Mohon tunggu...
Jumardi Salam
Jumardi Salam Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Assalamualaikum Penulis Cerdas

10 Januari 2015   02:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:27 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14208060611655709576

[caption id="attachment_389684" align="aligncenter" width="378" caption="Ilustrasi/dok pribadi"][/caption]

Dalam beberapa hari ini, film pengaduk emosi sangat ramai diperbincangkan. Sebuah drama yang mengisahkan Islam di negeri bambu bernuansa indah dan syar’i. Adalah film Assalamualaikum Beijum. Eh, maksud saya Assalamualaikum Bujang. Hahaha.

Demikianlah salah satu bukti real. Bukti real, bahwa film yang tayang sejak 30 Desember 2014 ini sangat sukses sehingga membuat netizen membuat berbagai macam parody. Sungguh, setelah Asma Nadia sukses dalam novelnya (Assalamualaikum Beijing, red) ini, kini ia kembali sukses meramu film bernuansa Islam menjadi popular dengan judul yang sama.

Nama Asma Nadia memang sudah sangatlah popular. Popular karena karya tulisnya sangat dahsyat berlapis cap Best Seller. Banyak penulis syair, novel, cerita pendek, dan lain sebagainya menjadikan Asma sebagai rujukan dalam menulis. Saya pun demikian.

Terlepas dari itu, ada satu rahasia besar yang perlu pula pembaca ketahui. Rahasia dari ribuan tahun yang lalu, yang perjuangannya dipelajari dan diteladani hingga akhir masa. Namanya selalu dikenang. Dikenang sebagai penulis yang hebat. Siapa dia? Yuk kita bahas dengan judul menarik: Assalamualaikum Penulis Cerdas.

Ia diberi nama Zaid Bin Tsabit. Sebagai anak muda, ia mendapat perhatian khusus oleh Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam. Ia adalah seorang yang cerdas dan mempunyai kemampuan tulis menulis, sehingga diberi tugas menulis wahyu.

Beliau juga memerintahkan Zaid mempelajari beberapa bahasa asing, yang bisa dikuasainya dalam waktu singkat. Ketika Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam mulai melakukan dakwah kepada raja-raja dan kaisar di luar negeri Arab, Zaid bin Tsabit menjadi salah satu penulis surat-surat dakwah tersebut karena kemampuan bahasanya.

Sebenarnya cukup banyak sahabat yang diserahi Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam untuk menghafal dan menuliskan wahyu yang turun secara bertahap, terkadang juga berkaitan dengan suatu peristiwa atau sebagai jawaban dan solusi atas suatu masalah. Tetapi beberapa orang saja yang dianggap sebagai “pemimpin-pemimpin” dalam bidang ini, mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit sendiri. Tiga yang pertama adalah dari sahabat Muhajirin dan dua yang terakhir dari sahabat Anshar.

Ketika pecah pertempuran Yamamah pada masa Khalifah Abu Bakar, banyak sekali sahabat yang ahli baca (Qary) dan ahli hafal (Huffadz) yang gugur menemui syahidnya. Hal yang cukup mengkhawatirkan ini ‘ditangkap’ oleh Umar bin  Khaththab. Segera saja menghadap Abu Bakar dan mengusulkan agar segera menghimpun Al Qur’an dari catatan-catatan dan hafalan-hafalan para sahabat yang masih hidup. Tetapi Abu Bakar berkata tegas, “Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah) ?”

“Demi Allah, ini adalah perbuatan yang baik!!” Kata Umar, agak sedikit memaksa. Abu Bakar masih dalam keraguan. Ia shalat istikharah, dan kemudian Allah membukakan hatinya untuk menerima usulan Umar. Abu Bakar dan Umar bermusyawarah, dan mereka memutuskan untuk menyerahkan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Zaid menghadap Abu Bakar dan diberikan tugas tersebut, reaksinya sama seperti Abu Bakar, ia berkata “Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah) ?”

Abu Bakar dan Umar menjelaskan tentang keadaan yang terjadi dan bahaya yang mungkin bisa terjadi, dan  akhirnya Abu Bakar berkata,  “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, dan kami tidak pernah meragukan dirimu. Engkau juga selalu diperintahkan Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam untuk menuliskan wahyu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Qur’an tersebut….”

Zaid bin Tsabit berkata, “Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas menghimpun al Qur’an yang engkau perintahkan tersebut!!”

Seperti halnya Abu Bakar, akhirnya Zaid bisa diyakinkan akan pentingnya pekerjaan tersebut demi kelangsungan Islam di masa mendatang.

Zaid bin Tsabit sendiri sebenarnya hafal al Qur’an dari awal sampai akhirnya, bahkan Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam sendiri sering mengecek hafalannya. Namun demikian, ia tidak mau menggunakan hafalannya saja.

Kemudian, ia berjalan menemui para sahabat yang mempunyai catatan dan hafalan, mengumpulkan catatan yang terserak pada kulit, tulang, pelepah kurma, daun dan sebagainya dan juga membandingkannya dengan hafalan para sahabat tersebut.

