebalkan potensi tersebut sesuai dengan kodratnya.Â
Dari sini, maka bisa dipastikan bahwa setiap murid memiliki kodrat alam yang berbeda-beda, tugas guru membimbing untuk menguatkan potensi tersebut. Patut disayangkan jika seorang murid memiliki potensi yang unggul dalam bidang atletik, namun tidak diberi ruang dan fasilitas untuk berkembang. Begitu pula, seorang murid yang memiliki potensi seni rupa, namun guru mengabaikannya dan lebih mementingkan nilai-nilai mata pelajaran utama seperti matematika, IPA, dan sebagainya. Dampaknya, potensi anak alih-alih berkembang, justru akan layu sebelum berkembang. Inilah yang harus dihindari.
***
Mempelajari pandangan-pandangan KHD seperti menarik kita pada masa lalu dan kita dibuat kagum dengan pemikiran KHD yang tak lekang oleh perubahan zaman. Pandangan-pandangan KHD telah mengoyak alam pikir saya selama ini yang mungkin terlalu jumawa. Ada beberapa poin penting yang mengubah pandangan saya.Â
Pertama, tugas utama guru adalah menuntun, membimbing murid untuk mengembangkan setiap potensi yang ia miliki. Guru tidak sekadar menyampaikan/transfer ilmu pengetahuan begitu saja lalu menganggap itu selesai. Guru mesti memastikan apa yang disampaikan menyentuh potensi-potensi yang murid miliki dan membimbing potensi itu bisa berkembang.Â
Kedua, setiap murid memiliki potensi yang unik dan berbeda-beda, mereka bukan kertas kosong, namun sudah tampak samar-samar potensi dari diri mereka. Maka targert utama bukan terletak pada selesainya materi, melainkan manakala murid mampu menunjukkan potensinya.Â
Ketiga, semua murid adalah baik, mereka memiliki potensi yang sama untuk berkembang bersama dengan temen-teman yang lainnya. Segingga sebagai guru sudah tidak elok jika menyebut murid dengan sebutan-sebutan "naka", "bodoh", dan sebagainya. Keempat, guru mesti menghamba kepada murid, melayani murid dengan sepenuh hati, meninggikan derajatnya, dan menjadi penuntun murid yang baik.
***
Pandangan hanya akan menjadi dokumen semata manakala tanpa diikuti langkah konkret di lapangan. Beberapa langkah yang bisa diterapkan di dalam kelas sebagai implementasi KHD: (1) melakukan wawancara dengan murid untuk menggali potensi, minat, dan bakat murid. (2) menerapkan model pembelajaran yang menenkan setiap murid untuk bisa aktif dan kreatif. (3) mengubah desain pembelajaran dengan lebih menekankan potensi dan kegemaran murid pada satu bidang. (4) mendesain pembelajaran yang menyenangkan dan menggembirakan. (5) rutin melakukan refleksi untuk menerima umpan balik dari murid agar pembelajaran dapat disempurnakan menjadi lebih baik dan berpihak kepada murid.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H