Setelah semua terkumpul dan dicek ulang dengan hafalannya dan juga hafalan para sahabat, Zaid menuliskannya lagi dalam lembaran-lembaran dan menyatukannya dalam satu ikatan. Semuanya disusun menurut urutan surat dan urutan ayat-ayat seperti yang pernah di-imla’-kan (didiktekan) Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam kepadanya. Inilah mushhaf pertama yang dibuat dalam Islam, dan peran Zaid bin Tsabit sangat besar dalam penyusunannya. Ia menghabiskan waktu hampir satu tahun untuk menyelesaikannya.

Al Qur’an diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qiraat sab’ah). Hal ini memang diminta Nabi SAW sendiri untuk kemudahan umat beliau yang karakter lafal dan ucapannya berbeda-beda, sehingga jika telah cocok dengan salah satu bacaan (qiraat) tersebut sudah dianggap benar. Di masa Nabi SAW hidup dan Islam masih di sekitar jazirah Arab, hal itu tidak jadi masalah. Tetapi ketika wilayah Islam makin meluas ke Romawi, Persia dan tempat-tempat lainnya, sementara pemeluk Islam juga makin beragam dari berbagai bangsa, bukan hanya Arab, hal itu bisa menimbulkan perpecahan.

Pada masa khalifah Utsman, di mana Islam sudah mulai menjamah wilayah Eropa, yakni Siprus dan sekitarnya, benih berbahaya ini ditangkap oleh Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat lainnya. Karena itu mereka menghadap khalifah Utsman menyampaikan usulan untuk menyatukan mush’af dalam satu bacaan/qiraat saja, dan menyebar-luaskannya sebagai pedoman bagi masyarakat Islam yang makin meluas saja. Untuk qiraat sab’ah (bacaan yang tujuh), biarlah hanya diketahui para ulama dan ahlinya saja.

Khalifah Utsman tidak serta-merta menerima usulan tersebut karena takut terjatuh dalam bid’ah, sebagaimana yang dikhawatirkan Abu Bakar. Tetapi setelah melakukan istikharah dan mempertimbangkan persatuan umat, serta madharat dan manfaat dari adanya Qiraat Sab’ah, akhirnya ia menyetujui usulan ini. Dan seperti halnya Abu Bakar, khalifah Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek besar ini, sehingga tersusun kodifikasi Mush’af Utsmani, yang menjadi cikal bakal dari hampir seluruh Mush’af Al Qur’an yang sekarang beredar di antara kita. Sungguh kita semua berhutang jasa kepada Zaid bin Tsabit RA.

Sebagai informasi, Zaid bin Tsabit RA merupakan sahabat Anshar, yang memeluk Islam bersama keluarganya pada masa awal Nabi SAW hijrah ke Madinah. Saat itu ia berusia 11 tahun. Ia beruntung karena sebagai anak-anak, ia secara khusus di do’akan Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam.

Pada waktu terjadinya perang Badar tahun 2 hijriah, datanglah seorang pemuda kecil berusia 13 tahun. Dia tampak cerdas, penuh semangat, dan fanatik. Di tangannya tergenggam pedang yang hampir sama tinggi dengan tubuhnya. Langsung saja dia menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Aku siap berkorban untuk diri Anda, ya Rasulullah. Izinkan aku ikut berjihad di bawah komando Anda.”

Bocah itu pulang sambil menyeret pedangnya. Wajahnya murung karena tak mendapat kehormatan menyertai Rasulullah dalam perangnya yang pertama.

Sang ibu, Nuwar binti Malik, menyusul di belakangnya. Tak kurang kesedihannya daripada putranya. Ingin sekali dia melihat putranya berangkat sebagai mujahid bersama kaum lelaki yang lain di bawah panji-panji Rasulullah. Ingin sekali dia menyaksikan putranya mengantikan kedudukan ayahnya yang telah tiada.

Rasulullah memandangi pemuda kecil itu. Diam-diam beliau merasa kagum bercampur gembira. Diraihnya bahu anak itu, ditepuk dengan penuh kasih sayang, sambil dihiburnya, mengingat dia harus dikembalikan karena masih terlalu muda.

Begitu juga ketika perang Uhud, Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam masih  melarang sekelompok anak muda berkuda termasuk Zaid di dalamnya. Tetapi dua anak muda yang tubuhnya cukup kekar dan mempunyai keahlian tertentu Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam mengijinkannya, yakni Rafi bin Khudaij dan Samurah bin Jundub. Keduanya berusia limabelas tahun. Zaid bin Tsabit sendiri baru terjun dalam pertempuran dalam perang Khandaq  pada tahun ke 5 hijriah. Setelah itu, ia hampir selalu menyertai berbagai pertempuran yang dilakukan Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam.

Jumardi Salam

Samarinda, 9 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun